BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hakim dalam memeriksa setiap perkara
harus sampai kepada putusannya, walaupun kebenaran peristiwa yang dicari itu
belum tentu ditemukan.Benar tidaknya sesuatu peristiwa yang disengketakan
sangat bergantung kepada hasilpembuktian yang dilakukan para pihak di
persidangan.Oleh karena itu kebenaran yang dicari didalam hukum acara perdata
sifatnya relatif.
Pembuktian dalam arti yuridis tidak
dimaksudkan untuk mencari kebenaranyang mutlak. Hal ini disebabkan karena
alat-alat bukti, baik berupa pengakuan,kesaksian,atau surat-surat, yang
diajukan para pihak yang bersengketa kemungkinan tidak benar, palsu atau
dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa setiap perkarayang diajukan kepadanya
harus memberikan keputusan yang dapat diterima kedua belah pihak.Berkaitan
dengan masalah pembuktian ini, Sudikno Mertokusumo, mengemukakan antara lain: Pada
hakikatnya membuktikan dalam arti yuridis berarti memberidasar-dasar yang cukup
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian
tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak di
persidangan.Memberikan dasar yang cukup kepada hakim berarti memberikan
landasan yang benar bagi kesimpulan yang kelak akan diambil oleh hakim setelah keseluruhan
proses pemeriksaan selesai. Maka putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim
diharapkan akan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya telah terjadi.
Di dalam hukum acara perdata, kepastian
akan kebenaran peristiwa yang diajukan di persidangan itu sangat tergantung
kepada pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Sebagai
konsekuensinya bahwa kebenaran itu baru dikatakan ada atau tercapai apabila
terdapat kesesuaian antara kesimpulan hakim (hasil proses) dengan peristiwa
yang telah terjadi. Sedangkan apabila yang terjadi justru sebaliknya, berarti
kebenaran itu tidak tercapai.Setelah pemeriksaan suatu perkara di persidangan
dianggap selesai dan para pihak tidak mengajukan bukti-bukti lain, maka hakim
akan memberikan putusannya.
Putusan yang dijatuhkan itu diupayakan
agar tepat dan tuntas. Secara objektif putusan yang tepat dan tuntas berarti
bahwa putusan tersebut akan dapat diterima tidak hanya oleh penggugat akan
atetapi juga oleh tergugat. Putusan pengadilan semacam itu penting sekali,
terutama demi pembinaan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan. Oleh
karena itu hakim dalam menjatuhkan putusan akan selalu berusaha agar putusannya
kelak seberapa mungkin dapat diterima oleh masyarakat, dan akan berusaha agar
lingkungan orang yang akan dapat menerima putusannya itu seluas mungkin.
Apabila harapan itu terpenuhi, maka
dapat diketahui dari indikatornya antara lain masing-masing pihak menerima
putusan tersebut dengan senang hati dan tidak menggunakan upaya hukum
selanjutnya (banding maupun kasasi). Seandainya mereka masih menggunakan
upaya-upaya hukum banding dan kasasi, itu berarti mereka masih belum dapat
menerima putusan tersebut secara suka rela sepenuhnya.Digunakannya hak-hak para
pihak berupa upaya hukum banding dan kasasi,bukan berarti bahwa putusan peradilan
tingkat pertama itu keliru. Secara yuridis,setiap putusan itu harus dianggap
benar sebelum ada pembatalan oleh pengadilanyang lebih tinggi (asas res
judicata pro veritate habetur). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin adanya
kepastian hukum, bukan berarti kebenaranperistiwa yang bersangkutan telah
tercapai dan persengketaan telah terselesaikan sepenuhnya dengan sempurna.
Akan tetapi secara formal harus diterima bahwa
dengan dijatuhkannya suatu putusan oleh hakim atas suatu sengketa tertentu antara
para pihak, berarti untuk sementara sengketa yang bersangkutan telah selesai. Seperti
telah dikemukakan di atas, bahwa di dalam proses perkara perdata dipersidangan
yang dicari oleh hakim adalah kebenaran peristiwa yang ditemukan para 3 pihak
yang bersangkutan. Untuk merealisasikan hal tersebut, hakim tidak
bolehmengabaikan apapun yang ditemukan para pihak yang berperkara. Dalam
kondisi seperti ini nyata sekali bahwa dalam perkara perdata hakim bersifat
pasif. Artinya ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada
hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara
dan bukan oleh hakim.
Hakim hanya membantu para pencari
keadilan dan berusaha mengatasisegala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana,cepat,dan biaya ringan.3Hakim dalam
mengadili sengketa, hanya memeriksa apa yang ditemukan para pihak sebagai usaha
membenarkan dalil gugatan atau bantahannya. Inisiatif beracara datangnya dari
para pihak yang bersangkutan. Hakim hanya mempunyai kebebasan untuk menilai
sejauhmana yang dituntut oleh pihak-pihak tersebut. Akan tetapi sudah barang
tentu hakim tidak semata-mata bergantung kepada apa yang dikemukakan para
pihak, akan tetapi hakim mempunyai kewajiban untuk menilai sejauhmana kebenaran
peristiwa-peristiwa itu, sehingga apa yang dikemukakan para pihak tersebut akan
dapat membentu hakim untuk memberikan pertimbangan dalam menjatuhkan
putusannya.
I.2
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang permasalahan di atas dapat diajukan dua rumusan masalah sebagai
berikut;
1. Bagaimanakah aspek hukum yang
mengatur mengenai system pembuktian dalam hukum acara perdata .
2. Upaya apakah yang dapat
dilakukan dalam peranannya dalam alat bukti pengakuan.
I.3 Tujuan Penelitian
Sesuai
dengan pokok masalah yang telah dirumuskan diatas,maka dapat sisampaikan tujuan
dari pembuatan paper ini yaitu :
·
Tujuan
Umum
1. untuk
mengetahui apa sajakah yang dianut dan wajib diketahui dalam melakukan suatu
penyelidikan.
2. untuk
mengetahui hal-hal apa sajakah yang dilakukan untuk melakukan pembuktian
·
Tujuan
Khusus
Untuk
melatih mahasiswa menyatakan pikiran ilmiahnya secara tertulis
I.4 Manfaat
Dari hasil
pembuatan paper ini,diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat
praktis yaitu :
1. Manfaat
Teoritis
Paper ini
diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk pengembangan hukum secara
umum,khususnya mengenai alat bukti pengakuan dalam hukum acara perdata.
2. manfaat
praktis
Secara
praktis,diharapkan dapt dipakai sebagi bahan pertimbangan bagi penyidik dalam
melakukan tugasnya sehingga tidak adanya kesalahan dalam melakukan suatu
penyelidikan.
I.5 Metode Penelitian
Sesuai
dengan latar belakan dan tujuannya.penulisan paper ini berkaitan dengan nilai
dan tanggung jawab yang dimiliki oleh penyidik dalam melakukan penyelidikan
dengan alat – alat bukti yang dapat dipertangguang jawabkan kebenarannya
diantarannya :
1.
Pendekatan Masalah
Pendekatan
masalah yang digunakan dalam paper ini
adalah pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka peraturan perundang-undangan dan pendapat para sarjana hukum.
2. Sumber
Bahan Hukum
Sumber
bahan hukum sekunder yang dipergunakan adalah pendapat para sarjana,bahan-bahan
pustaka,literatur-literatur yang berkaitan dengan alat bukti dalam hukum acara
perdata,serta bahan-bahan dari internet.
3. teknik
pengumpulan bahan hukum
Bahan hukum yang
diperoleh,diinverintarisasi dan diidentifikikasi sesui kebutuhan penulisan
unutk digunakan sesuai kebutuhan analisis pokok masalah penulisan.
Inventarisasi dan identifikasi bahan
hukum diberlaukan berdasarkan bahan hukum yang berasal dari peraturan
perindang-undangan dan dikumpulkan dengan melakukan penelusuran atau penemuan
melalui daftar petunjuk peraturan perundang – undangan.
4. Teknik
pengolahan bahan hukum
Pengolah banhan hukum dengan cara :
v Mengklasifikasikan bahan hukum primer
agar lebih mudah untuk memilih dan menyatakan sesuai dengan hakekat jenis dan
sumber hukumnya.
v Melakukan sistemasi bahan hukum untuk
mendistribusikan dan menganalisis isi dan setruktur bahan hukum baik bahan
hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
5.
Analisis bahan hukum
Sitelah diolah,dilanjutkan dengan
menganalisis bahan hukum yang dilakukan secara deskriptif dengan metode
deduktif.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara
Perdata
Peradilan memiliki fungsi yang cukup penting di dalam masyarakat.Fungsi
tersebut antara lain dalam rangka membantu menyelesaikan sengketa atau perselisihan
yang timbul akibat benturan kepentingan anggota masyarakat satu sama lain. Oleh
karena itu eksistensi perangkat hukum acara perdata yang memadai sesuai
perkembangan masyarakat dengan segala macam kompleksitasnya sangat diperlukan.Adalah
suatu kenyataan bahwa hukum acara perdata positip yang dinyatakan secara resmi
berlaku berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 19 Tahun 1964 dan
Nomor 3 tahun 1965 adalah "het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)"4
untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura 3 Pasal 5 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970. 4 S. 1848 Nomor 16, S. 1941 Nomor 44.
Kecuali dua ketentuan diatas, Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman,memuat juga beberapa ketentuan tentang hukum acara
perdata. Selebihnya peraturanhukum acara perdata tersebar pula di laman BW,
WvK, dan Peraturan Kepailitan.Keseluruhan ketentuan hukum acara perdata
tersebut merupakan suatusistem yang terdiri atas sub-sub sistem. Salah satu
dari sub sistem itu adalah sub sistem pembuktian. Untuk lebih memahami tentang
sistem hukum acara perdata tersebut, terlebih dahulu perlu diketahui tentang
apa yang dimaksud dengan sistem itu sendiri.R. Subekti mengemukakan, bahwa
sistem adalah suatu susunan yang teratur yang merupakan keseluruhan yang
terdiri dari bagian-bagian (sub-sub) yang satu sama lain saling kait-mengkait,
dan tidak boleh terjadi suatu tumpang tindih antara bagian-bagian itu dan
tersusun menurut suatu pemikiran tertentu untuk mencapai tujuan. Hukum sebagai
suatu sistem merupakan suatu kesatuan yang bulat, yang di dalamnya tidak dikehendaki
adanya pertentangan.
Apabila ternyata terjadi suatu pertentangan maka akan diselesaikan oleh
dan di dalam sistem itu sendiri. Sebagai suatu sistem, hukum juga memiliki
sub-sub sistem di dalamnya, masing-masing sub sistem itu saling membantu untuk
menyempurnakan kekurangan yang terdapat di
dalamnya.Hukum acara perdata sebagai salah satu sistem bertujuan untuk menyelesaikan
pertentangan kepentingan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu maka
sub sistem pembuktian merupakan keseluruhan ketentuan tentang pembuktian yang
tersusun secara teratur yang satu sama lain saling kait mengkait,dan bertujuan
untuk dapat menentukan terbukti tidaknya suatu peristiwa tertentu yang
dikemukakan oleh para pihak di persidangan. Di dalam hukum acara perdata dikenal
beberapa sistem beracara yaitu sebagai berikut:
2.2
Sistem berbicara secara langsung dan tidak langsung
Sistem beracara secara langsung artinya para pihak langsung menghadap sendiri
di persidangan tanpa mewakilkan kepada kuasa atau pengacara. Di dalam sistem
semacam ini hakim langsung berhadapan dan mendengar pihak-pihak itu sendiri.
Oleh karena itu hakim akan dapat memperoleh keterangan-keterangan secara
langsung, sebab para pihak menghadap sendiri di persidangan. Para pihak yang
bersengketa secara langsung pula akan membuktikan kebenaran dalil-dalil yang
mereka kemukakan, baik dengan mengajukan suratsurat,saksi-saksi, pengakuan,
maupun sumpah. Jadi hakim dapat melakukan pengawasan secara langsung kepada
para pihak, sehingga kemungkinan para pihak untuk mengemukakan sesuatu yang
tidak benar sedapat mungkin akan diminimalkan.
Hal ini disebabkan hakim dapat
mengetahui keadaan para pihak yang berperkara atau para saksi yang memberikan
keterangan.Sedangkan sistem beracara secara tidak langsung adalah suatu sistem
yang para pihak bersengketanya mewakilkan kepada kuasa atau pengacara.
Konsekuensi logis dari sistem ini antara lain para pihak tidak langsung
berhadapan dengan hakim yang memeriksa sengketa mereka. Pemeriksaan perkara
dalam sistem ini berlangsung secara tertulis. Akibatnya di dalam sistem ini
hakim mencari kebenaran peristiwa itu melalui kuasa atau pengacara para pihak. Sistem
tidak langsung ini mengandung cukup risiko, terutama bagi pihak - pihak yang
diwakili. Ini disebabkan antara lain karena pada dasarnya seorang kuasa atau
pengacara acapkali kurang mendalami peristiwa yang menjadi sengketa secara terinci.
Oleh karena itu para kuasa atau pengacara umumnya hanya akan menyampaikan
sesuatu berdasarkan pada keterangan yang mereka peroleh atau nketahui dari para
pihak yang bersangkutan.Dalam kaitan dengan sistem beracara secara tidak
langsung di atas, Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan, antara lain sebagai
berikut:bahwa dengan adanya wakil dari pihak-pihak yang berperkara, hakim tidak
dapat berhadapan langsung dengan orang-orang yang berkepentingan sendiri. Ini mungkin
mengakibatkan bahwa hakim tidak mendapat kesempatan untuk merasakan betul
kebutuhan orang-orang itu
2.3 Sistem Pemeriksaan Perkara dalam Ruang Sidang
Dalam hukum acara perdata pada prinsipnya pemeriksaan perkara dilakukan dalam
suatu ruang sidang yang khusus ditentukan untuk itu. Sidang itu pun harus dinyatakan
terbuka untuk umum,8 kecuali undang-undang melarangnya. Sifat terbukanya sidang
untuk umum ini merupakan syarat mutlak, namun ada pembatasannya yaitu apabila
undang-undang menentukan lain atau berdasarkan alasan penting menurut hakim
yang dimuat dalam berita acara atas perintahnya.R.Wirjono Prodjodikoro, Hukum
Acara Perdata di Indonesia. Bandung: Sumurbandung, 1978,hlm. 30. 8 Pasal 17
ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 14 tahun 1970. 9 Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 14
tahun 1970, dan pasal 29 Reglement op de Rechterlijke Organisatie in
het beleid der Justitie in Indonnesie (RO) S. 1847 Nomor 23. Jika demikian
maka pemeriksaan perkara akan dilakukan dengan pintu tertutup.
Ketentuan terbukanya sidang untuk
umum itu antara lain dimaksudkan untuk menjaga objektivitas pemeriksaan perkara
yang bersangkutan. Sistem itu sesungguhnya dapat mengakibatkan lambatnya proses
pemeriksaan perkara di persidangan. Keterlambatan itu sangat mungkin terjadi
disebabkan oleh berbagai faktor. Dapat terjadi karena adanya oknum hakim atau
para pihak sendiri yang karena si kapnya kemudian berakibat proses
pemenyelesaian perkara menjadi lambat. Hal itu dapat terjadi oleh karena semua
kegiatan, seperti: mengajukan gugatan, jawaban, replik, duplik, pemeriksaan
alat-alat bukti, saksi-saksi, dan sebagainya, semuanya harus dilakukan dan
diperiksa di dalam suatu sidang yang khusus diadakan untuk itu.
Kenyataannya hal itu sulit untuk dapat dilaksanakan dalam waktu yang
relatif singkat.Pada kesempatan sidang pertama, hakim akan menawarkan dan
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berdamai.Apabila usaha perdamaian
itu berhasil, maka hakim akan menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk),
yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang
telah dibuat antara mereka.Akte tersebut memiliki kekuatan seperti putusan
hakim biasa.Akibatnya maka akte tersebut berlaku sebagai penyelesaian
perselisihan.Sebaliknya jika keadaannya malah berlarut-larut, ditambah lagi
kedua belah pihak menunjukkan kesan seolah-olah tidak beriktikad baik, maka
akan memperlambat proses pemeriksaan sengketa. Akibat dari keadaan tersebut
tidak jarang malahan setelah diupayakan berkali-kali untuk berdamai, ternyata
perdamaian pun tidak berhasil. Apabila pada kesempatan sidang pertama kedua
belah pihak tidak
mau
berdamai, maka perkaranya akan mulai diperiksa. Pada saat itu juga kepada penggugat
diberikan kesempatan untuk membacakan gugatannya. Setelah itu,tergugat dapat
meminta waktu untuk mempelajari gugatan dan memberikanjawabannya pada
kesempatan sidang berikutnya. Sidang dapat tertunda atau sengaja10 Pasal 130
HIR, pasal 154 Rbg. Lihat pula pasal 39 UU Nomor 1 tahun 1974. Bandingkan
SudiknoMertokusumo, Op. cit,. halaman 84; Retnowulan Sutantio, Hukum
Acara Perdata dalam Teoridan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 1995, halaman
35-37.
11
Sudikno Mertokusumo, Op. cit., halaman 84.diundur jika salah satu dari
para pihak atau bahkan hakimnya sendiri berhalangan hadir pada kesempatan hari
sidang yang telah ditentukan.Perancis adalah salah satu negara yang dikenal
memiliki manajemen pengadilan yang relatif baik, sehingga kelambatan jalannya
persidangan pengadilan dapat dikurangi.
Caranya antara lain dengan menunjuk seorang hakim yang sebelum perkara
disidangkan diberi tugas khusus mengumpulkan gugatan-gugatan, jawaban gugatan,
replik, duplik, memeriksa surat-surat bukti, dan saksi-saksi kalau diperlukan,
dan sebagainya.Menurut sistem tersebut perkara-perkara perdata tidak langsung
disidangkan,melainkan diproses terlebih dahulu oleh seorang hakim yang ditunjuk
untuk itu.Setelah segala sesuatunya dianggap rampung, maka hakim ini menyatakan
bahwapemeriksaan telah selesai, lalu mengirimkan berkasnya kepada ketua majelis
yang akan menyidangkannya.
Semua pekerjaan itu dilakukan oleh hakim tersebut didalam ruang kerjanya
dengan dibantu oleh seorang panitera, sudah tentu denganbatas waktu maksimum
yang ditetapkan oleh hakim itu sendiri demi kecepatan persidangan.Akan tetapi
dalam visi L.O. Siahaan, tampak ada kehawatiran jika sistem diPerancis
diterapkan pada sistem peradilan di Indonesia. Menurutnya, kita harus berfikir
dua kali, oleh karena bahayanya dari sistem tersebut adalah bahwa hakimhakim dapat
menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya dengan jalan memanipulasi
perkara-perkara yang bersangkutan.
Kebebasan yang diberikan kepada seseorang hakim untuk mengolah perkara tersebut
sebelum sampai ke persidangan, justru dapat menciptakan peluang untuk mengulur
waktu serta mempermainkan para pihak supaya maksudnya tercapai. Akibat yang
akan terjadi malahan sebaliknya, yaitu bukan semakin cepat, melainkan semakin
lambat dan bertele-tele, sehingga kemungkinan akan membosankan dan menjengkelkan
pihak-pihak yang berperkara.Atas dasar pertimbangan baik dan buruknya sistem
yang dianut di Perancistersebut, maka seyogianya dipertimbangkan lebih matang
lagi untuk meniru sistem tersebut.
Yang paling baik bagi keadaan di Indonesia adalah menyerahkan kepada kebijaksanaan
hakim untuk menentukan tentang apa dan bagaimana yang menurut pertimbangannya
dapat mempercepat proses pemeriksaan.Sebagai contoh umpamanya, dalam hal-hal
yang berkaitan dengan penyerahan jawaban gugatan, replik, duplik, dan
penyerahan bukti-bukti surat saja yang dapat disidangkan dalam ruang kerja para
hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Sedangkan pemeriksaan
saksi-saksi, alat-alat bukti, serta putusannya sendiri haruslah dalam suatu
sidang yang khusus ditentukan untuk itu. Apabila sistem yang demikian itu yang
dianut, maka hakim tidak mudah untuk dapat melakukan penyalahgunaan kekuasaan
yang diberikan kepadanya. Hal itu kiranya dapat menjadi salah satu usaha untuk
merealisasikan cita-cita peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan,
sebagaimana dituangkan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor14 tahun 1970.
2.4 Sistem Peradilan dua Tingkat
Sistem peradilan dua tingkat adalah sistem yang terdiri atas pengadilan negeri
sebagai pengadilan tingkat pertama (original jurisdiction) dan
pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat banding (appellate
jurisdiction). Pada tingkat pertama, pengadilan negeri menerima surat
gugatan, mendamaikan, menerima jawaban gugatan, replik, duplik, memeriksa
alat-alat bukti,dan menjatuhkan putusan.Pengadilan tingkat pertama ini disebut
juga sebagai pengadilan judex factie karena berurusan dengan
fakta-fakta. Sedangkan pada pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua
dan terakhir, perkara diperiksa secara keseluruhan, baik dari segi peristiwanya
maupun segi hukumnya. Pemeriksaan ulang tersebut dilakukan apabila salah satu
pihak tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Permohonan
pemeriksaan ulang dapat dimintakan baik oleh pihak yang kalah maupun oleh pihak
yang dimenangkan. Akan tetapi biasanya yang menggunakan upaya hukum banding
sebagai upaya pemeriksaan ulangan adalah pihak yang dikalahkan dipersidangan.
Namun bukan sesuatu yang tidak mungkin bahwa pihak yang dimenangkan pun masih
menggunakan upaya hukum banding.Biasanya pihak yang sudah menang akan
menggunakan upaya hukum banding,manakala tuntutannya tidak dikabulkan semua.
Upaya banding dapat juga dilakukan oleh pihak yang sudah dimenangkan apabila
putusan pengadilan tingkat pertama dirasakan sebagai kurang adil.
Sistem banding ini dalam praktiknya memang tidak digunakan untuk semua jenis
dan nilai gugatan perkara perdata. Hal itu didasarkan pada berbagai pertimbangan,
sebab dapat dibayangkan jika semua jenis perkara dan nilai gugatan dapat
diajukan permohonan bandingnya, maka akan terjadi tumpukan perkara perdata pada
pengadilan tinggi. Akibatnya pemeriksaan perkara perdata akan menjadi lambat.
Bahkan tidak mustahil terjadi suatu perkara perdata dengan nilai gugat relatif
kecil akan tetapi memakan waktu bertahun-tahun untuk dapat memperoleh kekuatan
hukum yang pasti, karena perkara tersebut terus dimintakan uapaya hukum kasasi
hingga Mahkamah Agung.
Untuk menghindari hal-hal seperti tersebut di atas, tepat kiranya apa
yang dikemukakan oleh Lintong Siahaan, bahwa menggunakan sistem yang memberikan
wewenang kepada pengadilan tingkat pertama untuk memutus dalam tingkat terakhir
atas perkara-perkara perdata yang nilai gugatnya relatif kecil. Hal itu akan
sangat bermanfaat untuk mempercepat jalannya persidangan. Di samping itu, mengingat
upaya hukum banding itu bertujuan untuk memperoleh perbaikan putusan yang lebih
menguntungkan, maka upaya hukum banding tidak selayaknya disediakan bagi pihak yang
dimenangkan. Adalah seyogianya jika banding hanya diperuntukan bagi pihak yang
yang dikalahkan atau merasa dirugikan.
2.5 Peranan
Alat Bukti Pengakuan
Dibedakannya antara pengertian hukum perdata materiil dengan hukum perdata
formal (hukum acara perdata) dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa keduanya
memang berbeda secara substansial. Hukum perdata materiil merupakan kumpulan
kaidah hukum yang mengatur atau berisi hak-hak dan kewajibankewajiban para
subjek hukum. Sedangkan hukum acara perdata adalah kumpulan kaidah hukum yang
berisi tentang pengaturan bagaimana cara-cara mempertahankan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban apabila dilanggar subjek hukum lain. Kebutuhan terhadap
hukum acara merupakan tuntutan dari hukum materiil itu sendiri. Hal itu
disebabkan tanpa ada hukum acara tentu saja perselisihan atau sengketa yang
timbul diantara para subjek hukum yang mengadakan hubungan hukum akan sangat
sulit dipulihkan. Oleh karena itu keberadaan hukum acara pada dasarnya adalah
sebagai jaminan atas penegakan hak atau kewenangan subjek hukum terhadap objek
hukum tertentu. Pada akhirnya tujuan dari adanya hukum acara adalah simultan
dengan tujuan hukum secara keseluruhan yakni terciptanya ketertiban dan
ketenteraman masyarakat.
Hukum perdata materiil juga berbeda dengan hukum acara perdata, karena hukum
perdata materiil adalah hukum privat sedangkan hukum acara perdata adalah hukum
publik. Pembedaan ini pun terjadi karena adanya perbedaan kepentingan yang
dilindungi. Hukum perdata materiil berisi kaidah yang mengatur kepentingan
individu atau perorangan (mengandung sifat keperdataan) sedangkan hukum acara
perdata sebagai kaidah yang mengatur tentang bagaimana mempertahankan hukum
materiil jika hukum materiil itu dilanggar, ini menyangkut kepentingan umum
(mengandung sifat publik).
Hukum acara perdata di samping mengandung sifat-sifat sebagai hukum publik,
juga mengandung sifat-sifat keperdataan. Sifat keperdataan itu tampak dalam hal
kaidah-kaidah yang mengatur tentang hak dan wewenang yang dilakukan oleh para
pihak untuk mempertahankan kepentingannya. Sedangkan sifat publiknya tampak
dalam kaidah yang mengatur tentang tata cara hakim sebagai aparatur negara
menjalankan tugasnya dan terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh
hakim yang harus ditaati.
Ketentuan-ketentuan yang bersifat publik tersebut tidak boleh
dikesampingkan. Umpamanya saja, kaidah tentang tata cara mengajukan gugatan,
batas waktumengajukan banding maupun kasasi, tentang kekuatan alat-alat bukti
yang diajukan para pihak di depan sidang pengadilan, dan lain-lain.Menyangkut
masalah kekuatan pembuktian, mengingat kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti
merupakan sifat publik dari hukum acara perdata, maka hakim diharuskan percaya
kepada kekuatan alat bukti yang diajukan para pihak.
Dengan demikian hakim perdata
tidak boleh memeriksa secara mendalam tentang latar belakang pernyataan para
pihak di persidangan. Tentang apakah pengakuan yang dikemukakan itu palsu atau
tidak, demikian pula apakah sumpah yang diucapkan itu palsu atau tidak, itu
semua merupakan tugas dan wewenang hakim pidana.
IV. Macam-macam
Alat Bukti Pengakuan
4.1 Pengakuan Murni (aveu pur et simple)
Pengakuan murni adalah pengakuan yang sesuai sepenuhnya dengan posita pihak
lawan.24 Penggugat menyatakan sesuatu peristiwa pada pihak tergugat, kemudian
tergugat mengakui atau membenarkan seluruh gugatan penggugat tersebut, sehingga
dengan pengakuan saja hakim menyatakan terbukti apa yang dikemukakan oleh
penggugat maka gugatan penggugat dikabulkan. Pengakuan dapat berupa ucapan atau
isyarat bagi orang yang bisu. Seseorang yang bisu dapat mengemukakan melalui
perantara. Bahkan pengakuan juga dapat dilakukan dengan tulisan.
Oleh karena itu pengakuan secara tulisan ini dapat merupakan alat bukti
pengakuan sekaligus alat bukti surat. Hakikat dari pengakuan secara tulisan ini
memiliki dua fungsi sekaligus. Dari segi substansinya atau materinya termasuk
kategori fungsi sebagai pengakuan, sedangkan apabila dilihat bentuknya
berfungsi sebagai alat bukti surat.
Kedua fungsi dari pengakuan secara tulisan itu akan mempunyai kekuatan sebagai
alat bukti apabila tidak dibantah oleh pihak lawan. Akan tetapi apabila ternyata
hal itu dibantah oleh pihak lawan, maka pihak yang memberikan pengakuan itu
harus membuktikan kebenaran dari pengakuan tersebut. Jika ternyata pihak yang mengajukan
pengakuan tulisan itu tidak dapat membuktikan kebenarannya, maka pengakuan
tulisan itu tidak mempunyai kekuatan alat bukti, baik sebagai pengakuan maupun
sebagai bukti surat.
Apabila pengakuan secara tulisan yang diajukan di muka sidang itu tidak dibantah
oleh pihak lawan, maka pengakuan tersebut dapat diterima sebagai alat bukti
yang sempurna. Sedangkan pengakuan yang ditulis dalam surat jawaban tergugat,
kekuatan pembuktiannya disamakan sebagai pengakuan secara lisan didepan
sidang.Pengakuan secara tertulis tersebut merupakan akta di bawah tangan, kekuatan
pembuktiannya bersifat formal dan bersifat materiil. Kekuatan pembuktian formal
menerangkan bahwa terdapat sesuatu yang diterangkan oleh penandatangan tersebut.
Dengan kata lain, surat itu berisikan keterangan dari orang yang menandatanganinya.Sedangkan
kekuatan pembuktian materiil, memberikan kepastian tentang isi yang diterangkan
di dalam akta yang bersangkutan. Berkenaan dengan hal itu, Pitlo, dalam bukunya
mengemukakan bahwa yang penting adalah kekuatan pembuktian materiil, karena
kekuatan pembuktian materiil itu menilai "apakah memang benar sesuatu yang
diterangkan di dalam akta tersebut, atau sejauhmana isi keterangan tersebut
sesuai dengan kebenaran.
Apabila tergugat di dalam jawabannya tidak menyangkal kebenaran gugatan
penggugat atau bagian-bagian tertentu dari gugatan penggugat tidak dijawab oleh
tergugat, maka gugatan penggugat dianggap diakui oleh tergugat secara diam-diam.Pada
dasarnya jika tergugat telah mengakui gugatan penggugat seluruhnya, maka hakim
harus menganggap peristiwa yang diakui itu terbukti. Akan tetapi hal itu tidak
berlaku bagi setiap sengketa. Dalam beberapa perkara, umpamanya saja,dalam
gugatan mengenai hak milik atau gugatana perceraian, di samping pengakuan tergugat
masih diperlukan bukti-bukti lain. Hal itu terutama dimaksudkan untuk menghindari
timbulnya pengakuan palsu di dalam gugatan mengenai hak milik. Sedangkan dalam
perkara perceraian, dimaksudkan untuk mempersulit terjadinya perceraian,
sehingga diharapkan tujuan Undang-undang perkawinan dapat tercapai.
Oleh karena itu di dalam kedua
perkara tersebut hanya dengan bukti pengakuan tidak dapat dianggap telah
terbukti peristiwa yang bersangkutan.Apabila suatu perkara tidak memiliki
bukti-bukti lain kecuali pengakuan tergugat dan tidak disertai sangkalan, maka
pengadilan menerima pengakuan itu sebagai alat bukti sempurna.28 Terhadap
masalah ini Pengadilan Negeri Surabaya memberikan putusan yang justeru lebih
luas interpretasinya. Dalam putusan tentang masalah wanprestasi terhadap utang,
isinya antara lain: bahwa "pengakuan merupakan alat bukti ang sempurna,
bahkan walaupun terdapat bukti lain tidak perlu diperhatikan karena telah
mempunyai kekuatan pembuktian pembuktian yang sempurna.
4.2 Pengakuan dengan Kualifikasi
(gequalificeerde bekentenis)
Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan
yang dilakukan oleh tergugat yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian
dari tuntutan.30 Di dalam pengakuan dengan kualifikasi ini tergugat menambahkan
sesuatu pada pokok gugatan, sehingga sebenarnya tergugat tidak mengakui apa pun
melainkan memberikan gambaran menurut pandangannya sendiri. Berdasarkan hal di
atas, pengakuan dengan kualifikasi sebenarnya adalah pengakuan dan sangkalan.
Di satu pihak tergugat mengakui sebagian dari gugatan penggugat, sedangkan di
lain pihak tergugat juga menyangkal sebagian lainnya dari gugatan. Terhadap
pengakuan dengan kualifikasi ini, undang-undang melarang untuk memisah-misahkan
pengakuan tersebut. Pengakuan semacam itu harus diterima secara bulat, dalam
arti tidak boleh hanya pengakuan yang diterima
sebagai
terbukti sedangkan sangkalannya tidak diterima.
4.3 Pengakuan dengan Klausula
(geclausuleerde bekentenis)
Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dari
tergugat tentang hal pokok yang diajukan penggugat, akan tetapi disertai dengan
keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Pengakuan ini pun pada
hakikatnya adalah pengakuan dengan sangkalan klausula ini terdapat keterangan
tambahan yang sifatnya memebebaskan sebagai dasar penolakan gugatan penggugat. Sebagai
contoh, pada awalnya tergugat mengakui gugatan penggugat, namun kemudian
tergugat mengemukakan alasan untuk melepaskan diri dari gugatan penggugat untuk
tidak memenuhinya. Hal itu biasanya dilakukan oleh tergugat karena misalnya dia
telah melakukan kewajibannya berupa membayar utangnya, bahkan dia (tergugat)
kini mempunyai tagihan dari penggugat.
Seperti halnya pengakuan dengan kualifikasi,
maka pengakuan dengan klausula pun harus diterima secara bulat dan tidak boleh
dipisah-pisahkan dari keterangan tambahannya (onsplitsbare aveu). Mengenai
hal ini diatur di dalam pasal 176 HIR (Ps. 313 Rbg) dan pasal 1925 BW, sebagai
berikut:"Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya,dan hakim tidak
berwenang untuk menerima sebagiannya saja dan menolak bagian yang lain,
sehingga merugikan orang yang mengakui itu; yang demikian itu hanya boleh
dilakukan jika orang yang berhutang mempunyai maksud untuk membebaskan dirinya,
menyebutkan perkara yang terbukti itu tidak benar".
Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam hal
terdapat pengakuan tergugat yang disertai keterangan tambahan, maka masih
diperlukan sesuatu keterangan berupa pembuktian yang harus dibebankan kepada
penggugat. Dalam pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan dengan
klausula ini, apabila penggugat dapat membuktikan bahwa keterangan tambahan
dari tergugat itu sesungguhnya tidak benar, maka pengakuan itu dapat
dipisah-pisahkan. Pertimbangan pembentuk Undang-undang dalam menentukan bahwa
pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan terutama sekali disebabkan sukar
pembebanan pembuktiannya. Untuk bagian yang berisi pengakuan tidak perlu
dibuktikan lebih lanjut. Sedangkan bagian tambahan dari pengakuan masih
dibebani pembuktian, yakni kepada pihak yang memberipengakuan. Apabila ternyata
pihak yang memberi pengakuan tidak sanggup membuktikannya, konsekuensinya dia
akan dikalahkan.
Akibatnya maka tuntutan penggugat akan
dianggap terbukti dan berarti pula merugikan pihak yang memberikan pengakuan. Untuk
mencegah kemeungkinan hakim akan memisahkan pengakuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan, pembentuk undang-undang secara tidak langsung telah mengisyaratkan
bahwa tidak layak apabila tergugat yang memberi pengakuan masih harus dibebani
dengan pembuktian. Oleh karena itu ketentuan pasal 173 HIR merupakan perkecualian
dari pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg dan ps. 1865 BW). Dengan demikian terhadap
pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan, kewajiban pembuktian dibebankan
kepada penggugat.31 Pada hakikatnya pengakuan tergugat dengan keterangan
tambahan adalah sebagai suatu penyangkalan.
Akibatnya penggugat diwajibkan untuk
membuktikan kebenaran gugatannya. Pada umumnya penggugat memang dapat
membuktikan kebenaran gugatannya. Akan tetapi apabila ternyata penggugat
kebetulan tidak dapat membuktikan kebenaran gugatannya, maka ketentuan tersebut
di atas sungguh merupakan aturan yang merugikan penggugat, karena pada dasarnya
gugatan (sebagian dari gugatan) penggugat telah diakui oleh tergugat. Dalam
hal-hal menghadapi pengakuan tergugat yang tidak dapat dipisah-pisahkan
tersebut, penggugat dapat memilih dua cara, yaitu: Pertama, dia menolak seluruh
pengakuan tergugat dan melakukan pembuktian sendiri; Kedua, membuktikan bahwa
keterangan tambahan tergugat itu tidak benar. Apabila hal tersebut terbukti,
maka penggugat dapat meminta kepada hakim untuk memisahkan pengakuan tersebut
sehingga menjadi pengakuan murni yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna
serta mengikat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan materi diatas,maka dapat diperoleh kesimpulan
sebagai berikut yaitu :
1.
Sebagai
salah satu alat bukti di dalam hukum acara perdata,pengakuan tetap perlu
dipertahankan. Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengakuan dapat
menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dengan menetapkan hak atau hukumnya
antara para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi untuk menghindari pengakuan
palsu dari salah satu pihak, maka penggugat masih perlu dibebani dengan beban
pembuktian, kendati sudah ada pengakuan dari pihak lawan.
2.
Perkembangan
yurisprudensi menunjukkan antara lain bahwa pengakuan sebagai alat bukti tidak
selalu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu untuk
menilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Ini
berarti peranan pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata sangat
tergantung kepada kasusnya masing-masing.
3.
Ketentuan
tentang pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) tetap
perlu dipertahankan. Namun perlu diberi kebebasan kepada hakim untuk memberi
kekuatan pembuktian ini sebagai alat bukti yang sempurna atau tidak, tergantung
pada keadaan yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan tidak lain untuk
melindungi kedua belah pihak secara proporsional.
4.
Dalam
memeriksa perkara perdata, hakim seyogianya mengutamakan kepentingan para
pihak, daripada sifat formalnya hukum acara perdata. Artinya hakim perlu
menyelaraskan kaidah-kaidah hukum acara perdata dengan perkembangan masyarakat
yang menghendakinya.
5.
Dalam
hukum acara perdata, hakim juga seyogianya tidak hanya mencari kebenaran formal
semata-mata, melainkan harus senantiasa berusaha mencari dan menemukan
kebenaran material.
6.
Mempercepat
proses pemeriksaan dalam pembuktian adalah tugas hakim dalam rangka mewujudkan
proses pemeriksaan perkara yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
3.2 Saran
Untuk dapat mewujudkan suatu sistem alat bukti pengakuan dalam hukum acara
perdata,hendaknya dapat mematuhi aturan serta prosedur-prosedur dalam
menyelidiki suatu kasus dengan alat-alat bukti yang dapat dijamin kebenarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar