Ketentuan
asas legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Tahun 2008
perumusannya identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan Pasal 1 ayat (1)
RUU KUHP Tahun 2008 menyebutkan asas legalitas dengan redaksional sebagai,
“Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan
yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”. Kemudian
ketentuan asas legalitas ini lebih lanjut menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1)
RUU KUHP Tahun 2008 disebutkan, bahwa:
“Ayat
ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya
merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada
Undang-undang. Dipergunakan asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan
asas pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan
pidana atau yang mengandung ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak
pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut
demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menuntut dan mengadili
seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.”
Asas
legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya
kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka
ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid
menyebutkan pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum transistoir
(peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang
menurut waktu (sphere of time, tijdgebied) yang terdapat pada pasal 1 ayat (2)
KUH Pidana yang berbunyi, “bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu
terwujudnya perbuatan pidana, maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang
paling menguntungkan baginya.
Barda Nawawi Arief
mempergunakan terminologi melemahnya/bergesernya asas legalitas antara lain
dikarenakan sebagai berikut:
1. Bentuk
pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan
adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP ;
2. Dalam praktik
yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum
yang materiel ;
3. Dalam hukum
positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-undang Dasar Sementara
1950; Undang-undang Nomor 1 Drt 1951; Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak
semata-mata diartikan sebagai “nullum delictum sine lege”, tetapi juga sebagai
“nullum delictum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas
legalitas formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum
pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum ;
4. Dalam dokumen
internasional dalam KUHP negara lain juga terlihat perkembangan/pengakuan ke
arah asas legalitas materiel (lihat Pasal 15 ayat (2) International Convention
on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP Kanada di atas) ;
5. Di beberapa
KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal) ada ketentuan
mengenai “pemaafan/pengampunan hakim” (dikenal dengan berbagai istilah, antara
lain “rechterlijk pardon”, “Judicial pardon”, “Dispensa de pena” atau
“Nonimposing of penalty”) yang merupakan bentuk “Judicial corrective to the
legality principle” ;
6. Ada perubahan
fundamental di KUHAP Perancis pada tahun 1975 (dengan Undang-undang Nomor
75-624 tanggal 11 Juli 1975) yang menambahkan ketentuan mengenai “pernyataan
bersalah tanpa menjatuhkan pidana” (“the declaration of guilt without imposing
a penalty”) ;
7.
Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari
“cyber-crime” merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas “lex certa”,
karena dunia maya (cyber-space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti.
Khusus terhadap
pengecualian asas legalitas ditentukan asas “lex temporis delicti” sebagaimana
ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Konklusi dasar asas ini menentukan apabila
terjadi perubahan perundang-undangan maka diterapkan ketentuan yang
menguntungkan terdakwa. Jan Remmelink menyebutkan ketentuan Pasal 1 ayat (2)
memberikan jawaban dalam artian bahwa bila undang-undang yang berlaku setelah
tindak pidana ternyata lebih menguntungkan, maka pemberlakuannya secara surut diperkenankan.
Pandangan demikian diakui dan diterima di Belgia dan Jerman. A. Zainal Abidin
Farid menyebutkan yang dimaksud dengan perubahan undang-undang dalam pasal 1
ayat (2) KUHP apakah termasuk undang-undang pidana saja atau semua aturan hukum
maka aspek ini dapat dijawab dengan tiga teori yaitu teori formil yang dianut
oleh Simons, kemudian teori materiil terbatas yang dikemukakan oleh van Geuns
dan teori materiil tak terbatas. Menurut teori formil maka perubahan
undang-undang baru dapat terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana yang
diubah. Perubahan undang-undang lain selain dari undang-undang pidana, walaupun
berhubungan dengan undang-undang pidana, bukanlah perubahan undang-undang
menurut pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Kemudian menurut teori materiil terbatas
bahwa perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan perubahan keyakinan
hukum pembuat undang-undang. Perubahan karena zaman atau keadaan tidak dapat
dianggap sebagai perubahan undang-undang ex pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Teori
materiil tak terbatas dimana H.R. dalam keputusannya tanggal 5 Desember 1921
(N.J. 1922 h. 239) yang disebut Huurcommicciewet-arrest, berpendapat bahwa
”perundang-undangan meliputi semua undang-undang dalam arti luas dan perubahan
undang-undang meliputi semua macam perubahan, baik perubahan perasaan hukum
pembuat undang-undang menurut teori materiil terbatas, maupun perubahan keadaan
karena waktu”.
Konklusi dasar
asas legalitas sebagaimana diuraikan konteks di atas, dikaji dari prespektif
karakteristiknya terdapat dimensi-dimensi sebagai berikut:
Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
ketentuan pidana menurut undang-undang.
Tidak dapat diterapkan undang-undang pidana
berdasarkan analogi.
Tidak dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
Tidak boleh ada rumusan delik yang kurang
jelas (asas lex certa).
Tidak ada ketentuan pidana diberlakukan secara
surut (asas nonretroaktif).
Tidak ada pidana, kecuali ditentukan dalam
undang-undang.
Penuntutan pidana hanya berdasarkan ketentuan
undang-undang.
Dikaji dari
perspektif perbandingan hukum (comparative law) maka asas legalitas tersebut
juga dikenal dan diakui oleh beberapa negara. Pada International Criminal Court
(ICC) asas legalitas diatur khususnya pada article 22, article 23 dan article
24. Ketentuan article 22 Nullum crimen sine lege ayat (1) menyebutkan, “A
person shall not be criminally responsible under this Statute unless the
conduct in question constitutes, at the time it takes place, a crime within the
jurisdiction of the court”, dan ayat (2) menyebutkan, “The definition of a
crime shall not be extended by analogy. In case of ambiguity. The definition
shall be intepreted in favour of the person being investigated, prosecuted, or
convicted”, dan ayat (3), “This article shll not affect the characterization of
any conduct as criminal under international law independently of the Statute”.
Kemudian article 23 berbunyi, “A person convicted by the court may be punished
only in accordance with the Statute”, dan article 24 ayat (1) selengkapnya
berbunyi bahwa, “No person shall be criminally responsible under this Statute
for conduct prior to the entry into force of the Statute”, dan ayat (2)
berbunyi bahwa, “In the event of change in the applicable to a given case prior
to a final judgment, the law more favorable to the person being investigated or
convicted shall apply”.
Kemudian dalam
Pasal 9 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia yang ditandatangani di San
Jose, Costa Rica tanggal 22 November 1968 dan mulai berlaku pada tanggal 18
Juli 1978 asas legalitas diformulasikan dengan redaksional bahwa, “No one shall
be convicted of any act or omission that did notconstitute a criminal offence,
under applicable law, at the time when it was committed. A heavier penalty
shall not be imposed than the one that was applicable at the time the criminal
offence. If subsequent to the commission of the offense that law provides for
the imposition of a lighter punishment, the guilty person shall benefit
thereform”. Berikutnya, asas legalitas juga terdapat dalam Deklarasi Hak Asasi
Manusia yang diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III) tanggal 10
Desember 1948 dimana pada Pasal 11 ayat (2) disebutkan asas legalitas dengan
redaksional bahwa, “No one shall be had guilty of any penal offence on account
of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national
or international law, at the time when it was commited. Not shall a heavier by
imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was
committed”. Selain itu, asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 7 ayat (2)
African Charter on Human and People Rights yang ditandatangani di Nairobi,
Kenya, dan berlaku pada tangal 21 Oktober 1986 yang menyebutkan bahwa, “No one
may be condemmed for an act or omission which did not constitute a legally
punishable offence for which no provision was made at the time it was
committed. Punishment is personal and can be imposed only on the offender”.
Kemudian pada KUHP
Jerman yang diumumkan tanggal 13 November 1998 (Federal Law Gazette I, p. 945,
p. 322) disebut Strafgesetzbuch (StGB) pada Section 1 No Punishment Without a
Law disebutkan bahwa, “Sebuah perbuatan hanya dapat dipidana apabila telah
ditetapkan oleh undang-undang sebelum perbuatan itu dilakukan”, (An act may
only be punished if its punishability was determined by law before the act was
committed). Pada asasnya, asas legalitas ini di Jerman juga berorientasi kepada
dimensi penuntutan, sehingga menurut George P. Fletcher di Jerman menganut
“positive legality principle”.
Kemudian asas
legalitas ini juga dikenal di Negara Polandia. Pada ketentuan Pasal 42
Konstitusi Republik Polandia maka asas legalitas dirumuskan dengan redaksional,
“Only a person who has commited an act prohibited by a statute in force at the
moment of commission there of, and which is subject to a penalty, shall be geld
criminally responsible. This principle shaal not prevent punishment of any act
which, at the moment of its commission, constituted an offence within the
meaning of international law”. Berikutnya asas legalitas ini dirumuskan dalam
Pasal 7 Konstitusi Perancis dengan menyebutkan bahwa, “A person may be accused,
arrested, or detained only in the cases specified by law and in accordance with
the procedures which the law provides. Those who solicit, forward, carry out or
have arbitrary orders carried out shall be punished; however, any citizen
summoned or apprehended pursuant to law obey forhwith; by resisting, he admits
his guilt”. Kemudian dalam Pasal 25 Konstitusi Spanjol ditegaskan asas
legalitas adalah, “No one may be convicted or sentenced for actions or
omissions which when committed did not constitute a criminal offence,
misdemeanour or administrative offence under the law then in force” dan dalam
Pasal 25 Konstitusi Italia asas legalitas dirumuskan sebagai, “No one shall be
punished on the basic of a law which has entered into force before the offence
has been committed”.
Selain
negara-negara di atas maka asas legalitas juga dikenal dalam Pasal 14
Konstitusi Negara Belgia sebagai, “No punishment can be made or given except in
pursuance of the law”. Kemudian Pasal 29 Konstitusi Republik Portugal
menentukan bahwa, ”No one shall be convicted under the criminal law except for
an act or omission made punishable under exiisting law; and no one shall be
subjected to a security measure, except for reasons authorised under existing
law. No sentences or security measures shall be ordered that are not expressly
provided for in existing lawas. No one shall bee subjected to a sentence or
security measure that is more severe than hose applicable at the time the act
was committed or the preparations for its commission were made. Criminal laws
that are favourable to the affender shall aply retroactively”. Selanjutnya pada
Pasal 57 Konstitusi Hongaria disebut asas legalitas dengan redaksional sebagai,
“No one shall be declared guilty and subjected to punishment for an offense
that was not a criminal offense under Hungarian law at the time such offense
was committed”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar