Hukum
kontrak merupakan bagian hukum privat. Hukum ini memusatkan perhatian pada
kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation).
Dipandang sebagai hukum privat karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban
yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang
berkontrak.
Kontrak dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai
ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Paradigma
baru hukum kontrak timbul dari dua dalil di bawah ini:
- setiap perjanjian kontraktual yang diadakan adalah sah (geoorloofd); dan
- setiap perjanjian kontraktual yang diadakan secara bebas adalah adil dan memerlukan sanksi undang-undang.
Pada abad sembilan belas hukum kontrak klasik secara
mendasar terbentuk. Terbentuknya teori ini merupakan reaksi dan kritik terhadap
tradisi abad pertengahan mengenai substantive justice. Para hakim dan sarjana
hukum di Inggris dan Amerika Serikat kemudian menolak kepercayaan yang telah
berlangsung lama mengenai justifikasi kewajiban kontraktual yang diderivasi
dari inherent justice atau fairnes of an exchange. Mereka kemudian mengatakan
bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of
the wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.
Pada abad sembilan belas tersebut, para teoretikus hukum
kontrak memiliki kecenderungan untuk memperlakukan atau menempatkan pilihan
individual (individual choice) tidak hanya sebagai suatu elemen kontrak, tetapi
seperti yang dinyatakan ahli hukum Perancis adalah kontrak itu sendiri. Mereka
memiliki kecenderungan mengidentifikasi pilihan tersebut dengan kebebasan, dan
kebebasan tersebut menjadi tujuan tertinggi keberadaan individu.
Dalam paradigma baru ini, moral dan hukum harus secara tegas
dipisahkan. Di sini muncul adagium summun jus summa injuria (hukum tertinggi
dapat berarti ketidakadilan yang terbesar). Konsep seperti justum pretum laesio
enomis (harga yang adil dapat berarti kerugian terbesar) atau penyalahgunaan
hak, tidak memiliki tempat dalam doktrin ini. Apabila seseorang dirugikan oleh
suatu perjanjian disebabkan kesalahannya sendiri, harus memikulnya sendiri
karena ia menerima kewajiban itu secara sukarela (volenti non fit injuria),
harus dipenuhi meskipun orang itu mengalami kerugian, perjanjian tetap berlaku
sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.
Pradigma baru dengan kecenderungan ekonomi liberal laissez
faire di mana isi kontrak ditentukan oleh konsensus ini banyak merubah konsep
hukum kontrak yang telah ada sebelumnya. Kontrak dalam sistem hukum barat
dipandang sebagai perangkat konsep dasar dan doktrin yang memberikan effect
terhadap perjanjian sukarela sesuai dengan maksud para pihak. Konsep ini
mengadaptasi perkembangan situasi ekonomi baru pada abad sembilan belas.
Dalam paradigma baru ini, dalam kontrak timbul dua aspek: pertama, kebebasan (sebanyak mungkin) untuk mengadakan suatu kontrak. Kedua, kontrak tersebut harus diperlakukan sakral oleh pengadilan, karena pihak secara bebas dan tidak ada pembatasan dalam mengadakan kontrak.
Pengertian
Kontrak adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh dua atau lebih pihak dimana masing-masing pihak yang ada didalamnya dituntut untuk melakukan satu atau lebih prestasi. Dalam pengertian demikian kontrak merupakan perjanjian. Namun demikian kontrak merupakan perjanjian yang berbentuk tertulis.
Dalam paradigma baru ini, dalam kontrak timbul dua aspek: pertama, kebebasan (sebanyak mungkin) untuk mengadakan suatu kontrak. Kedua, kontrak tersebut harus diperlakukan sakral oleh pengadilan, karena pihak secara bebas dan tidak ada pembatasan dalam mengadakan kontrak.
Pengertian
Kontrak adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh dua atau lebih pihak dimana masing-masing pihak yang ada didalamnya dituntut untuk melakukan satu atau lebih prestasi. Dalam pengertian demikian kontrak merupakan perjanjian. Namun demikian kontrak merupakan perjanjian yang berbentuk tertulis.
Dalam black’s law dictionary disebutkan:
“Contract:
An agreement between two or more persons which creates an obligation to do or
not to do a peculiar thingâ€.
Dengan demikian maka dalam kontrak mengandung unsur-unsur:
pihak-pihak yang berkompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum,
persetujuan timbal balik, dan kewajiban timbal balik. Ciri kontrak yang utama
adalah dia merupakan satu tulisan yang memuat persetujuan dari para pihak,
lengkap dengan syarat-syarat, serta yang berfungsi sebagai alat bukti tentang
adanya kewajiban. Unsur-unsur kontrak seperti dirinci di atas, secara tegas
memberikan gambaran yang membedakan antara kontrak dengan pernyataan sepihak.
Akhirnya secara singkat dapat dikatakan bahwa kontrak adalah
persetujuan yang dibuat secara tertulis yang melahirkan hak dan kewajiban para
pihak yang membuat kontrak. Kontrak dalam bahasa Indonesia sering disebut
sebagai “perjanjianâ€. Meskipun demikian, apa yang dalam bahasa Indonesia
disebut perjanjian, dalam bahasa Inggris tidak selalu sepadan dengan contract.
Istilah contract digunakan dalam kerangka hukum nasional atau internasional
yang bersifat perdata. Dalam kerangka hukum internasional publik, yang kita
sebut “perjanjianâ€, dalam bahasa Inggris seringkali disebut treaty atau kadang-kadang
juga covenant. Sejauh yang dapat kita ketahui, tidak pernah ada dua pihak
swasta atau lebih membuat treaty atau covenant, sebaliknya, tidak pernah
terekam dua negara yang diwakili oleh pemerintah masing-masing membuat suatu
contract.
Kontrak Dalam Sistem Hukum Internasional
Perlindungan hukum terhadap hubungan antar orang atau antar
perusahaan yang bersifat lintas batas negara dapat dilakukan secara publik
maupun privat. Perlindungan secara publik dilakukan dengan cara memanfaatkan
fasilitas perlindungan yang disediakan oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat
publik, seperti peraturan perundang – undangan domestik dan
perjanjian-perjanjian internasional, bilateral maupun universal, yang
dimaksudkan demikian. Perlindungan secara privat dapat dilakukan dengan cara
memanfaatkan fasilitas perlindungan hukum yang bersifat privat, yaitu dengan
cara berkontrak yang cermat.
Dalam dunia bisnis, jenis hukum privat merupakan pilihan
yang paling populer. Jenis ini digunakan secara luas oleh masyarakat bisnis
yang terlibat dalam transaksi lintas batas negara. Beberapa alasan yang
mengakibatkan penggunaan seperti adalah: pertama; berubahnya orientasi
masyarakat dunia setelah Perang Dunia II ke arah pembangunan ekonomi global.
Kedua; pesatnya pertumbuhan kebijakan, bentuk dan materi transaksi bisnis
internasional. Ketiga; kurang lengkapnya materi hukum publik (sistem
perundang-undangan) berkaitan dengan variasi bentuk dan materi transaksi.
Sebelum menjalin kontrak dengan seseorang yang
berkewarganegaraan lain, terlebih dahulu harus memahami sistem hukum yang
mempengaruhi kontrak di negara tersebut. Juga harus memahami perbedaan sistem
hukum di negara masing-masing. Pengetahuan ini sama pentingnya dengan mengecek
latar belakang calon mitra masing-masing, karena dua alasan. Pertama, hukum di
kedua negara akan menentukan aspek tertentu dalam hubungan kontraktual. Kedua,
hukum di salah satu negara mungkin lebih menguntungkan dari pada di negara
lain.
Setelah mengetahui kesulitan yang dihadapi oleh pihak-pihak
yang menjalin kontrak lintas negara, masyarakat internasional mulai mengadopsi
sitem hukum dan peraturan yang bisa diterapkan dalam transaksi pihak-pihak yang
berlokasi di negara yang berbeda. Tujuan dari pengadopsian hukum internasional
yang seragam adalah untuk memastikan bahwa semua pihak yang melakukan transaksi
lintas batas negara menjadi subjek seperangkat peraturan yang sama, tidak
peduli bahwa hukum yang berlaku di negaranya masing-masing berbeda.
Secara umum sangatlah tidak bijaksana mendasarkan persyaratan
kontrak pada hukum, bahkan hukum internasioanal sekalipun. Penerapan hukum
internasional untuk menafsirkan sebuah kontrak bisa mengarah pada hasil yang
tidak diduga dan tidak diinginkan.
Misalnya, dalam suatu kontrak jual beli internasional,
penjual gagal memenuhi batas waktu pengiriman yang ditetapkan. Kemudian pembeli
menuntut penjual karena kegagalan memenuhi batas waktu pengiriman satu bulan.
Di negara pembeli, kontrak tersebut mungkin dianggap tidak valid karena ada
persyaratan penting yang tidak dimasukkan. Tetapi jika di pengadilan menerapkan
hukum internasional, berdasarkan praktek yang biasa berjalan dalam industri
tersebut mungkin akan menetapkan dua bulan sebagai waktu penyerahan yang masuk
akal sehingga mungkin bisa menegakkan kontrak tersebut.
Untuk menghindari hasil yang tidak menyenangkan dan di duga,
ketika melakukan kontrak dengan pihak negara lain, harus didefinisikan dengan
tepat hak dan kewajiban dalam kontrak tertulis. Kontrak harus menyatakan secara
jelas persyaratan-persyaratannya sehingga kedua pihak akan memahami apa yang
harus dilakukan dan apa yang harus diterima.
Kontrak yang dikonsep dengan baik akan sangat membantu memastikan bahwa pihak-pihak yang memiliki latar belakang budaya berbeda mencapai pemahaman bersama dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban masing-masing. Semua pihak yang menjalin kontrak hadir dengan ekspektasi masing-masing, yang pada gilirannya mewarnai pemahaman mereka terhadap persyaratan-persyaratan yang dicantumkan dalam kontrak. Sesuatu yang masuk akal bagi satu pihak, mungkin tidak bisa diterima akal pihak lain, hal mana perlu di bicarakan bersama sehingga muncul pemahaman yang sama. Hal ini merupakan elemen penting dalam pembuatan sebuah kontrak agar bisa dijalankan dan ditegakkan.
Kontrak yang dikonsep dengan baik akan sangat membantu memastikan bahwa pihak-pihak yang memiliki latar belakang budaya berbeda mencapai pemahaman bersama dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban masing-masing. Semua pihak yang menjalin kontrak hadir dengan ekspektasi masing-masing, yang pada gilirannya mewarnai pemahaman mereka terhadap persyaratan-persyaratan yang dicantumkan dalam kontrak. Sesuatu yang masuk akal bagi satu pihak, mungkin tidak bisa diterima akal pihak lain, hal mana perlu di bicarakan bersama sehingga muncul pemahaman yang sama. Hal ini merupakan elemen penting dalam pembuatan sebuah kontrak agar bisa dijalankan dan ditegakkan.
Kontrak yang mencerminkan ekspektasi budaya masing-masing
pihak kemungkinan besar bisa dijalankan secara memuaskan bagi kedua pihak.
Pemahaman bersama tidak sekedar berarti bahwa masing-masing pihak memahami hak
dan kewajibannya sebelum membubuhkan tanda tangan, tetapi pihak-pihak tersebut
harus memiliki kesepakatan yang tuntas mengenai hak dan kewajiban.
Persengketaan biasanya muncul ketika salah satu pihak menafsirkan hak dan
kewajiban dengan cara yang berbeda dengan pihak lain.
Ada kecenderungan hukum di banyak negara -dan sudah pasti
pada gilirannya hukum internasional di antara berbagai negara- untuk mengakui
kontrak sebagai basis transaksi bisnis, meskipun kontrak tersebut tidak
mencakup seluruh persyaratan yang esensial. Jika muncul persengketaan dan
ternyata persyaratan yang esensial tersebut ada yang tidak tercakup, atau tidak
jelas maksud dari masing-masing pihak, bisa didasarkan pada praktek perdagangan
atau keuangan yang sudah biasa dilakukan.
Pada dasarnya, hakim, arbitrator, pembuat peraturan, dan
pembuat hukum lebih menyukai kesepakatan bisnis yang dibuat berdasarkan
kebiasaan praktek bisnis. Ada anggapan apabila individu atau konsumen berada
dalam payung adat istiadat berbisnis, mereka lebih terlindungi dari kesepakatan
yang merugikan akibat kontrak yang dibuatnya tidak mencantumkan seluruh
persyaratan esensial. Tetapi untuk amannya, setiap kali melakukan transaksi
jangan mendasarkan pada kontrak kebiasaan semata tetapi harus selalu menyatakan
maksud dalam persyaratan yang jelas dan tertulis.
Sistem Hukum
Secara garis besar di dunia ini meskipun dikenal ada lima
sistem hukum, yaitu; Civil law, common law, socialis law, islamic law dan
sistem hukum adat, tetapi sesungguhnya yang dominan dipakai di dunia
internasional hanyalah dua, yaitu sistem hukum civil law dan common law.
Dalam pembentukan kontrak, terdapat perbedaan antara common
law dan civil law. Akibat perbedaan ini sangat mempengaruhi dalam penyusunan
ketentuan kontrak internasional.
Sehubungan dengan perbedaan dalam sistem hukum tersebut, maka kemudian dalam rangka merancang suatu kontrak atau pembuatan suatu konsep perjanjian pun dengan sendirinya mengacu pada sistem hukum yang dianut. Namun zaman terus bergerak, dan tiba saatnya era globalisasi yang juga mau tidak mau mempengaruhi sistem hukum yang diterapkan, apabila terjadi perjumpaan antara sistem hukum yang berlainan.
Sehubungan dengan perbedaan dalam sistem hukum tersebut, maka kemudian dalam rangka merancang suatu kontrak atau pembuatan suatu konsep perjanjian pun dengan sendirinya mengacu pada sistem hukum yang dianut. Namun zaman terus bergerak, dan tiba saatnya era globalisasi yang juga mau tidak mau mempengaruhi sistem hukum yang diterapkan, apabila terjadi perjumpaan antara sistem hukum yang berlainan.
Common Law
Dalam pembuatan kontrak di sistem common law, para pihak
memiliki kebebasan untuk menyepakati persyaratan yang diinginkan, sepanjang
persyaratan tersebut tidak melanggar kebijakan publik ataupun melakukan
tindakan yang melanggar hukum. Jika ada persyaratan tertentu yang tidak
tercakup, hak dan kewajiban yang wajar akan diterapkan diambil dari ketetapan
hukum yang ada atau praktek bisnis yang biasa dijalankan oleh para pihak atau industri.
Biasanya kerugian di ukur dengan “lost benefit of the bargainâ€
(manfaat/keuntungan yang harus di dapat yang hilang).
Peraturan ini memberi kesempatan kepada satu pihak untuk
menggugat kerugian sejumlah manfaat yang bisa dibuktikan yang akan diperoleh
pihak tersebut jika pihak lain tidak melanggar kontrak. Di kebanyakan
jurisdiksi, salah satu pihak diminta untuk membayar ganti rugi akibat
pelanggaran, yang dikenal sebagai konsekuensi kerugian. Kontrak menurut sistem
hukum common law, memiliki unsur sebagai berikut:
A. Bargain
Unsur
bargain dalam kontrak common law dapat memiliki sifat memaksa. Sejarah
menunjukkan bahwa pemikiran mengenai bargain , dalam hubungannya dengan konsep
penawaran (offer)dianggap sebagai ujung tombak dari sebuah perjanjian dan
merupakan sumber dari hak yang timbul dari suatu kontrak. Penawaran dalam
konteks ini tidak lebih adalah sebuah transaksi di mana para pihak setuju untuk
melakukan pertukaran barang-barang, tindakan-tindakan, atau janji-janji antara
satu pihak dengan pihak yang lain. Karena itu, maka ukuran dari pengadilan
terhadap perjanjian tersebut dilakukan berdasarkan penyatuan pemikiran dari
para pihak, ditambah dengan sumber dari kewajiban mereka, dan kemudian
memandang ke arah manifestasi eksternal dari pelaksanaan perjanjian tersebut.
Pengertian penawaran merupakan suatu kunci yang digunakan untuk lebih mengerti
tentang penerapan aturan-aturan common law mengenai kontrak.
B. Agreement
Suatu
proses transaksi yang biasa disebut dengan istilah offer and acceptance, yang
ketika diterima oleh pihak lainnya akan memberikan akibat hukum dalam kontrak.
Dalam perjanjian sering ditemukan, di mana satu pihak tidak dapat menyusun
fakta-fakta ke dalam suatu offer yang dibuat oleh pihak lainnya yang telah
diterima sebagai acceptance oleh pihak tersebut. Karena penawaran dan
penerimaan adalah hal yang fundamental, maka dalam sistem common law, sangat
diragukan apakah suatu pertukaran offer (cross-offer) itu dapat dianggap
sebagai kontrak. Berdasarkan sistem common law, pada saat suatu kontrak dibuat,
saat itulah hak dan kewajiban para pihak muncul, hal yang demikian itu diatur
dalam statute. Karena bisa saja terjadi suatu kontrak yang dibuat berdasarkan
keinginan dari para pihak dan pada saat yang sama juga kontrak tersebut tidak
ada. Hal ini disebabkan karena aturan mengenai acceptance dan revocation ini
memiliki akibat-akibat yang berbeda pada setiap pihak.
C.
Consideration
Dasar
hukum yang terdapat dalam suatu kontrak adalah adanya unsur penawaran yang
kalau sudah diterima, menjadi bersifat memaksa, bukan karena adanya janji-janji
yang dibuat oleh para pihak. Aturan dalam sistem common law tidak akan
memaksakan berlakunya suatu janji demi kepentingan salah satu pihak kecuali ia
telah memberikan sesuatu yang mempunyai nilai hukum sebagai imbalan untuk
perbuatan janji tersebut. Hukum tidak membuat persyaratan dalam hal adanya
suatu kesamaan nilai yang adil. Prasyarat atas kemampuan memaksa ini dikenal
dengan istilah consideration . Consideration adalah isyarat, tanda dan merupakan
simbol dari suatu penawaran. Tidak ada definisi dan penjelasan yang memuaskan
dari sistem common law mengenai konsep ini. Hal demikian ini telah di mengerti
atas dasar pengalaman.
D. Capacity
Kemampuan
termasuk sebagai syarat tentang, apakah para pihak yang masuk dalam perjanjian
memiliki kekuasaan. Suatu kontrak yang dibuat tanpa adanya kekuasaan untuk
melakukan hal tersebut dianggap tidak berlaku. Sebagai illustrasi dapat
diuraikan putusan pengadilan dalam Quality Motors, Inc. V. Hays di mana memutuskan
bahwa kontrak tidak sah karena dilakukan oleh individu yang belum dewasa,
walaupun transaksi dilakukan oleh melalui orang lain yang telah dewasa, dan
surat jual belinya di sahkan oleh notaris. Dalam kasus ini terlihat bahwa
pengadilan menerapkan secara tegas dan kaku ketentuan umur untuk seseorang
dapat melakukan perbuatan hukum. Walaupun jual beli akhirnya dilakukan oleh
orang dewasa, namun fakta menunjukkan ternyata hal tersebut dilakukan dengan
sengaja untuk melanggar ketentuan kontrak, akhirnya pengadilan membatalkan
ketentuan kontrak tersebut.
Civil law
Kebanyakan negara yang tidak menerapkan common law memiliki
sistem civil law. Civil law ditandai oleh kumpulan perundang-undangan yang
menyeluruh dan sistematis, yang dikenal sebagai hukum yang mengatur hampir
semua aspek kehidupan.Teori mengatakan bahwa civil law berpusat pada
undang-undang dan peraturan. Undang-Undang menjadi pusat utama dari civil law,
atau dianggap sebagai jantung civil law . Namun dalam perkembangannya civil law
juga telah menjadikan putusan pengadilan sebagai sumber hukum. Di banyak hukum
dalam sistem civil law tidak tersedia peraturan untuk menghitung kerugian
karena pelanggaran kontrak. Standar mengenai penghitungan kerugian ini masih
tetap belum jelas di banyak negara dengan civil law. Meskipun demikian
pengadilan di negara-negara ini cenderung memutuskan untuk menghukum pihak yang
salah tidak dengan uang, tetapi dengan pelaksanaan tindakan kontrak tertentu. Keputusan
pengadilan ini mengisyaratkan salah satu pihak untuk menjalankan tindakan
tertentu yang dimandatkan oleh pengadilan, seperti mengembalikan hak milik atau
mengembalikan pembayaran. Banyak sistem dari civil law memiliki mekanisme
penegakan dan pamantauan agar penegakan bisa dijalankan secara efektif. Unsur kontrak
dalam civil law sistem terdiri dari empat unsur, sebagai berikut:
a. Kapasitas Para Pihak
Kebebasan
kehendak sangat dipengaruhi oleh kapasitas atau kemampuan seseorang yang
terlibat dalam perjanjian. Kemampuan ini sangat menentukan untuk melakukan
perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kapasitas yang dimaksudkan dalam civil law antara lain ditentukan individu
menurut umur seseorang. Di Indonesia, Philipina, dan Jepang yang dianggap telah
mempunyai kapasitas untuk melakukan suatu kontrak harus telah berumur 21 tahun.
Civil Code Perancis yang merefleksikan pemikiran modern, menyatakan bahwa
kehendak individu yang bebas adalah sumber dari sistem hukum, yang meliputi hak
dan kewajiban. Namun kebebasan kehendak ini harus sesuai dengan hukum tertulis,
yaitu hukum perdata.
Di Indonesia, Jepang, Iran dan Philipina, di mana perusahaan
sebagai subjek hukum dapat melakukan kontrak melalui pengurus perusahaan. Di
Indonesia pengurus perusahaan terdiri dari anggota direksi dan komisaris. Dalam
melakukan kegiatannya, maka anggota direksi harus memenuhi ketentuan anggaran
dasar perusahaan dan peraturan perundang-undangan, yang memberikan kepadanya
kapasitas dalam melakukan penandatanganan kontrak dan tindakan hukum lainnya.
Hal inilah yang dikatakan dalam civil law merupakan the code granted them full
capacity.
b.
Kebebasan Kehendak Dasar Dari Kesepakatan
Kebebasan
kehendak yang menjadi dasar suatu kesepakatan, agar dianggap berlaku efektif
harus tidak dipengaruhi oleh paksaan (dures), kesalahan (mistake), dan
penipuan(fraud). Berkenaan dengan kebebasan kehendak, pengadilan di Perancis
menerapkan ketentuan civil Code sangat kaku, yaitu tidak boleh merugikan pihak
lain. Dalam kenyataan sehari-hari, walaupun yang dianggap mampu melaksanakan
kebebasan kehendak ada pada orang yang sudah dewasa, namun diantara mereka
tidak boleh membuat kebebasan kehendak, yang dapat merugikan pihak lain.
Kesepakatan di antara para pihak menjadi dasar terjadinya
perjanjian. Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menetukan bahwa perjanjian atau
kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para
pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum
perjanjian dikuasai oleh “asas konsensualismeâ€. Ketentuan Pasal 1320 ayat
(1) tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan
isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya.
c.
Subjek yang pasti
Merujuk
pada kesepakatan, terdapat dua syarat di hadapan juristic act, suatu perjanjian
dapat diubah menjadi efektif yaitu harus dengan ada antara lain suatu subyek
yang pasti. Sesuatu yang pasti tersebut, dapat berupa hak-hak, pelayanan
(jasa), barang-barang yang ada atau akan masuk keberadaannya, selama mereka
dapat menentukan. Para pihak, jika perjanjian telah terbentuk tidak mungkin
untuk melakukan prestasi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
d.
Suatu sebab yang diijinkan (A Premissible Cause)
Perjanjian
tidak boleh melanggar ketentuan hukum. Suatu sebab yang halal adalah syarat terakhir
untuk berlakunya suatu perjanjian. Pasal 1320 ayat 4 jo 1337 KUHPerdata
menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang
menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan
kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat
untuk causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan
kesusilaan atau bertentangan dengan undang-undang adalah tidak sah.
Prinsip Pilihan Hukum
Melakukan
kontrak bisnis lintas batas negara, para pihak akan dihadapkan dengan pilihan
hukum. Dalam penentuan pilihan hukum, dikenal beberapa prinsip dan batas
pilihan hukum antara lain sebagai berikut:
a.
Partijautonomie
Menurut
prinsip ini, para pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka
pilih dan berlaku sebagai dasar transaksi, termasuk sebagai dasar penyelesaian
sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi yang dibuat.
Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui oleh
sebagian besar negara, seperti Eropa (Italia, Portugal, Yunani), Eropa Timur
(Polandia, Cekoslowakia, Austria), negara-negara Asia-Afrika, termasuk
Indonesia dan negara-negara Amerika, khususnya Kanada.
b.
Bonafide
Menurut
prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik (bonafide), yaitu
semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang
lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi (isi perjanjian).
c.
Real Connection
Beberapa
sistem hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang
dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak ditundukkan/didasarkan kepada hukum
yang dipilih.
d.
Larangan Penyelundupan Hukum
Pihak-pihak
yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak
menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenang-wenangan demi keuntungan
sendiri.
e.
Ketertiban Umum
Suatu
pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, yaitu bahwa
hukum yang dipilih oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi
asasi hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa
ketertiban umum (orde public) merupakan pembatas pertama kemauan seseorang
dalam melakukan pilihan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar