Jumat, 12 Oktober 2012

TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI



A.Pengertian Ekstradisidan Sejarah Ekstradisi
 Ekstradisiberasal dari kata latin“axtradere”(extradition =Inggris) yangberartiexadalah keluar, sedangkantradere berarti memberikan yang maksudnyaialah menyerahkan.Istilah ekstradisiini lebih dikenal atau biasanya digunakan terutama dalampenyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepadanegarapeminta.

Menurut I Wayan Parthiana, SH, “Ekstradisi adalah Penyerahanyangdilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisiyang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbalbalik, atas seseorang yang tertuduh(terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatanyangdilakukannya (terhukum, terpidana) olehnegaratempatnya melarikan diri atauberada atau bersembunyi kepada negara yang memilikiyurisdiksi untuk mengadiliatau menghukumnya atas permintaan darinegara tersebut, dengan tujuan untukmengadili atau melaksanakan hukumannya.”
M. Budiarto, mengatakan bahwa secara umum ekstradisi dapat diartikan suatu proses penyerahan tersangkan atau terpidana karena telahmelakukan suatu kejahatanyang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepadanegara lainyangberwenang memeriksa danmengadili pelaku kejahatan tersebut.
Sedangkan sarjana-sarjanaasing yang memberikan definisi ialah:
L. Oppenheimmenyatakan:
“Extradition is the delivery of an accused or confited individual to thestateon whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a crime bythe state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be”.
Yang artinyaialah;ekstradisi adalah penyerahanseorang tertuduh oleh suatu negara diwilayahmana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana iadisangkamelakukanatau telahmelakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan.
J. G. Starkememberikan pengertian sebagaiberikut:
“The term extradition denotes the processwhereby under treaty or upon abasis of reciprocity one statesurrenders to another state at its request a personaccused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of therequesting state competent to try alleged offender”.
Artinyaialah penyerahan (Ekstradisi)menunjukkan suatu proses dimanasuatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminalyang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut. Biasanya kejahatan yang berwenang untuk mengadili penjahat tersebutyang dilakukannya dalamwilayah yang diserahkan.
Pada umumnya, ekstradisi adalah merupakan sebagai tujuan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal balik maupun sepihak. Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut disebut ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung).
Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam pengaturannya diekstradisi.
Dalam memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis hanya mengemukakan beberapa pendapat dari para sarjana, namun tidaklah berarti sarjana-sarjana termuka lainnya tidak memberikan definisi. Akan tetapi masih banyak lagi sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan.
Ekstradisi pertama sekali dikenal yakni dengan adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis pada tahun 1979 sebelum Masehi antara Ramses II dari Mesir dengan Hattusili dari Kheta. Perjanjian bantuan timbal-balik termasuk juga
Universitas Sumatera Utara
kerja sama dalam menghadapi musuh-musuh dalam negeri yang harus diserahkan kepadanegara asal kalau pelaku kejahatan berlindung pada raja dannegara lain.Dengan dibuatnya perjanjian antara kedua negara tersebut menandakan adanyatahap-tahap permulaan darilahirnya perjanjian ekstardisi.Akan tetapi suatu halyang merupakan ciriistimewa dalam perjanjian yang dibuat padatahun 1279sebelumMasehiini adalah adanya ketentuanbahwa orang yang akan diserahkan tidak dijatuhihukuman.
Kemajuan-kemajuan dalamilmu pengetahuan dan teknologi disertaidengan berkembangnya pemikiran-pemikiran yang baru dalam bidang politik,ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pulamemberikan dorongan terhadapperkembanganlembaga ekstradisi dalam konteks hukuminternasional. Memangkita akuibahwa kemajuanilmu pengetahuan pada satu sisidapat meningkatkan kesejahteraanhidup umatmanusia, namun padasisi lain timbul pula efek-efeknegatifnya. Misalnya timbulnya kejahatan-kejahatan dalambidang keuangan,perbankan, kejahatan komputer danlain-lain yang dapatmenimbulkan akibatyang cukup meresahkanmasyarakat tidak saja padasatu negara tetapijugaberpengaruh padanegara-negara lain. Dengan demikian untuk mengantisipasikejahatan-kejahatanyang berkembang tersebut sangat diperlukan adanya kerjasama antara negara-negara dalammenanggulanginya. Halini dapat diwujudkan misalnya, denganmenangkap pelaku kejahatanyang melarikan diri dan menyerahkannyakepada negara yang mempunyai yurisdiksiuntuk mengadilidan menghukumnya atas permintaan darinegara tersebut. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ekstradisi adalah merupakan sarana yang ampuh untuk memberantas kejahatan.
Memang kita akui bahwa lembaga ekstradisi adalah lembaga atau sarana yang ampuh untuk dapat memberantas kejahatan. Hal ini hanya dapat diwujudkan jika terdapat hubungan yang baik antara negara-negara didunia, sehingga dapat lebih memudahkan dan mempercepat peneyerahan penjahat pelarian. Namun bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya, dimana antara negara sipelaku kejahatan dengan negara dimana ia melarikan diri saling bermusuhan, sehingga sangat sulit untuk saling menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan perlindungan kepada seseorang atau beberapa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi. Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi bermusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat tersebut, Demikian pula sebaliknya. Disamping itu pula praktek-pratek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk kerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan. Dalam merumuskan dan membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi, negara-negara yang bersangkutan perlu memperhatikan beberapa aspek, baik aspek pemberantasan kejahatan dimana individu sipelaku kejahatan tetap diberikan hak dan kewajiban.
Dengan demikian perjanjian-perjanjian ekstradisi dalamisi dan bentuknya yang modern memberikan jaminankesimbanganantaratujuan memberantas kejahatan dan penghormatanhak-hak azasi manusia. Apalagi masalah hak azasimanusia adalahmerupakan masalahyang cukup actual dibicarakan didunia. Prinsip tidak menyerahkanpelaku kejahatan politik adalah merupakan wujud dari pengakuanhak azasimanusia untuk menganut keyakinan politik atau hak politik seseorang. Pada masasekarang ini,didalam pelaksanaannya negara-negara dalammelakukan penyerahan penjahat pelarian tidak harus tergantung kepada adanyaperjanjian antara negara-negara tersebut. Bisa saja antara kedua negara tersebuttidak mempunyai perjanjian ekstradisi,namun mereka menyerahkan penjahat-penjahat pelarian untuk diadili,meskipun bukti-bukti untuk menguatkan dugaan tentang kejahatanbelum dapat ditunjukkan. Halini umumnya terjadi diantara negara-negara yang mempunyai hubungan yang baik. Dengan demikian tidaklah berartibahwa adanya perjanjianmerupakan persyaratanyang mutlak dalammelaksanakan penyerahan penjahattersebut.
Agar dapat dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai ekstradisi,maka haruslahdiketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-unsur dari ekstradisiitusendiri. MenurutI Wayan Parthiana, SH ada beberapa unsur dari ekstradisiyakni:
1.Unsur Subjek.
Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalahnegara. Dalamhalini ada 2(dua) negara yang terkaityakni:Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara
  1. Negara yang memiliki yurisdiksiuntuk mengadiliatau menghukum sipelaku kejahatan.
  2. Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh,terdakwa) atau siterhukumitu berada atau bersembunyi.
Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadiliatau dihukum atas kejahatanyang telah dilakukannyaitu. Biasanyanegarayangmemilikiyurisdiksi untuk menghukuminilebih dari satu. Untuk mendapatkan kembali orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan permintaan kepadanegara tempatorang itu berada atau bersembunyi. Negara inidisebut negara peminta (the resqusthing state).
Negara tempat pelaku kejahatanberada atau bersembunyi diminta oleh negara yang memilikiyurisdiksi untuk mengadili supayamenyerahkan orangyang berada dalam wilayahnyaitu (tersangka,terhukum)yang dengan singkatdisebut negara diminta (the resquithing State).
2.Unsur Objek.
Unsur objek yang dimaksud adalahsipelakuitu sendiri (tersangka,tertuduh,terhukum)yang diminta olehnegara peminta kepadanegara dimintasupaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai“orangyang diminta”.Walaupun sebagai objek namun sebagaimanusiadiaharus diperlakukan sebagaisubjek hukum dengan segalahak dan kewajibannyayang azasi,yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.Universitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara
3.Unsur Tata cara dan Prosedur.

Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yaknibagaimana tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahanmaupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segalahalyang adahubungannyadengan itu. Penyerahanhanya dapat dilakukan apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan olehnegara peminta kepada negara diminta. Permintaanitu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisiyang telah ada sebelumnya antara keduabelah pihak atau apabila perjanjianitu belum adajugabisa didasarkan pada azastimbalbalik yang telah disepakati.Kalau tidak ada permintaan untukmenyerahkan darinegara peminta,makasitersangka tidak boleh ditangkap ataudiserahkan.Kecuali penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanyayurisdiksinegara tersebut atau orang yang kejahatannya sendiriatau ataskejahatanlain yang dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secaraformalkepadanegarayang bersangkutansesuai denganprosedur yang telah ditentukan atau menurut hukum kebiasaninternasional.
4.Unsur Tujuan

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuanadalah untuk tujuan apaorang yangbersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Hal initentunyamelihat kepada bentuk kejahatanyang telahmelakukansuatu kejahatan yangmenjadiyurisdiksinegara atau negara diminta. Penyerahan atau ekstradisiyang dimaksudkan ialah untuk mengadilipelaku kejahatan tersebut dan menjatuhkan hukuman apabila terbuktibersalah dan agarsipelaku kejahatan
menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum dinegara yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang lebih penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan kedepan pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah makin meluasnya tindakan serupa yang akan mengancam keamanan dan ketertiban serta keselamatan internasional yang sudah menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-negara didunia ini.
B. Ruang Lingkup Ekstradisi
Pada masa sekarang ini, akibat dari kemajuan teknologi yang semakin canggih khususnya dibidang komunikasi dan kedirgantaraan, maka jarak antara satu negara dengan negara lain dapat ditempuh dengan waktu yang singkat. Disatu sisi kemajuan ini tentunya berdampak positif terhadap proses percepatan pembangunan diseluruh dunia tetapi disisi lain hal ini sangat berpengaruh pula terhadap kecanggihan-kecanggihan baik dari bentuk-bentuk kejahatan maupun pelaku-pelaku kejahatan dalam menghindari tuntutan yang akan dijatuhkan terhadapnya.
Seorang pelaku kejahatan tentunya dengan mudah untuk mudah melarikan diri ke negara lain untuk menghindari tuntutan dan ancaman yang akan dijatuhkan terhadapnya. Jika hal ini terjadi, maka telah terlibatlah kepentingan dua negara bahkan lebih.
Agar orang yang telah melakukan kejahatan disuatu negara dimana ia telah melarikan diri ke negara lain dapat dihukum, maka negara tempat ia melakukan kejahatan tersebut tidak dengan mudah menghukum dan menangkapnya dinegara
lain, karena hal ini telah melanggar kedaulatan di wilayah negara lain. Ini hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari negara dimana sipelaku tersebut berada. Jika dilakukan tanpa adanya persetujuan dari negara tersebut maka hal ini telah dipandang sebagai intervensi atau campur tangan yang dilarang menurut hukum internasional.
Cara yang legal untuk dapat mengadili dan menghukum sipelaku kejahatan itu ialah dengan meminta kepada negara tempat sipelaku kejahatan itu berada, supaya menangkap dan menyerahkan orang tersebut. Sedangkan negara tempat sipelaku kejahatan berada, setelah menerima permintaan untuk menyerahkan itu dapat menyerahkan sipelaku kejahatan tersebut kepada negara atau salah satu negara yang mengajukan permintaan penyerahan tersebut. Cara atau prosedur semacam ini telah diakui dan merupakan prosedur yang telah umum dianut baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional yang lebih dikenal dengan ekstradisi.
Hal ini tentunya dapat berjalan dengan lancar jika hubungan antara negara yang meminta penyerahan dengan negara yang diminta penyerahannya berjalan dengan lancar pula. Secara teoritis kelihatannya ekstradisi ini mudah untuk dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya ditemui banyak kesulitan-kesulitan. Apabila dalam pelaksanaan ekstradisi ini tidak ada satu patokan apakah harus ada perjanjian antara negara-negara tersebutnya sebelumnya atau tidak.
Oleh karena itulah kita harus melihat ekstradisi ini dari lingkup yang lebih luas, baik dalam konteks hukum internasional maupun dalam konteks hukum nasional.
Dalam hukum internasional,sampaisaat ini belummengenal adanya suatu perjanjian internasional multilateral(International Convention) yang mengatur lembaga ekstradisi secara umum atauuniversal. Yang ada dikalangan masyarakat internasional (International Community) kebanyakan ialah perjanjian bilateral ekstradisi dan sejumlah kecil perjanjian multilateral yang sifatnya kerja samaregional dibidang ekstradisi,misalnya: The Arab LeageExtradition Agreement Tahun 1952.The Inter America Convention Extradition.European Extradition Convention, danlain-lain.
Memang diakui, agar ekstradisimudah dilakukan maka keberadaan perjanjianinternasional tentang ekstradisi sebelumnya akan sangat diperluka.Dengan demikian penyerahanseorang dapat dilakukan denganmengikutiketentuanyang telah diletakkan dengan pasti dalam perjanjian tersebut. Walaudemikian, tanpa adanya perjanjian ekstradisi penyerahanseseorang yang dituduh melakukan kejahatan dapat dilakukanmenurut hukum kebiasaaninternasional.
Ekstradisi yang dimintakan bukan berdasarkan suatu perjanjian internasional (karena adanya traktat) biasanya sering menimbulkan masalah. Halini disebabkan tidak adanya dasarhukumyang pastiyang dapat digunakan sebagailandasan untuk menyerahkan seseorang. Dalam keadaan demikianituumumnya penyerahanseseorang yang tertuduh melakukan kejahatan dilakukan dengan cara permintaan secara sopan santun internasional (internationalcourtesty),perlakuan timbalbalik (reciprocity),juga berupakemurahan hati(exgratia).Universitas Sumatera Utara
Ekstradisi tumbuh dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama kelamaan bekembang menjadi hukum kebiasaan. Negara-negara mulai merumuskannya didalam perjanjian-perjanjian ekstradisi baik yang bilateral, multilateral, ataupun multilateral regional. Disamping menambahkan ketentuan-ketentuan baru sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Beberapa konvensi internasional yang dapat dijadikan dasar hukum sebagai pelaku kejahatan menurut ketentuan tentang ekstradisi sebenarnya juga sudah ada sebelumya, misalnya kejahatan penerbangan yang telah diatur dalam konvensi Tokyo 1963, konvensi Den Haag 1970, konvensi Montreal 1971, konvensi Tentang Obat Bius 1971, dan lain-lain.
Disamping melihatnya dari aspek hukum internasional, ekstradisi juga harus dilihat dari aspek hukum nasional, karena tidaklah mungkin pembahasan ekstradisi dapat dipecahkan jika hanya ditinjau dari sisi hukum internasional saja. Hal ini disebabkan karena adanya hal-hal yang tidak diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, terutama hal-hal yang merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan. Dalam hal seperti inilah perjanjian-perjanjian ekstradisi menunjukkan kepada hukum nasional masing-masing pihak untuk menentukannya dan pengaturannya secara lebih mendetail. Misalnya tentang penangkapan dan penahanan orang yang diminta, keputusan tentang penentuan kejahatannya apakah termasuk kejahatan politik atau tidak, tentang lembaga atau instansi yang berwenang untuk memutuskan apakah permintaan akan diterima atau ditolak dan lain-lain sebagainya. Namun bukan hukum nasional yang sudah ada itu sendiri masih
belum dapat menjawab semua masalah yang timbul bertalian dengan ekstradisi ini. Oleh karena negara-negara juga memandang perlu memiliki sebuah undang-undang nasional yang secara khusus mengatur mengenai tentang ekstradisi. Disamping itu, mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain.
Perjanjian-perjanjian yang telah lebih dahulu diadakan, akan merupakan pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan oleh negara yang bersangkutan apabila kemudian hendak membuat undang-undang ekstradisi nasional. Hal ini dimaksudkan supaya tidak timbul pertentangan antara ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi dengan terdapat didalam perundang-undangan ekstradisi itu sendiri.
Hukum internasional pada prinsipnya tidak membenarkan suatu negara melalaikan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasional berdasarkan alasan-alasan yang merupakan masalah dalam negeri dari negara yang bersangkutan.
C. Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi
Yang dimaksud dengan prosedur disini ialah tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri dengan segala hal yang ada hubungannya dengan itu.
Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Penyerahan dan permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara masing-masing kedua belah pihak. Apabila
perjanjianitu tidak ada,jugabisa didasarkan pada azas timbalbalikyang telah disepakati. Jadi bila sebelumnya tidak ada permintaan untuk menyerahkandari negara peminta, orang yangbersangkutan tidak boleh ditangkap, atau ditahan ataupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan penahananitu didasarkan adanyayurisdiksinegara tersebut atas orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lainyang dilakukan orang itu dalam wilayah negara tersebut.
Permintaanuntuk menyerahkan itu haruslah diajukan secara formalkepada negara diminta sesuai dengan proseduryang telah ditentukan dalamperjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaaninternasional.Jika permintaanuntuk menyerahkantersebuttidak diajukan secara formal melainkan hanya informal saja misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh wakilnegara peminta kepadawakilnegara diminta yang kebetulanbertemu dalam suatu pertemuan ataupun dalam konferensiinternasional. Halitu tidak dapat dianggap sebagai permintaan untuk menyerahkan dalam pengertian dan ruang lingkup ekstradisi. Tetapibarulah merupakan tahap penjajakan saja.
Sebelum permohonan ekstradisi diajukanmelalui saluran dipomatik, harusada dua faktor yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu:
1.Adanya orang yang harus diserahkan (extraditiable person)

Dalam praktek ekstradisi umumnya terdapat keseragamanantara negara-negara, yaitu bahwa negara peminta lazimnya memperoleh orang yang diminta,bila orang itu warganegara dari peminta atau warga negara suatu negara ketiga,dimana adanya perjanjian sebelumnya. Tetapi kebanyakannegara yang diminta
biasanyamenolak untuk menyerahkan warganegaranyasendiri untuk diserahkan kepada negara lain. Dengan perkataanlain warga negara yang telahmelakukan kejahatan akan diserahkan kembali kenegara asalnya(non extradition ofnationals).
2.Kejahatan yang dapat diserahkan(extraditiable offence)Kejahatanyang dapat diserahkan pada umumnya atas kesepakatan dari

negarayang melaksanakan perjanjian tersebut dengan pengecualian yaitu:
a)Kejahatan politik.
b)Kajahatan militer.
c)Kejahatan agama.
Dalam praktek negara-negara dewasa ini, dalammenetapkan kejahatan-kejahatan apayang dapat diserahkan, dipergunakansalah satu dari tiga sistem,yaitu:
1)Sistem Enumeratifatau sistem daftar(list system) yaitu sistem yang
memuat dalam perjanjian suatu daftaryangmencantumkansatu persatu
kejahatanmana yang dapat diekstradisi.
2)SistemEliminatif, yaitu sistemyang hanyamenggunakanmaksimumhukuman atau minimum hukuman sebagai ukuranuntuk menerapkan apakah suatu kejahatanmerupakan kejahatanyang dapat diserahkan atau tidak, tanpamenyebutkan satu persatu nama delik yang dapatdiekstradisi.
3)Sistem campuran yang merupakan kombinasi sistemenumeratifdan
sistem eliminatif,mencantumkan juga kejahatan dengan minimum atau
maksimum hukummanyang dapat diekstradisi.
Dengan demikian dapatlah disimpulkanbahwa untuk melaksanakan ekstradisiiniharuslah dilihat kepada perjanjianyang telah disepakati sebelumnya,sedangkanjika tidak ada perjanjian ekstradisisebelumnyaharusmenuruti prinsiptimbal balik yang disepakati.
D. Azas-azas Yang Terdapat Dalam Ekstradisi
Azas-azas atau dasar-dasaryang dipakai dalam ekstradisi,apakahitumerupakan perjanjian ekstradisibilateral atau multilateralmaupun dalam undang-undang nasional suatu negara megenaiekstradisi pada pokoknya adalah sama.Dasar-dasaryang sama tersebutterus diikuti olehnegara-negara yang membuatperjanjianekstradisi maupun yang merumuskan peraturan ekstradisi dalamperundang-perundangan.
Dengan demkian azas-azasyang sama ini telah dapat diterima dan diikutisebagai azas-azas yang melandasi ekstradisi.Adapunazas-azas tersebut ialah:
1.AzasKejahatan Ganda (Double Criminality).
Azas inimerupakan azasyang memandang bahwa penyerahan pelakukejahatanhanya dapat dilakukan apabila kejahatanyang dilakukan oleh orangtersebut juga diyakini dan diterima sebagaisuatu kejahatanyang terhadapnyaharus dijatuhihukuman baik olehnegara pemintamaupunnegara diminta.Dengan demikian apabila negara dimintamemandang bahwa permintaan darinegara peminta terhadap orang yang perbuatannya bukanlahmerupakan perbuatan  kejahatan dinegara yang diminta makanegara tersebuttidak dapatmenyerahkan orang yang diminta tersebut kepada negara peminta, karena halini akan melanggarazas kejahatan gandayang telah diterimasebagaiazas utama dalam suatu perjanjian ekstradisi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan perkataanl ain bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila perbuatan orang tersebut merupakan kejahatan yang diakui oleh kedua negara.
2.Azas Kekhusussan atau Specially.
Azas ini berhubungandenganazas yang pertama karena azas ini mengaturtentang penyerahan atas tuduhan kejahatan yangdisebutkan dalam permintaan penyerahan pelaku kejahatan.
Jika sipelaku kejahatan tersebut hanya melakukan satu kejahatan saja dan sipelaku diminta untuk diserahkan berdasarkan atas kejahatan tersebut tidaklah menjadi masalah.Namun bagaimana jika sipelaku tersebut telah melakukan pembunuhan, sipelaku juga melakukan kejahatan penipuan,pemalsuan matauangdan lain-lain yang kesemua jenis kejahatan ini dapat dijadikan dasar untuk penyerahannya kepada negara peminta.
Untuk itulah harus ditentukan secara khusus olehnegara peminta atasdasar kejahatan apasipelaku tersebut diminta untuk diserahkan, sekalipun semuajenis kejahatanyang dilakukan dapat dijadikan dasar untuk penyerahan tersebut.
Oleh karenaitu negara peminta dalammengajukan permintaan penyerahan itu harus menegaskan untuk kejahatan apa saja orang tersebut diminta penyerahannya.Kemudian negara diminta mempertimbangkan apakah penyerahan dilakukan atau ditolak. Apabila negara diminta berpendapat bahwa
sipelaku tersebut akan diserahkan makanegaradiminta harus menegaskanpulauntuk kejahatan apa sipelaku tersebut diserahkan. Dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan yakni:
a)      Negara diminta menyerahkan sipelaku tersebut berdasarkan semua kejahatanyang telah dituduhkan kepadanya.
b)      Negara diminta hanya menyerahkan sipelaku berdasarkan beberapa atau sebagian perbuatan kejahatanyang dituduhkan kepada pelaku tersebut:
Dalam hal peradilannya,maka sipelaku hanya boleh dituntut oleh Negara peminta berdasarkan jenis-jenis kejahatan untuk mana sipelaku tersebut diserahkan olehnegara diminta. Diluar dari kejahatan tersebut sipelaku tidak dibenarkan untuk dituntut. Hal ini penting karena tujuan ekstradisi itu sendiriadalah untuk menjamin kepastian hukum terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukumbagi orang yang diminta.
3.Azas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non Extradition ofPolitical Criminal).
Kejahatan politik mempunyai pengaturan tersendiri dalam perjanjian politik maupun perundang-undanganmengenaiekstradisi. Terhadap kejahatan politik eratkaitannya dengan pengakuan tentang hak-hak azasi manusia yangtertuang dalam deklarasi tentang hak-hak azasi manusiayang dalam salah satuisinyaialah setiap orang berhak mencari danmenikmati perlindungan politik darinegara lain.Meskipun Pasal tersebut tidakmewajibkan suatu negara untuk memberikan perlindungan kepada setiapindividu yang datang memintaUniversitas Sumatera UtaraUniversitas Sumatera Utara
perlindungan kepadanya.21Dengan demikiannegara peminta apabilamemandangbahwa kejahatan yang dilakukan oleh sipelakuyang melarikan diri tersebutsebagaikejahatanpolitik, maka sebaiknya tidak meminta kepada negara lain,karena besar kemungkinan permintaan tersebut akan ditolak oleh negara diminta.Kalau persoalan hak azasi manusia menjadi cukup kompleks aplikasinya,karenahak azasi manusia dimasuki unsur politik, dan topik itu akanselalu menarik untuk dibicarakan sebahagian manusia baik oleh negara-negara yang telah benar-benarmenghormati hak azasi manusia secara formaldan materialataupun bagi negara-negara yangkurang menghormati.Bagi negara yang sudah menghormati hak-hakazasimanusia akan dijadikan contoh kebaikannya, dan yang sebaliknya dijadikan intropeksi baginegaranya.
4.Azas Tidak MenyerahkanWarga Negara (Non Extradition Nationality).
Negara diminta diberikan kekuasaan untuk tidak menyerahkan warga negaranya kepada negara peminta sehubungan dengan kejahatanyangdilakukannya dinegara tersebut dengan pertimbanganbahwa setiap negara wajibmelindungi warganegaranya, karena dikhawatirkan apakahnegara peminta akan mengadilinya secara jujurdan adilserta keobjektifannya sehingga warganegaratersebut betul-betulmemperoleh keadilanyang sama dengan apabilaia diadilidinegaranya sendiri.
5.AzasNon Bis In Idem.
Azasinimemberikan kepastianhukumbagi pelaku kejahatan untuk tidak dihukum dua kali dengan kejahatan yang sama. Suatu peristiwa pidana dapat saja melibatkan lebih satu negara yang berhak atas yurisdiksi bagikejahatantersebut.Apabila pelaku kejahatan telah dijatuhi hukumman dinegara dimanaia berada,makanegara peminta tidak dapatmeminta penyerahan penjahat tersebut untuk diekstradisi karena kejahatanyang sama yang baginya telah mempunyai kekuatan hukumyang pasti dinegara diminta.Karena tujuan ekstradisi adalah memberantaskejahatan dengan kerja sama tanpa mengesampingkan pelaku sebagai manusia dengan segala hak dan kewajibannya yang harus dijamin dan dihormati.
6.Azas Kedaulatan.
Azas ini berbeda tetapi mengandung makna yangsama, yaitu tidak akan melakukan penyerahan apabila penuntutan atau pelaksanaanhukumman terhadapkejahatannyayang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan telah kadaluarsa menurut hukum dari salahsatu pihak. Batasan waktu yang diberikansehubungan dengan ini bagi tiap-tiap perjanjian berbeda. Suatu peristiwa dianggap kadaluarsaapabila telahlewat waktunyayang seharusnyaberlaku. Peristiwa tersebutdibiarkan begitu saja sehingga dilupakan orang seakan-akan tidak pernah terjadi.
7.AzasCapital Punishment.
Yaitu suatu prinsip yang menyatakan apabila negaramenuntut suatu ekstradisi atau kejahatan yang diancam dengan hukumman mati makaekstradisidemikian tidak dapat diterima.
8.AzasLex Loci Delictus.
Yakni suatu azas yang menyatakan tempat dimana kejahatan terjadi akan mendapat prioritas utama bilamana terdapat lebihdari satu negarayang menuntut  Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
suatu ekstradisi. Haliniberarti tuntutan ekstradisiyang diutamakan ialah tuntutan dari negara diwilayah mana kejahatan itu dilakukan.
9.Azasyang menyatakan prosedur penangkapan, penahanan dan penyerahan tunduk kepada hukumnasional darinegaramasing-masing.

10.Azas yangmenyatakan suatu permintaan ekstradisi dapat saja ditolak bilakejahatanyang dilakukan seluruhnya atau sebagianberada dalamyurisdiksi dari negara yang diminta. Azas ini tampaknya mempunyaikaitan dengan azas Lex Loci Delictusmengenai tempat dimana kejahatan itu dilakukan. Jelasnya disinifaktortempat sangatmempengaruhikemungkinan dapat tidaknya permintaanekstradisi suatu negara dikabulkan.

11.Azas yang menyatakan bila manaterjadiekstradisikenegara ketiga, makahanya dapat dilakukan denganizin dari negara yang diminta.Dariberbagai azasyang mewarnai peraturanekstradisi, dapat dilihat bahwa ekstradisi merupakan tindakan yang harus diambil dengan penuh pertimbangan dan jaminan demi tercapainy atujuan ekstradisi itu sendiri yaitu yakni memberantas kejahatan secara kerja sama untuk mewujudkan masyaraka tinternasional yang aman, tertib, dan adil. Disamping itu azas-azasini telah mendapat pengakuan darinegara-negara didunia dalam usaha untuk menjamin agar hak-hak azasimanusia tidak dilanggar dalam pelaksanaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar