PERANG,
HUKUM HUMANITER,
perkembangan hukum humaniter termasuk dalam hal penggunaan
kekuatan senjata,
perubahan sifat dan bentuk perang, bentuk ancaman, perkembangan
teknologi, dan sistem
komando, kendali, komunikasi, dan intelijen (command, control,
communication, and
intelligent, C3I). Prinsip utama
dalam penggunaan senjata sebagaimana diatur dalam hukum
humaniter adalah bahwa selama perang nilai-nilai kemanusiaan harus
dihormati. Tujuannya bukan untuk menolak hak negara untuk melakukan perang atau
menggunakan
kekuatan senjata untuk mempertahankan diri (self-defence),
melainkan untuk membatasi
penggunaan senjata oleh suatu negara dalam menggunakan hak
berperang tersebut untuk
mencegah penderitaan dan kerusakan yang berlebihan dan yang tidak
sesuai dengan
tujuan militer. Dengan demikian hukum humaniter ditujukan untuk
“melindungi beberapa
kategori dari orang-orang yang tidak atau tidak lagi turut serta
dalam pertempuran serta
untuk membatasi alat dan cara berperang”.1 Berdasarkan tujuan ini, hukum humaniter
mengatur dua hal pokok yaitu: 1). memberikan alasan bahwa suatu
perang dapat
dijustifikasi yaitu bahwa perang
adalah pilihan terakhir (the last resort), sebab atau alasan
yang benar (just cause), didasarkan atas mandat politik (keputusan
politik, political
authority) yang demokratis, dan
untuk tujuan yang benar (right intention); 2). Membatasi
penggunaan kekuatan bersenjata dalam peperangan atas dasar prinsip
proporsionalitas
dan diskriminasi (proportionality dan discrimination). Dua
hal pokok ini yang kemudian
menjadi dasar prinsip pertanggungjawaban komando (command
responsibility) yaitu
bahwa bahwa seorang komandan mempunyai tanggung jawab untuk
menegakkan hukum
konflik bersenjata atau hukum perang atas dasar dua hal pokok
tersebut di atas.
Dua prinsip penggunaan senjata ini harus menjadi bagian terpenting
dalam hukum
peradilan militer yaitu larangan penggunaan senjata yang
menyebabkan kerusakan atau
penderitaan yang tidak ada kaitan dengan tujuan-tujuan perang dan
membedakan sasaran
militer (combatants) dan sipil (non-combatants).
1. Prinsip proporsionalitas
Prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan
senjata tidak
menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang
tidak berkaitan
dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering
principles). Prinsip ini tercantum
dalam Pasal 35 (2) Protokol Tambahan I: “It is prohibited to employ weapons,
projectiles and material and methods of warfare of a nature to
cause superfluous
injury or unnecessary suffering”. Jadi yang menjadi inti masalah adalah apakah langkah
atau serangan militer dengan menggunakan senjata tertentu
proporsional terhadap tujuan-
tujuan untuk memperoleh keunggulan militer. Ketentuan ini masih
bisa ditafsirkan secara
terbuka; ada yang mengatakan bahwa ketentuan ini tidak melarang
penggunaan senjata
1 Frits Kalshoven dan Liesbeth Zegveld, Constraints on the Waging of War: An Introduction to
International Humanitarian Law (Geneva:
ICRC, 2001), hal. 12-14.
yang menyebabkan penderitaan luar biasa atau meluas, melainkan
hanya penderitaan atau
kerusakan yang tidak perlu. Hal ini tentu menimbulkan perdebatan
dari sudut pandang
atau aspek kemanusiaan yaitu apakah penderitaan itu mencakup aspek
fisik atau
psikologis dan apakah juga mencakup pengaruh dari penderitaan dan
kerusakan tersebut
terhadap masyarakat. Prinsip ‘unnecessary suffering’ juga
harus dilihat dengan
membandingkan senjata yang dipakai yaitu bahwa ‘it is unlawful
to use a weapon which
causes more suffering or injury than another which offers the same
or similar military
advantages’.
Tetapi ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh prinsip di
atas yaitu masalah
ketersediaan senjata dan logistik yang akan dipakai. Juga harus
diperhatikan bahwa
semakin ke bawah rantai komando, semakin kecil atau terbatas
pilihan-pilihan
penggunaan senjata. Komandan atau mereka yang berada di jajaran
atas rantai komando
yang bertanggung jawab dalam merencanakan dan memutuskan operasi
militer
mempunyai opsi-opsi yang lebih luas dalam menggunakan senjata
dibanding prajurit di
lapangan. Masalah ini harus menjadi perhatian dalam peradilan
militer, terutama ketika
seorang prajurit di lapangan menghadapi tuntutan di pangadilan
atas tuduhan penggunaan
senjata ilegal dalam suatu operasi militer.
Masalah lain yang harus diperhatikan dalam memberi makna prinsip unnecessary
suffering adalah apakah senjata
itu sendiri ataukah penggunaannya pada situasi tertentu
atau khusus yang membuat senjata tersebut dilarang. Kompleksitas
lain adalah pada
akhirnya sulit membuat penilaian tentang perimbangan atau
perbandingan antara tujuan
keuntungan-keuntungan militer dan akibat yang ditimbulkan dari
penggunaan suatu
senjata; serta membandingkan hasil analisa di atas dengan
kemungkinan-kemungkinan
lain yang akan muncul dari penggunaan senjata alternatif.
2. Prinsip diskriminasi
Prinsip diskriminasi mengandung 3 komponen: a). larangan tentang
serangan
terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil yang lain; b).
bahkan jika target serangan
adalah sasaran militer, serangan terhadap obyek tersebut tetap
dilarang jika “May be
expected to cause incidental loss of civilian life, injury to
civilians, damage to civilian
objects or a combination thereof, which would be excessive in
relation to the concrete
and direct military advantage anticipated”; c). jika terdapat pilihan dalam melakukan
serangan, minimalisasi korban dan kerusakan atas obyek-obyek sipil
harus menjadi
prioritas. Selain itu semua senjata yang ketika digunakan tidak
bisa membedakan sasaran
militer dan sipil harus dilarang. Senjata-senjata yang tingkat
akurasinya rendah adalah
contoh dari situasi di atas. Misalnya penggunaan Scud dalam Perang
Teluk 1991.
Prinsip diskriminasi mengandung dua elemen: absolut dan relatif.
Semua obyek
sipil HARUS tidak
pernah dijadikan sebagai target serangan. Elemen relatif adalah
dengan membandingkan antara prinsip diskriminasi dan
proporsionalitas. Prinsip
proporsionalitas penggunaan senjata harus selalu memperhatikan
keseimbangan antara
keuntungan-keuntungan militer dengan jumlah korban sipil yang
ditimbulkan. Tetapi jika
keuntungan militer tersebut bisa dicapai dengan menggunakan
senjata tertentu yang bisa
meminimalisir korban sipil dibandingkan dengan senjata yang lain,
maka hal ini harus
dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis mendalam baik
pada tingkat
persiapan, pelaksanaan, atau bahkan penilaian untuk melihat apakah
dalam situasi
tertentu seorang komandan mempunyai beberapa opsi yang
memungkinkannya untuk
memilih penggunaan senjata dengan korban sipil yang minimal.
3. Beberapa prinsip lain yang perlu diperhatikan adalah:
harus memperhatikan masalah
lingkungan hidup (environment). Pasal 35 (3) Protokol
Tambahan I: “It is prohibited to
employ methods or means of warfare which are intended, or may be
expected to cause
widespread, long term and severe damage to the natural
environment”. Semula
ketentuan ini tidak dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional
tentang perang.
Tetapi perkembangan baru menunjukkan bahwa prinsip di atas menjadi
makin kuat
posisinya dalam hukum kebiasaan internasional. Akibatnya, pilihan
yang tersedia bagi
seorang komandan dalam melakukan operasi militer atau serangan
militer harus
mencakup analysis tentang kerusakan lingkungan yang mungkin
diakibatkan oleh
serangan tersebut. Aspek lingkungan hidup juga menjadi faktor
penting dalam melihat
masalah proporsionalitas dalam penggunaan senjata. Hal lain adalah
larangan
penggunaan senjata yang mempunyai akibat berlebihan pada negara
netral.
Perkembangan baru menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah
internasional
yang makin kompleks, penggunaan senjata tertentu atau cara
berperang tetap dianggap
ilegal atau bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan atau
paling tidak menjadi
perdebatan, meskipun hal itu belum atau tidak diatur dalam
ketentuan hukum
internasional yang sudah ada tentang penggunaan senjata. Hal ini
didasarkan atas
argumen bahwa: “In
any armed conflict, the right of the Parties to the conflict to
choose methods or means of warfare is not unlimited”.2 (Dalam setiap sengketa
bersenjata, hak para pihak yang terlibat dalam sengketa untuk
memilih cara dan alat
berperang adalah tidak tak terbatas).
Dalam kaitan ini muncul beberapa jenis persenjataan yang menjadi
isu sentral
dalam hukum perang dan aturan tentang penggunaan senjata: Senjata laser, ranjau darat,
senjata kimia, senjata nuklir. Tulisan ini tidak akan mengupas
secara rinci masalah di
atas. Cukup dikemukakan bahwa batasan-batasan penggunaan
senjata-senjata tertentu di
atas didasarkan pada prinsip bahwa pilihan para pihak yang
terlibat konflik untuk
menggunakan senjata adalah terbatas karena harus ada pembedaan
antara sasaran militer
dan sasaran sipil dan harus proporsional untuk menghindari ‘unnecessary
suffering’.
4. Pertanggungjawaban
komando (command responsibility). Semua ketentuan-
ketentuan di atas menjadi dasar pemberlakukan prinsip
pertanggungjawaban komando
(command responsibility). Beberapa hukum humaniter
internasional tentang pertanggung
jawaban komando tersebut antara lain:
a. Pasal 1 The Hague Regulations:
2 Additional Protocols to the Geneva Conventions of 12 August
1949 (Geneva, 1977), hal. 35.
The laws, rights, and duties of wars apply not only to armies, but
also to militia and
volunteer corps fulfilling the following conditions: 1. to be
commanded by a person
responsible for his
subordinates; 2. to have a fixed distinctive emblem recognizable
at a distance; 3. to carry arms openly; and 4. to conduct their
operations in
accordance with the laws and customs of war.
b. Pasal 86 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1977 tentang
Failure to
Act:
(1). The High
Coontracting Parties and the Parties to the conflicts shall repress
grave breaches, and take measures necessary to suppress all other
breaches, of the
Conventions or this Protocol which result from a failure to act when under a duty to
do so.
(2). The fact that a breach of the Conventions or of this
Protocol was committed by a
subordinate does not absolve his superiors from penal or
disciplinary responsibility,
as the case may be, if they knew, or had information which should
have enabled them
to conclude in the circumstances at the time, that he was
committing or was going to
commit such a breach and if they have
not taken all feasible measures within their
power to prevent or repress the breach.
Menurut pasal ini seorang komandan harus bertanggung jawab
terhadap
pelanggaran atau tindakan kejahatan dalam konflik bersenjata
justru karena ia
TIDAK melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kejahatan
tersebut.
c. Pasal 87 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1977 tentang
Duty of
Commanders:
(1). The High
Contracting Parties and the Parties to the conflict shall require
military commanders, with respect to members of the armed forces
under their
command and other persons under their control, to prevent and
where necessary to,
to suppress and report to competent authorities breaches of the
Conventions and this
Protocol;
(2) In order to
prevent and suppress the breaches, High Contracting Parties and
Parties to the conflict shall require that, commensurate with
their level of
responsibility, commanders ensure that members of their armed
forces under their
command are aware of their obligations under the Conventions and
this Protocol;
(3). The High
Contracting Parties and Parties to the conflict shall require any
commander who is aware that subordinates or other persons under
his control are
going to commit or have committed a breach of the Conventions or
of this Protocol,
to initiate such steps as are necessary to prevent such violations
of the Conventions
or of this Protocol, and where appropriate, to initiate
disciplinary or penal action
against violator thereof.
d. Pasal 28 Statuta Roma Tahun 1998:
A military commander or person effectively acting as a military
commander shall be
criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the
court committed by
forces under his or her effective command and control, or
effective authority and
control as the case may be, as a result of his or her failure
to exercise control
properly over such forces, where:
(a). That military commander or person either knew or, owing to
the circumstances at
the time, should have
known that forces were committing or about to commit such
crimes and
(b). That military commander or person failed
to take all necessary and reasonable
measures within his or her power to prevent or repress their
commission or to submit
the matter to the competent authorities for investigation of
prosecution.
Ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang mengatur tentang
pertanggungjawaban
komando di atas mengandung 3 aspek penting yang harus dipenuhi
untuk menentukan
seorang perwira atau komandan harus bertanggung jawab atas
tindakan kejahatan
bawahannya:
1. ada hubungan atasan-bawahan dalam kasus terjadinya tindakan
kejahatan yang
telah dilakukan. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti yang jelas,
saksi, dokumen,
dsb.
2. atasan mengetahui atau diduga patut mengetahui adanya tindakan
kejahatan yang
dilakukan oleh bawahan.
3. komandan atau atasan gagal untuk mencegah atau menindak
(menghukum)
pelaku kejahatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pihak
yang
berwenang.
Untuk menentukan seorang komandan bersalah atas tindakan kejahatan
perang dan
kejahatan kemanusiaan perlu dibuktikan bahwa:
1. prajurit pelaku kejahatan berada di bawah komando atau kontrol
atasan tertuduh.
2. atasan tertuduh mengetahui secara aktual (actual notice),
yaitu mengetahui atau
diberitahu tentang terjadinya tindak kejahatan perang dan
kemanusiaan pada saat
tindak kejahatan tersebut berlangsung.
3. atasan tertuduh mengetahui secara konstruktif (constructive
notice) yaitu telah
terjadi tindak pelanggaran dalam skala besar sehingga tertuduh
atau seseorang
pasti sampai pada kesimpulan bahwa ia mengetahui tindak kejahatan
tersebut.
4. atasan tertuduh mengetahui ada tindak kejahatan tetapi
menunjukkan sikap yang
secara sengaja tidak acuh terhadap konsekuensi dari sikap
membiarkan tersebut
(imputed notice).
5. atasan tertuduh gagal mengambil langkah-langkah yang perlu
dalam
kewenangannya untuk mencegah atau menghukum tindak kejahatan
ketika ia
mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk melakukan hal
tersebut.
Apa yang terjadi pada Milosevic, Jenderal Yamashita, Perdana
Menteri Tojo, Menteri
Luar Negeri Hirota, dan Perdana Menteri Kambanda dari Rwanda
merupakan contoh
yang sangat menarik mengenai prinsip tanggung jawab komando.
Milosevic memenuhi
semua kriteria/ketentuan di atas untuk dinyatakan bertanggung
jawab atas kejahatan
perang, kejahatan kemanusiaan, dan genocide dalam konflik
di Yugoslavia dan Kosovo.
Tojo, Yamashita, Hirota, dan Kambanda tidak mempunyai interaksi
langsung dengan
para prajurit yang melakukan tindak kejahatan di lapangan. Tetapi
mereka harus
bertanggung jawab karena kegagalan mereka untuk mencegah tindakan
brutal para
prajurit mereka padahal para pemimpin tersebut mempunyai kekuasaan
dan kewenangan
untuk itu. Selain itu, terungkap bukti yang kuat bahwa mereka
telah menerima informasi
tentang tindakan kejahatan sehingga bisa disimpulkan bahwa mereka
mengetahui ada
tindak kejahatan.
Perlu ditergaskan di sini bahwa tidak satu pun dari Tojo,
Yamashita, Hirota, dan
Kambanda dinyatakan bersalah karena kejahatan yang dilakukan
prajurit langsung di
bawah kekuasaannya atau komandonya. Mereka dinyatakan bersalah
semata-mata karena
meraka dianggap mengetahui atau patut tahu tindak kejahatan tetapi
gagal
menghentikannya. Seandainya mereka berusaha mencegah tindak
kejahatan yang
dilakukan para prajurit di lapangan, tentu mereka akan dinyatakan
tidak bersalah.
Kejadian ini memberikan alasan mengapa penting bahwa seorang
kepala pemerintahan
atau siapa saja yang terlibat dalam pembuatan keputusan perlu mengembangkan
mekanisme pelaporan dan pengawasan yang memungkinkan pengambilan
langkah-
langkah yang diperlukan secara efektif. Dan bagi para pemimpin
militer, mereka perlu
mengembangkangkan sistem pengawasan dan pelaporan yang bisa
berfungsi pada tingkat
paling bawah, melalui pembentukan investigasi militer yang
independen. Dalam kaitan
ini, baik kepala pemerintahan atau negara dan pemimpin militer
akan dilihat dari
kemampuan mereka mengembangkan sistem pelaporan dan pengawasan
serta kebijakan
sehingga seorang perwira atau komandan mengetahui dan sadar
tentang adanya tindak
kriminal yang dilakukan oleh prajurit di lapangan dan mempunyai
mekanisme untuk
mencegah dan menghukum tindak kejahatan tersebut.
Jenis Tindak Kejahatan dalam Pertanggungjawaban Komando
Jenis-jenis pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949:
1. Pembunuhan yang disengaja;
2. Penganiayaan atau tindakan yang merendahkan martabat manusia,
termasuk
percobaan-percobaan biologi, dengan sengaja mengkibatkan
penderitaan hebat;
3. Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas yang tidak
dapat dibenarkan
berdasarkan kepentingan militer dan dilakukan secara tidak sah dan
dengan
semena-mena;
4. Memaksa tawanan perang untuk mengabdi pada Penguasa Perang;
5. Dengan sengaja menghilangkan hak-hak tawanan perang atas
peradilan yang jujur
dan teratur sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Jenewa III;
6. Memindahkan atau menstransfer penduduk dengan paksa;
7. Menjatuhkan hukum kurungan;
8. Melakukan penyanderaan
Jenis pelanggaran berat menurut Protocol I, 1977:
1. Menjadikan penduduk sipil atau orang sipil sebagai sasaran;
2. Serangan membabi buta yang menimbulkan kerugian yang besar pada
sipil atau
obyek-obyek sipil;
3. Menjadikan daerah-daerah yang tidak dipertahankan atau
demiliterised zone
sebagai sasaran serangan;
4. Menjadikan seseorang yang tak berdaya sebagai sasaran serangan;
5. Menyalahgunakan lambang-lambang perlindungan seperti lambang
Palang Merah
Internasional dan lambang-lambang lainnya yang diakui oleh
Konvensi-konvensi
Jenewa dan protokolnya.
Juga:
1. Pemindahan penduduk sipil yang di wilayahnya sendiri ke wilayah
yang diduduki
atau dari wilayah yang diduduki ke dalam atau ke luar wilayahnya;
2. Penundaan pemulangan para tawanan perang atau tawanan sipil
yang tidak dapat
dibenarkan;
3. Praktek apartheid dan diskriminatif;
4. Menyerang monumen-monumen sejarah yang jelas-jelas diakui dan
bangunan-
bangunan pusat kesenian dan keagamaan;
5. Menghilangkan hak-hak atas peradilan yang jujur dan teratur
bagi orang-orang
yang dilindungi berdasarkan konvensi atau pasal 85 ayat 2 Protokol
ini.
Kejahatan menurut Statuta Roma 1998:
1. Kejahatan perang (War Crimes): pemerkosaan, perbudakan
sex, pemaksaan
prostitusi, pemaksaan kehamilan dan bentuk-bentuk kekerasan seks
lainnya.
2. Genosida (Genocide): tindakan yang dilakukan untuk
memusnahkan sebagian
atau seluruhnya suatu bangsa, etnis, ras, dan agama
3. Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against humanity):
serangan secara
langsung dan meluas terhadap penduduk sipil;
4. Agresi (aggression)
Dari jenis-jenis kejahatan yang mempunyai konsekuensi
pertanggungjawaban komando
di atas sangat jelas bahwa ada dua hal penting yang ditekankan
yaitu pembedaan antara
sasaran sipil dan militer yang kemudian dirinci ke dalam
perlindungan pada orang yang
tidak ikut bertempur atau tidak berdaya lagi (termasuk di dalamnya
tawanan perang) dan
benda-benda obyek tertentu. Selain itu, berdasarkan prinsip proporsionalitas dan juga
untuk melindungi obyek-obyek sipil, juga diatur pelarangan
penggunaan senjata-senjata
tertentu.
5. Perkembangan-perkembangan internasional baru
Ada beberapa perkembangan baru yang membuat prinsip-prinsip
penggunaan senjata dan
pertanggungjawaban komando makin kompleks. Tetapi
perkembangan-perkembangan
tersebut pada waktu yang sama justru memperluas atau memperkuat,
karena interpretasi
dan penyebaran nilai demokrasi dan hak azasi manusia,
aturan-aturan dan hukum
internasional tentang perang dan penggunaan senjata.
Saat ini muncul apa yang disebut sebagai Revolutionary in Military
Affairs (RMA) yang
merupakan gabungan dari tiga aspek : sistem informasi (information
system), sistem
persenjataan (weaponry system), dan ruang angkasa (space).
Sistem informasi telah
menjadi bagian terpenting dari kekuatan nasional, termasuk
kekuatan militer. Perang
Teluk 1991 dan aksi militer NATO terhadap Yugoslavia menujukkan
hal ini. Sistem
persenjataan dengan mengintegrasikan sistem informasi melalui
satelit dan komputer
akan merubah sifat perang menjadi cepat, akurat, dan efisien.
Selama tahun 1943,
misalnya, angkatan udara AS menyerang hanya 50 target di Jerman.
Dalam Perang Teluk
kekuatan udara koalisi mampu melakukan serangan 150 kali hanya
dalam waktu sehari
dengan tingkat keakuratan tinggi dengan munculnya apa yang disebut
bom pintar (smart
weapons). Ukuran senjata juga menjadi lebih kecil dengan kekuatan
yang lebih besar.
Karena ketergantungan pada sistem informasi, perang yang akan
datang akan juga
menjadikan jaringan dan infratsruktur komunikasi sebagai target
serangan militer baik
penghancuran secara fisik, maupun melalui perang komputer dan
elektronik. Integrasi
antara sistem persenjataan dan informasi membutuhkan ruangan atau space.
Penguasaan
ruang angkasa menjadi faktor penting dan arena perang di masa
depan.
Dengan karakteristik seperti itu, RMA akan membawa implikasi pada
hukum
humaniter. Kontrol komandan terhadap bawahan tidak lagi dibatasi
oleh birokrasi yang
berjenjang. Komandan dapat dengan langsung melihat apa yang
terjadi di lapangan. Apa
yang disebut kontrol efektif atasan terhadap bawahan tidak lagi
diartikan bahwa
komandan harus membawahi seorang prajurit di lapangan. Kontrol
efektif bisa dilakukan
oleh atasan yang lebih tinggi yang tidak berada di lapangan
melalui penggunaan
teknologi komunikasi dan informasi. Selain itu, perang modern
dicirikan juga oleh makin
besarnya ketergantungan militer pada sipil, mulai dari kontral
pembuatan persenjataan
pada perusahaan-perusahaan sipil/komersial, sampai dengan
keterlibatan sipil dalam
sistem informasi militer, misalnya komputer dan satelit.
Masalahnya adalah garis
pemisah antara sasaran sipil dan militer menjadi kabur karena
keterlibatan sipil dalam
operasi militer. Apakah obyek-obyek seperti itu juga harus diikat
oleh aturan-aturan
internasional tentang perang? Perang modern yang melibatkan
non-state actors juga akan
mempersulit masalah diskriminasi dan proporsionalitas. Apakah
suatu organisasi regional
atau internasional terikat oleh aturan-aturan hukum humaniter?
Demikian pula halnya
dengan ketika perang dan pertempuran menjadi virtual obyek militer
dan militer menjadi
sulit dipisahkan. Ketika
sistem informasi dan persenjataan sudah sangat maju dengan
tingkat akurasi yang tinggi, maka masalahnya bukan mengukur atau
membandingkan
antara korban yang akan jatuh dan keuntungan militer yang akan
dicapai, melainkan
apakah komandan atau perancang operasi militer mengetahui atau patut diduga
mengetahui ada obyek sipil dalam
sasaran yang akan diserang. Serangan terhadap
jaringan komunikasi dan pusat listrik yang sangat vital bagi C3I
akan menyulitkan obyek
sipil. Serangan terhadap satelit juga akan membahayakan sistem
penerbangan. Masalah-
masalah ini akan menjadi isu sentral dalam hukum humaniter untuk
masa sekarang dan
masa depan.
Catatan akhir
Pada saat ini dan masa yang akan datang sebagian besar konflik
akan menyebabkan
kompleksitas yang lebih sulit dalam menerapkan hukum humaniter,
terutama prinsip
proporsionalitas dan diskriminasi. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor. Akan banyak
keterlibatan non-state actors dalam konflik bersenjata,
sebagian besar konflik tidak lagi
antar negara (inter-state conflicts). Kesulitan ini lahir akibat
kemajuan teknologi yang
pada satu sisi membawa keuntungan dengan adanya senjata yang
akurat, tetapi pada sisi
lain membawa keterkaitan antara sipil dan militer makin erat,
sehingga suatu serangan
terhadap sasaran militer akan membawa implikasi pada kehidupan
sipil. Kesenjangan
kemampuan akan mendorong pihak lemah untuk melakukan perang secara
asimetris,
bahkan menyembunyikan identitas mereka bukan sebagai combatants. Jika semua bisa
dilihat oleh teknologi secara transparan, maka pihak yang lebih
lemah akan mengatakan:
“If I cannot hide, perhaps I can survive by appearing to the
enemy to be the other than
what I am” Ini membawa kesulitan
dalam mengidentifikasi combatants dan non-
combatants. Tafsiran atas masalah ini tergantung dari posisi dan
kekuatan masing-masing
negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar