Senin, 07 November 2011

PERANG, HUKUM HUMANITER, DAN PERKEMBANGAN INTERNASIONAL


PERANG, HUKUM HUMANITER,
DAN PERKEMBANGAN INTERNASIONAL
Peradilan militer harus didasarkan pada perkembangan-perkembangan baru dalam
perkembangan hukum humaniter termasuk dalam hal penggunaan kekuatan senjata,
perubahan sifat dan bentuk perang, bentuk ancaman, perkembangan teknologi, dan sistem
komando, kendali, komunikasi, dan intelijen (command, control, communication, and
intelligent, C3I). Prinsip utama dalam penggunaan senjata sebagaimana diatur dalam hukum
humaniter adalah bahwa selama perang nilai-nilai kemanusiaan harus dihormati. Tujuannya bukan untuk menolak hak negara untuk melakukan perang atau menggunakan
kekuatan senjata untuk mempertahankan diri (self-defence), melainkan untuk membatasi
penggunaan senjata oleh suatu negara dalam menggunakan hak berperang tersebut untuk
mencegah penderitaan dan kerusakan yang berlebihan dan yang tidak sesuai dengan
tujuan militer. Dengan demikian hukum humaniter ditujukan untuk “melindungi beberapa
kategori dari orang-orang yang tidak atau tidak lagi turut serta dalam pertempuran serta
untuk membatasi alat dan cara berperang”.1 Berdasarkan tujuan ini, hukum humaniter
mengatur dua hal pokok yaitu: 1). memberikan alasan bahwa suatu perang dapat
dijustifikasi yaitu bahwa perang adalah pilihan terakhir (the last resort), sebab atau alasan
yang benar (just cause), didasarkan atas mandat politik (keputusan politik,  political
authority) yang demokratis, dan untuk tujuan yang benar (right intention); 2). Membatasi
penggunaan kekuatan bersenjata dalam peperangan atas dasar prinsip proporsionalitas
dan diskriminasi (proportionality dan discrimination). Dua hal pokok ini yang kemudian
menjadi dasar prinsip pertanggungjawaban komando (command responsibility) yaitu
bahwa bahwa seorang komandan mempunyai tanggung jawab untuk menegakkan hukum
konflik bersenjata atau hukum perang atas dasar dua hal pokok tersebut di atas.

Dua prinsip penggunaan senjata ini harus menjadi bagian terpenting dalam hukum
peradilan militer yaitu larangan penggunaan senjata yang menyebabkan kerusakan atau
penderitaan yang tidak ada kaitan dengan tujuan-tujuan perang dan membedakan sasaran
militer (combatants) dan sipil (non-combatants). 

1. Prinsip proporsionalitas

Prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak
menimbulkan korban, kerusakan dan penderitaan yang berlebihan yang tidak berkaitan
dengan tujuan-tujuan militer (the unnecessary suffering principles). Prinsip ini tercantum
dalam Pasal 35 (2) Protokol Tambahan I:       It is prohibited to employ weapons,
projectiles and material and methods of warfare of a nature to cause superfluous
injury or unnecessary suffering”. Jadi yang menjadi inti masalah adalah apakah langkah
atau serangan militer dengan menggunakan senjata tertentu proporsional terhadap tujuan-
tujuan untuk memperoleh keunggulan militer. Ketentuan ini masih bisa ditafsirkan secara
terbuka; ada yang mengatakan bahwa ketentuan ini tidak melarang penggunaan senjata

1 Frits Kalshoven dan Liesbeth Zegveld,       Constraints on the Waging of War: An Introduction to
International Humanitarian Law (Geneva: ICRC, 2001), hal. 12-14.





yang menyebabkan penderitaan luar biasa atau meluas, melainkan hanya penderitaan atau
kerusakan yang tidak perlu. Hal ini tentu menimbulkan perdebatan dari sudut pandang
atau aspek kemanusiaan yaitu apakah penderitaan itu mencakup aspek fisik atau
psikologis dan apakah juga mencakup pengaruh dari penderitaan dan kerusakan tersebut
terhadap masyarakat. Prinsip ‘unnecessary suffering’ juga harus dilihat dengan
membandingkan senjata yang dipakai yaitu bahwa ‘it is unlawful to use a weapon which
causes more suffering or injury than another which offers the same or similar military
advantages’.

Tetapi ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh prinsip di atas yaitu masalah
ketersediaan senjata dan logistik yang akan dipakai. Juga harus diperhatikan bahwa
semakin ke bawah rantai komando, semakin kecil atau terbatas pilihan-pilihan
penggunaan senjata. Komandan atau mereka yang berada di jajaran atas rantai komando
yang bertanggung jawab dalam merencanakan dan memutuskan operasi militer
mempunyai opsi-opsi yang lebih luas dalam menggunakan senjata dibanding prajurit di
lapangan. Masalah ini harus menjadi perhatian dalam peradilan militer, terutama ketika
seorang prajurit di lapangan menghadapi tuntutan di pangadilan atas tuduhan penggunaan
senjata ilegal dalam suatu operasi militer. 

Masalah lain yang harus diperhatikan dalam memberi makna prinsip unnecessary
suffering adalah apakah senjata itu sendiri ataukah penggunaannya pada situasi tertentu
atau khusus yang membuat senjata tersebut dilarang. Kompleksitas lain adalah pada
akhirnya sulit membuat penilaian tentang perimbangan atau perbandingan antara tujuan
keuntungan-keuntungan militer dan akibat yang ditimbulkan dari penggunaan suatu
senjata; serta membandingkan hasil analisa di atas dengan kemungkinan-kemungkinan
lain yang akan muncul dari penggunaan senjata alternatif.

2. Prinsip diskriminasi

Prinsip diskriminasi mengandung 3 komponen: a). larangan tentang serangan
terhadap penduduk sipil dan obyek-obyek sipil yang lain; b). bahkan jika target serangan
adalah sasaran militer, serangan terhadap obyek tersebut tetap dilarang jika “May be
expected to cause incidental loss of civilian life, injury to civilians, damage to civilian
objects or a combination thereof, which would be excessive in relation to the concrete
and direct military advantage anticipated”; c). jika terdapat pilihan dalam melakukan
serangan, minimalisasi korban dan kerusakan atas obyek-obyek sipil harus menjadi
prioritas. Selain itu semua senjata yang ketika digunakan tidak bisa membedakan sasaran
militer dan sipil harus dilarang. Senjata-senjata yang tingkat akurasinya rendah adalah
contoh dari situasi di atas. Misalnya penggunaan Scud dalam Perang Teluk 1991.

Prinsip diskriminasi mengandung dua elemen: absolut dan relatif. Semua obyek
sipil      HARUS tidak pernah dijadikan sebagai target serangan. Elemen relatif adalah
dengan membandingkan antara prinsip diskriminasi dan proporsionalitas. Prinsip
proporsionalitas penggunaan senjata harus selalu memperhatikan keseimbangan antara
keuntungan-keuntungan militer dengan jumlah korban sipil yang ditimbulkan. Tetapi jika
keuntungan militer tersebut bisa dicapai dengan menggunakan senjata tertentu yang bisa




meminimalisir korban sipil dibandingkan dengan senjata yang lain, maka hal ini harus
dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis mendalam baik pada tingkat
persiapan, pelaksanaan, atau bahkan penilaian untuk melihat apakah dalam situasi
tertentu seorang komandan mempunyai beberapa opsi yang memungkinkannya untuk
memilih penggunaan senjata dengan korban sipil yang minimal. 

3. Beberapa prinsip lain yang perlu diperhatikan adalah: harus memperhatikan masalah
lingkungan hidup (environment). Pasal 35 (3) Protokol Tambahan I: “It is prohibited to
employ methods or means of warfare which are intended, or may be expected to cause
widespread, long term and severe damage to the natural environment”. Semula
ketentuan ini tidak dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional tentang perang.
Tetapi perkembangan baru menunjukkan bahwa prinsip di atas menjadi makin kuat
posisinya dalam hukum kebiasaan internasional. Akibatnya, pilihan yang tersedia bagi
seorang komandan dalam melakukan operasi militer atau serangan militer harus
mencakup analysis tentang kerusakan lingkungan yang mungkin diakibatkan oleh
serangan tersebut. Aspek lingkungan hidup juga menjadi faktor penting dalam melihat
masalah proporsionalitas dalam penggunaan senjata. Hal lain adalah larangan
penggunaan senjata yang mempunyai akibat berlebihan pada negara netral.

Perkembangan baru menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah internasional
yang makin kompleks, penggunaan senjata tertentu atau cara berperang tetap dianggap
ilegal atau bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan atau paling tidak menjadi
perdebatan, meskipun hal itu belum atau tidak diatur dalam ketentuan hukum
internasional yang sudah ada tentang penggunaan senjata. Hal ini didasarkan atas
argumen bahwa:          In any armed conflict, the right of the Parties to the conflict to
choose methods or means of warfare is not unlimited”.2 (Dalam setiap sengketa
bersenjata, hak para pihak yang terlibat dalam sengketa untuk memilih cara dan alat
berperang adalah tidak tak terbatas).

Dalam kaitan ini muncul beberapa jenis persenjataan yang menjadi isu sentral
dalam hukum perang dan aturan tentang penggunaan senjata:  Senjata laser, ranjau darat,
senjata kimia, senjata nuklir. Tulisan ini tidak akan mengupas secara rinci masalah di
atas. Cukup dikemukakan bahwa batasan-batasan penggunaan senjata-senjata tertentu di
atas didasarkan pada prinsip bahwa pilihan para pihak yang terlibat konflik untuk
menggunakan senjata adalah terbatas karena harus ada pembedaan antara sasaran militer
dan sasaran sipil dan harus proporsional untuk menghindari ‘unnecessary suffering’.

4.         Pertanggungjawaban komando (command responsibility). Semua ketentuan-
ketentuan di atas menjadi dasar pemberlakukan prinsip pertanggungjawaban komando
(command responsibility). Beberapa hukum humaniter internasional tentang pertanggung
jawaban komando tersebut antara lain:

a. Pasal 1 The Hague Regulations:



2 Additional Protocols to the Geneva Conventions of 12 August 1949 (Geneva, 1977), hal. 35.





The laws, rights, and duties of wars apply not only to armies, but also to militia and
volunteer corps fulfilling the following conditions: 1. to be commanded by a person
responsible for his subordinates; 2. to have a fixed distinctive emblem recognizable
at a distance; 3. to carry arms openly; and 4. to conduct their operations in
accordance with the laws and customs of war.

b. Pasal 86 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1977 tentang Failure to
Act:

(1).       The High Coontracting Parties and the Parties to the conflicts shall repress
grave breaches, and take measures necessary to suppress all other breaches, of the
Conventions or this Protocol which result from a failure to act when under a duty to
do so.

(2). The fact that a breach of the Conventions or of this Protocol was committed by a
subordinate does not absolve his superiors from penal or disciplinary responsibility,
as the case may be, if they knew, or had information which should have enabled them
to conclude in the circumstances at the time, that he was committing or was going to
commit such a breach and if they have not taken all feasible measures within their
power to prevent or repress the breach.

Menurut pasal ini seorang komandan harus bertanggung jawab terhadap
pelanggaran atau tindakan kejahatan dalam konflik bersenjata justru karena ia
TIDAK melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut.

c. Pasal 87 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1977 tentang Duty of
Commanders:

(1).       The High Contracting Parties and the Parties to the conflict shall require
military commanders, with respect to members of the armed forces under their
command and other persons under their control, to prevent and where necessary to,
to suppress and report to competent authorities breaches of the Conventions and this
Protocol;

(2)        In order to prevent and suppress the breaches, High Contracting Parties and
Parties to the conflict shall require that, commensurate with their level of
responsibility, commanders ensure that members of their armed forces under their
command are aware of their obligations under the Conventions and this Protocol;

(3).       The High Contracting Parties and Parties to the conflict shall require any
commander who is aware that subordinates or other persons under his control are
going to commit or have committed a breach of the Conventions or of this Protocol,
to initiate such steps as are necessary to prevent such violations of the Conventions
or of this Protocol, and where appropriate, to initiate disciplinary or penal action
against violator thereof.





d. Pasal 28 Statuta Roma Tahun 1998:

A military commander or person effectively acting as a military commander shall be
criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the court committed by
forces under his or her effective command and control, or effective authority and
control as the case may be, as a result of his or her    failure to exercise control
properly over such forces, where:

(a). That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at
the time, should have known that forces were committing or about to commit such
crimes and

(b). That military commander or person failed to take all necessary and reasonable
measures within his or her power to prevent or repress their commission or to submit
the matter to the competent authorities for investigation of prosecution.

Ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang mengatur tentang pertanggungjawaban
komando di atas mengandung 3 aspek penting yang harus dipenuhi untuk menentukan
seorang perwira atau komandan harus bertanggung jawab atas tindakan kejahatan
bawahannya:

1. ada hubungan atasan-bawahan dalam kasus terjadinya tindakan kejahatan yang
telah dilakukan. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti yang jelas, saksi, dokumen,
dsb.

2. atasan mengetahui atau diduga patut mengetahui adanya tindakan kejahatan yang
dilakukan oleh bawahan.

3. komandan atau atasan gagal untuk mencegah atau menindak (menghukum)
pelaku kejahatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pihak yang
berwenang.

Untuk menentukan seorang komandan bersalah atas tindakan kejahatan perang dan
kejahatan kemanusiaan perlu dibuktikan bahwa: 

1. prajurit pelaku kejahatan berada di bawah komando atau kontrol atasan tertuduh.

2. atasan tertuduh mengetahui secara aktual (actual notice), yaitu mengetahui atau
diberitahu tentang terjadinya tindak kejahatan perang dan kemanusiaan pada saat
tindak kejahatan tersebut berlangsung.

3. atasan tertuduh mengetahui secara konstruktif (constructive notice) yaitu telah
terjadi tindak pelanggaran dalam skala besar sehingga tertuduh atau seseorang
pasti sampai pada kesimpulan bahwa ia mengetahui tindak kejahatan tersebut.





4. atasan tertuduh mengetahui ada tindak kejahatan tetapi menunjukkan sikap yang
secara sengaja tidak acuh terhadap konsekuensi dari sikap membiarkan tersebut
(imputed notice).

5. atasan tertuduh gagal mengambil langkah-langkah yang perlu dalam
kewenangannya untuk mencegah atau menghukum tindak kejahatan ketika ia
mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk melakukan hal tersebut. 

Apa yang terjadi pada Milosevic, Jenderal Yamashita, Perdana Menteri Tojo, Menteri
Luar Negeri Hirota, dan Perdana Menteri Kambanda dari Rwanda merupakan contoh
yang sangat menarik mengenai prinsip tanggung jawab komando. Milosevic memenuhi
semua kriteria/ketentuan di atas untuk dinyatakan bertanggung jawab atas kejahatan
perang, kejahatan kemanusiaan, dan genocide dalam konflik di Yugoslavia dan Kosovo.
Tojo, Yamashita, Hirota, dan Kambanda tidak mempunyai interaksi langsung dengan
para prajurit yang melakukan tindak kejahatan di lapangan. Tetapi mereka harus
bertanggung jawab karena kegagalan mereka untuk mencegah tindakan brutal para
prajurit mereka padahal para pemimpin tersebut mempunyai kekuasaan dan kewenangan
untuk itu. Selain itu, terungkap bukti yang kuat bahwa mereka telah menerima informasi
tentang tindakan kejahatan sehingga bisa disimpulkan bahwa mereka mengetahui ada
tindak kejahatan.

Perlu ditergaskan di sini bahwa tidak satu pun dari Tojo, Yamashita, Hirota, dan
Kambanda dinyatakan bersalah karena kejahatan yang dilakukan prajurit langsung di
bawah kekuasaannya atau komandonya. Mereka dinyatakan bersalah semata-mata karena
meraka dianggap mengetahui atau patut tahu tindak kejahatan tetapi gagal
menghentikannya. Seandainya mereka berusaha mencegah tindak kejahatan yang
dilakukan para prajurit di lapangan, tentu mereka akan dinyatakan tidak bersalah.
Kejadian ini memberikan alasan mengapa penting bahwa seorang kepala pemerintahan
atau siapa saja yang terlibat dalam pembuatan keputusan perlu mengembangkan
mekanisme pelaporan dan pengawasan yang memungkinkan pengambilan langkah-
langkah yang diperlukan secara efektif. Dan bagi para pemimpin militer, mereka perlu
mengembangkangkan sistem pengawasan dan pelaporan yang bisa berfungsi pada tingkat
paling bawah, melalui pembentukan investigasi militer yang independen. Dalam kaitan
ini, baik kepala pemerintahan atau negara dan pemimpin militer akan dilihat dari
kemampuan mereka mengembangkan sistem pelaporan dan pengawasan serta kebijakan
sehingga seorang perwira atau komandan mengetahui dan sadar tentang adanya tindak
kriminal yang dilakukan oleh prajurit di lapangan dan mempunyai mekanisme untuk
mencegah dan menghukum tindak kejahatan tersebut. 

Jenis Tindak Kejahatan dalam Pertanggungjawaban Komando

Jenis-jenis pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949:

1. Pembunuhan yang disengaja;
2. Penganiayaan atau tindakan yang merendahkan martabat manusia, termasuk
percobaan-percobaan biologi, dengan sengaja mengkibatkan penderitaan hebat;





3. Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas yang tidak dapat dibenarkan
berdasarkan kepentingan militer dan dilakukan secara tidak sah dan dengan
semena-mena;
4. Memaksa tawanan perang untuk mengabdi pada Penguasa Perang;
5. Dengan sengaja menghilangkan hak-hak tawanan perang atas peradilan yang jujur
dan teratur sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Jenewa III;
6. Memindahkan atau menstransfer penduduk dengan paksa;
7. Menjatuhkan hukum kurungan;
8. Melakukan penyanderaan

Jenis pelanggaran berat menurut Protocol I, 1977:

1. Menjadikan penduduk sipil atau orang sipil sebagai sasaran;
2. Serangan membabi buta yang menimbulkan kerugian yang besar pada sipil atau
obyek-obyek sipil;
3. Menjadikan daerah-daerah yang tidak dipertahankan atau demiliterised zone
sebagai sasaran serangan;
4. Menjadikan seseorang yang tak berdaya sebagai sasaran serangan;
5. Menyalahgunakan lambang-lambang perlindungan seperti lambang Palang Merah
Internasional dan lambang-lambang lainnya yang diakui oleh Konvensi-konvensi
Jenewa dan protokolnya.

Juga:

1. Pemindahan penduduk sipil yang di wilayahnya sendiri ke wilayah yang diduduki
atau dari wilayah yang diduduki ke dalam atau ke luar wilayahnya;
2. Penundaan pemulangan para tawanan perang atau tawanan sipil yang tidak dapat
dibenarkan;
3. Praktek apartheid dan diskriminatif;
4. Menyerang monumen-monumen sejarah yang jelas-jelas diakui dan bangunan-
bangunan pusat kesenian dan keagamaan;
5. Menghilangkan hak-hak atas peradilan yang jujur dan teratur bagi orang-orang
yang dilindungi berdasarkan konvensi atau pasal 85 ayat 2 Protokol ini.

Kejahatan menurut Statuta Roma 1998:

1. Kejahatan perang (War Crimes): pemerkosaan, perbudakan sex, pemaksaan
prostitusi, pemaksaan kehamilan dan bentuk-bentuk kekerasan seks lainnya.
2. Genosida (Genocide): tindakan yang dilakukan untuk memusnahkan sebagian
atau seluruhnya suatu bangsa, etnis, ras, dan agama
3. Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against humanity): serangan secara
langsung dan meluas terhadap penduduk sipil;
4. Agresi (aggression) 

Dari jenis-jenis kejahatan yang mempunyai konsekuensi pertanggungjawaban komando
di atas sangat jelas bahwa ada dua hal penting yang ditekankan yaitu pembedaan antara





sasaran sipil dan militer yang kemudian dirinci ke dalam perlindungan pada orang yang
tidak ikut bertempur atau tidak berdaya lagi (termasuk di dalamnya tawanan perang) dan
benda-benda obyek tertentu. Selain itu, berdasarkan prinsip proporsionalitas dan juga
untuk melindungi obyek-obyek sipil, juga diatur pelarangan penggunaan senjata-senjata
tertentu.

5. Perkembangan-perkembangan internasional baru

Ada beberapa perkembangan baru yang membuat prinsip-prinsip penggunaan senjata dan
pertanggungjawaban komando makin kompleks. Tetapi perkembangan-perkembangan
tersebut pada waktu yang sama justru memperluas atau memperkuat, karena interpretasi
dan penyebaran nilai demokrasi dan hak azasi manusia, aturan-aturan dan hukum
internasional tentang perang dan penggunaan senjata.

Saat ini muncul apa yang disebut sebagai Revolutionary in Military Affairs (RMA) yang
merupakan gabungan dari tiga aspek : sistem informasi (information system), sistem
persenjataan (weaponry system), dan ruang angkasa (space). Sistem informasi telah
menjadi bagian terpenting dari kekuatan nasional, termasuk kekuatan militer. Perang
Teluk 1991 dan aksi militer NATO terhadap Yugoslavia menujukkan hal ini. Sistem
persenjataan dengan mengintegrasikan sistem informasi melalui satelit dan komputer
akan merubah sifat perang menjadi cepat, akurat, dan efisien. Selama tahun 1943,
misalnya, angkatan udara AS menyerang hanya 50 target di Jerman. Dalam Perang Teluk
kekuatan udara koalisi mampu melakukan serangan 150 kali hanya dalam waktu sehari
dengan tingkat keakuratan tinggi dengan munculnya apa yang disebut bom pintar (smart
weapons). Ukuran senjata juga menjadi lebih kecil dengan kekuatan yang lebih besar. 
Karena ketergantungan pada sistem informasi, perang yang akan datang akan juga
menjadikan jaringan dan infratsruktur komunikasi sebagai target serangan militer baik
penghancuran secara fisik, maupun melalui perang komputer dan elektronik. Integrasi
antara sistem persenjataan dan informasi membutuhkan ruangan atau space. Penguasaan
ruang angkasa menjadi faktor penting dan arena perang di masa depan. 

Dengan karakteristik seperti itu, RMA akan membawa implikasi pada hukum
humaniter. Kontrol komandan terhadap bawahan tidak lagi dibatasi oleh birokrasi yang
berjenjang. Komandan dapat dengan langsung melihat apa yang terjadi di lapangan. Apa
yang disebut kontrol efektif atasan terhadap bawahan tidak lagi diartikan bahwa
komandan harus membawahi seorang prajurit di lapangan. Kontrol efektif bisa dilakukan
oleh atasan yang lebih tinggi yang tidak berada di lapangan melalui penggunaan
teknologi komunikasi dan informasi. Selain itu, perang modern dicirikan juga oleh makin
besarnya ketergantungan militer pada sipil, mulai dari kontral pembuatan persenjataan
pada perusahaan-perusahaan sipil/komersial, sampai dengan keterlibatan sipil dalam
sistem informasi militer, misalnya komputer dan satelit. Masalahnya adalah garis
pemisah antara sasaran sipil dan militer menjadi kabur karena keterlibatan sipil dalam
operasi militer. Apakah obyek-obyek seperti itu juga harus diikat oleh aturan-aturan
internasional tentang perang? Perang modern yang melibatkan non-state actors juga akan
mempersulit masalah diskriminasi dan proporsionalitas. Apakah suatu organisasi regional
atau internasional terikat oleh aturan-aturan hukum humaniter? Demikian pula halnya





dengan ketika perang dan pertempuran menjadi virtual obyek militer dan militer menjadi
sulit dipisahkan.  Ketika sistem informasi dan persenjataan sudah sangat maju dengan
tingkat akurasi yang tinggi, maka masalahnya bukan mengukur atau membandingkan
antara korban yang akan jatuh dan keuntungan militer yang akan dicapai, melainkan
apakah komandan atau perancang operasi militer       mengetahui atau patut diduga
mengetahui ada obyek sipil dalam sasaran yang akan diserang. Serangan terhadap
jaringan komunikasi dan pusat listrik yang sangat vital bagi C3I akan menyulitkan obyek
sipil. Serangan terhadap satelit juga akan membahayakan sistem penerbangan. Masalah-
masalah ini akan menjadi isu sentral dalam hukum humaniter untuk masa sekarang dan
masa depan.

Catatan akhir

Pada saat ini dan masa yang akan datang sebagian besar konflik akan menyebabkan
kompleksitas yang lebih sulit dalam menerapkan hukum humaniter, terutama prinsip
proporsionalitas dan diskriminasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Akan banyak
keterlibatan non-state actors dalam konflik bersenjata, sebagian besar konflik tidak lagi
antar negara (inter-state conflicts). Kesulitan ini lahir akibat kemajuan teknologi yang
pada satu sisi membawa keuntungan dengan adanya senjata yang akurat, tetapi pada sisi
lain membawa keterkaitan antara sipil dan militer makin erat, sehingga suatu serangan
terhadap sasaran militer akan membawa implikasi pada kehidupan sipil. Kesenjangan
kemampuan akan mendorong pihak lemah untuk melakukan perang secara asimetris,
bahkan menyembunyikan identitas mereka bukan sebagai     combatants. Jika semua bisa
dilihat oleh teknologi secara transparan, maka pihak yang lebih lemah akan mengatakan:
If I cannot hide, perhaps I can survive by appearing to the enemy to be the other than
what I am” Ini membawa kesulitan dalam mengidentifikasi combatants dan non-
combatants. Tafsiran atas masalah ini tergantung dari posisi dan kekuatan masing-masing
negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar