HUKUM HUMANITER
Jakarta, DMC – Negara merupakan elemen yang
berperan penting dalam menentukan pengormatan dan pelaksanaan prinsip-prinsip
Hukum Humaniter Internasional (HHI). Walaupun HHI memuat aturan yang mengatur
tingkah laku individu yang melaksanakan operasi perang, HHI adalah bagian
dari hukum internasional yang harus ditaati negara dalam lingkungan
masyarakat internasional, maka dari itu kewajiban negara untuk mengeluarkan
perintah agar HHI dipatuhi. Hal ini dikatakan Sekjen Dephan Letjen TNI
Sjafrie Sjamsoeddin yang dibacakan Dirjen Pothan Dephan Prof. DR. Budi Susilo
Supandji, saat membuka acara Diseminasi Hukum Humaniter Internasional di
lingkungan Dephan, Rabu (24/9) Kantor Dephan, Jakarta.
Lebih lanjut Sekjen Dephan menjelaskan, bahwa
Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan bagian tebesar pada hukum
Internasional. HHI terdiri dari aturan-aturan yang pada masa konflik
bersenjata berupaya untuk melindungi orang-orang yang tidak atau tidak lagi
ambil bagian dalam peperangan dan untuk membatasi cara dan sarana berperang
yang digunakan.
HHI juga dikenal juga sebagai hukum konflik
senjata atau hukum perang. HHI yang berlaku pada masa konflik bersenjata
adalah aturan-aturan pada perjanjian dan kebiasaan internasional yang secara
khusus bertujuan menyelesaikan masalah-masalah kemanusian yang muncul akibat
langsung dari konflik bersenjata, baik internasional maupun non
internasional.
Dikatakan Sekjen, Indonesia yang selalu berpartisipasi aktif dalam beberapa Operasi Penjaga Perdamaian PBB, menunjukkan minat yang tinggi dalam perumusan berbagai perjanjian internasional di bidang HHI. Indonesia pun telah mengesahkan perjanjian internasioanl di bidang Hukum Humaniter yaitu Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang dengan UU No. 59 tahun 1958. akan tetapi implementasi dari Konvensi Jenewa tersebut dalam hukum nasional kita belum nampak karena belum ada hukum nasional yang mengaturnya hingga kini. Sementara itu lanjut Sekjen, terdapat keinginan indonesia untuk mengaksesi Protokol tambahan I dan II tahun 1977 dalam kaitannya dengan perlindungan korban perang dalam konflik bersenjata internasional dan perlindungan korban perang dalam konflik senjata non internasional, mengingat Indonesia memiliki potensi konflik internal yang cukup tinggi.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam
rangka mendukung tugas-tugas Departemen Pertahanan dan TNI, maka Dephan
melalui Ditjen Pothan Dephan dan Biro Hukum Setjen Dephan bekerja sama dengan
delegasi Internasional Committee of The Red Cross (ICRC) di Jakarta,
melaksanakan kegiatan diseminasi HHI agar dapat lebih memberikan pemahaman
tentang HHI kepada para peserta di lingkungan Dephan sehingga dapat
diimplementasikan dalam kebijakan dan regulasi nasional di bidang pertahanan.
Kursus singkat tentang HHI ini, berlangsung selama
3 hari dimulai tanggal 24-26 september 2008 dan merupakan salah satu wujud
komitmen Dephan dalam mendukung usaha-usaha perlindungan dan pemajuan Hak
Azasi Manusia (HAM) dan HHI. Selain itu, kegiatan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para pejabat Dephan mengenai HHI,
sehingga pada saat pejabat Dephan terlibat dalam penyusunan regulasi bidang
pertahanan negara dapat memberikan kontribusi secara optimal.
|
Jean-Jacques Rousseau memberikan inpirasi bagi
perkembangan prinsip-prinsip perang. Dia bilang bahwa tujuan perang untuk
menghancurkan negara musuh adalah sah secara hukum apabila membunuh prajurit
yang menjadi pertahanan terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata; tetapi
segera setelah mereka meletakkan senjata dan menyerah, mereka bukan lagi musuh
atau agen musuh, kini mereka kembali menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah
secara hukum untuk mengambil hidup mereka.
Para perancang Deklarasi St. Petersburg memformulasikan prinsip-prinsip pembedaan, prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu dan prinsip kepentingan kemanusiaan dan keperluan militer. Bahwa satu-satunya objek yang paling sah dicapai oleh suatu Negara selama perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari pihak lawan.
Protokol Tambahan 1977 merinci dan menegaskan kembali prinsip-prinsip ini khususnya prinsip pembedaan. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik setiap saat harus dapat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan antara objek sipil dan objek militer dan karena itu pula pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus mengarahkan operasinya semata-mata hanya untuk menyerang objek militer. (Pasal 48 Protokol I dan Pasal 13 Protokol II).
Protokol Tambahan I dan II 1977 pada Konvensi Jenewa 1949 melarang kombatan menyamar sebagai orang sipil, penyerangan yang membabi buta atau tidak pandang bulu dan penyerangan tempat ibadah dan monumen serta penyerangan objek-objek yang mutlak diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk. Kedua Protokol tersebut juga melarang tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror.
Prinsip berikutnya adalah proporsionalitas yaitu usaha untuk menjaga keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda. Tujuannya adalah untuk mencegah penderitaan yang tidak perlu di pihak sipil dalam operasi militer. Protokol mengharuskan segenap pihak yang terlibat konflik bersenjata untuk mengambil langkah pencegahan yang mungkin bisa diambil menyangkut sarana dancara berperang yang dipakai untuk menghindari atau memperkecil timbulnya kerugian ikutan berupa korban tewas dan luka di pihak sipil dan kerusakan objek sipil yang melebihi keuntungan militer yang diperoleh.
Analisis Pelanggaran Hukum Humaniter Pada Penyerbuan
Desa May Lai dalam Perang Vietnam Tanggal 16 Maret 1968
Oleh: Letkol Laut (P) Rudhi Aviantara,
Komandan KRI Layang - 805, Anggota Dewan Penasehat Harian TANDEF
BAB I PENDAHULUAN
1. Umum
Perang Vietnam atau Perang Indochina Kedua
adalah perang
yang terjadi antara tahun 1957 sampai dengan 1975 di Vietnam. Perang ini merupakan bagian dari Perang
Dingin. Dua aliansi yang berperang adalah Republik Vietnam (Vietnam
Selatan) dan Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara). Dalam perang tersebut
Vietnam Selatan didukung oleh negara Amerika
Serikat, Korea Selatan, Thailand, Australia, Selandia
Baru dan Filipina,
sedangkan Vietnam Utara yang merupakan negara komunis didukung oleh USSR / Uni Soviet dan China.1
Di dalam makalah ini akan menganalisa sebagian dari
rangkaian perang Vietnam pada studi kasus pembantaian terhadap ratusan penduduk
sipil yang tidak bersenjata, yang dilakukan oleh pasukan Amerika di sebuah desa
yaitu My Lai pada tanggal 16 Maret 1968. Sebagian besar penduduk sipil yang
menjadi korban pembantaian adalah perempuan dan laki laki tua serta anak –
anak. Pembantaian ini menjadi catatan sejarah kejahatan
perang Amerika di Vietnam, sehingga mengakibatkan kecaman
dunia Internasional, menurunkan kewibawaan Amerika dan
menurunkan dukungan dari rakyat Amerika itu sendiri.
Instrumen yang digunakan dalam menganalisa studi
kasus pembantaian oleh pasukan Amerika, yang dipimpin oleh Letnan William
Calley sebagai komandan peleton 1C adalah Hukum Humaniter Internasional
(juga disebut Hukum Perang atau Hukum Konflik Bersenjata) – Konvensi Jenewa
1949 dan Protokol Tambahan I 1977.
2. Latar Belakang.
Pada saat Perang Vietnam, Provinsi Quang Ngai tepatnya di desa Son
My Vietnam Selatan dicurigai oleh pasukan Amerika
sebagai tempat perlindungan kaum gerilyawan
Angkatan Bersenjata Pembebasan Rakyat dari Front Nasional untuk Pembebasan
Vietnam (FNPV), yang juga disebut "Viet Cong"
atau "VC". Desa Son My oleh pasukan Amerika disebut Pinkville
(karena pada peta berwarna merah jambu). Pada serangan tanggal 16 Maret
1968, selain membantai ratusan penduduik sipil, pasukan Amerika juga
menghancurkan rumah – rumah yang ada di desa Song My, tepatnya di dusun My Lai.
Pasukan Amerika menganggap penting bahwa para gerilyawan FNPV harus
dimusnahkan. Oleh sebab itu, mereka tidak mengukur berapa banyak wilayah atau
lokasi strategis yang direbut atau dikuasai sebagai suatu sasaran operasi,
melainkan berdasarkan "jumlah mayat" penduduk yang dicurigai
sebagai gerilyawan FNPV yang terbunuh.
Tujuan operasi pasukan AS menyerang My Lai
adalah mencari dan menghancurkan musuh. Namun komandan kompi C yaitu Kapten Ermest
Medina merasa tidak jelas tindakan apa yang diambil bila menemukan orang
sipil di dusun My Lai. Ada seorang prajurit Kompi C menannyakan
kepada komandannya yaitu Kapten Medina mengenai kemungkinan
tindakan yang di ambil bila bertemu dengan orang sipil khususnya
wanita dan anak-anak. Kapten Medina mengarahkan agar bertindak secara akal
sehat, bila mereka bersenjata dan berusaha melawan, maka diperbolehkan
menembaknya. Berdasarkan informasi intelijen bahwa dusun My Lai
telah diduduki oleh FNPV dan seluruh penduduknya sudah mengungsi.
Pada pagi hari 16 Maret 1968, satu peleton pasukan
Amerika yang dipimpin oleh Letnan Willian Calley memasuki dusun My Lai, mereka
menemukan sekelompok penduduk yang terdiri dari para perempuan, anak-anak dan
laki – laki tua yang sedang melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari. Penduduk
sipil tersebut kemudian ditembaki secara membabi buta, ada sebagian penduduk
dimasukkan ke dalam suatu banker tempat persembunyian, kemudian bunker tersebut
dimasukan granat, bahkan banyak para wanita yang diperkosa sebelum
dibunuh. Selama serangan, tidak ada suara tembakan atau tidak ada
perlawanan dari pihak penduduk sipil yang ada di dusun My Lai. Jumlah
korban tewas dalam serangan di dusun My Lai mencapai 500 orang.
Prajurit Amerika mendapatkan doktrin dari
atasannya agar dalam laporan hasil operasi tersebut untuk melebihkan
perhitungan jumlah korban yang tewas dari pihak FNPV.
Dalam perjuangannya, para gerilyawan dari FNPV membaur dengan penduduk
sipil, sehingga pasukan Amerika kesulitan membedakan gerilyawan FNPV dan
pendudk sipil tersebut. Pasukan Amerika merasa kesulitan menghadapi
taktik dari gerilyawan FNPV. Hal lain yang melatar belakangi pembantaian di My
Lai adalah ketidakmampuan pasukan Amerika untuk mengejar gerilyawan yang
selalu lolos dari penyergapan dan timbulnya rasa takut akan penyergapan balik
dari gerilyawan FNPV. Ada kemungkinan pasukan Amerika melampiaskan kemarahannya
dengan cara melakukan pembantaian terhadap penduduk sipil yang tidak bersenjata
di dusun My Lai.
Pada awalnya, peristiwa pembantaian ini ditutupi
oleh Angkatan Darat AS dan dinyatakan sebagai kemenangan menghadapi
gerilyawan gerilyawan FNPV. Satu tahun setelah pembantaian di My
Lai, masalah ini mencuat di media masa, sehingga menimbulkan kemarahan
masyarakat AS. Pada tanggal 29 Maret 1968, Ronald Ridenhour
seseorang prajurit dari satuan lain mengetahui pembantaian di My Lai dan
memberitahukan kepada Melvin Laird yang menjabat sebagai sekretaris
Menteri Pertahanan AS. Para wartawan mengetahui apa yang terjadi, kemudian
memberitakan peristiwa tersebut sebagai high lines news. Dengan gencarnya
pemberitaan peristiwa pembantaian ini di media masa, menimbulkan protes
dari masyarakat Amerika sendiri. Tindakan selanjutnya adalah pihak Angkatan
Darat AS melaksanakan penyelidikan terhadap tindakan prajurit Amerika pada
perang Vietnam tersebut. Presiden Richard Nixon pada waktu itu memerintahkan
untuk mempercepat penarikan kembali pasukan AS dari Vietnam. Pihak
Angkatan Darat AS memeriksa 12 personel yang terdiri dari perwira,
tamtama dan bintara. Hasil dari penyelidikan dan penyidikan di mahkamah
militer menyatakan bahwa Letnan William Calley bersalah dan dihukum seumur
hidup. Penjatuhan hukuman ini menimbulkan protes dari para veteran perang dan
menuntut untuk membebaskan Letnan Calley.
3. Kronologis
a. Sebelum Kejadian / Data Intelijen
1) Januari 1968, pada Serangan
Tet2,
serangan-serangan dilakukan di Quang Ngai oleh Batalyon ke-48 dari FNPV. Intelijen militer AS membentuk pandangan bahwa Batalyon
ke-48, setelah mengundurkan diri, berlindung di desa Son My.
2) Informasi intelijen menyatakan bahwa unit
48th Local Force NLF diperkirakan sekitar 200 gerilyawan telah tersebar di
sekitar daerah operasi My Lai / Pink Ville.
3) Banyak penduduk yang menjadi simpatisan Viet Cong
sudah meninggalkan My Lai.
4) Banyak perwira intel AD termasuk yang dari
Brigade 11st dan Americal Division percaya bahwa musuh berada dekat My Lai.
5) Daerah sasaran peleton Letda William Calley
kemungkinan akan mendapatkan perlawanan dari Yon Veteran musuh, pada waktu
memasuki daerah tersebut.
6)Bila telah memasuki daerah sasaran, kemungkinan
musuh sudah membaur dengan penduduk sipil.
7) Bukit sebelah Utara dan Barat Laut May Lai-4
kemungkinan merupakan markas komando batalyon musuh.
b. Rencana Operasi. Tidak ditemukan adanya
dokumen tertulis tentang Rencana Operasi Muscatine yang dipimpin oleh
Letkol Barker. Kalaupun ada, kemungkinan sudah dimusnahkan. Sedangkan Letkol
Barker sudah meninggal dalam kecelakaan heli pada bulan Juni 1968
Operasi dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 1968 dan
diberlakukan mulai jam 07.303.
Tugas yang diberikan kepada masing – masing kompi
adalah sebagai berikut : Kompi A memblokade sebelah utara sungai Diem Diem,
sedangkan kompi B dan C bergerak ke Selatan untuk menyerang musuh yang
diharapkan mergerak menuju mulut sungai Tra Khuc yang akan disergap oleh kompi
A.
Letkol Barker sangat menekankan bahwa VC akan
bersembunyi di terowongan yang sangat panjang dan rumit yang terdapat di daerah
tersebut dan menyerang dari belakang.
Letkol Barker menugaskan peleton 1 A bergerak
ke arah puncak bukit 85 (bukit elephant) dengan tujuan untuk melindungi kompi B
dan C.
Kompi C didaratkan dengan menggunakan Helly pada jam
07.30 dan mulai bergerak ke Timur menuju dusun keci My Lai.
Perkampungan Son My merupakan target dan sasaran operasi.
c. Pelaksanaan Operasi tgl 16 Maret 1968.
Jam 05.30, Kompi C melaksanakan persiapan
embarkasi dengan Helly.
Jam 07.30, sebelum helly mendarat, 4 meriam artileri
howitser 105 mm mulai melakukan tembakan ke arah area landing zone
di dekat My Lai. Pada awal serangan, kompi C Kapten Ernest Medina telah
menembak seorang petani yang berada di sawah namun tidak bersenjata.
Jam 08.00, Kapten Medina melaporkan hasil serangan
awal : 15 orang Viet Cong tewas. Pasukan kompi C
menganggap bahwa penduduk di desa My Lai adalah sebagai kombatan
Viet Cong yang menjadi sasaran yang sah.
Peleton Letnan Calley dibagi menjadi 3 kelompok dan bergerak dari arah Selatan My Lai 4. Letnan Calley berhasil menemukan beberapa penduduk yang dijadikan sebagai tawanan dan akan di interogasi. Di sisi lain, anak buah Letnan Calley berbeda pendapat dengannya yaitu langsung menembakinya setelah penduduk dikumpulkan. Bahkan prajurit peleton Letnan Calley menembaki apa saja yang bergerak termasuk hewan ternak.
Peleton Letnan Calley dibagi menjadi 3 kelompok dan bergerak dari arah Selatan My Lai 4. Letnan Calley berhasil menemukan beberapa penduduk yang dijadikan sebagai tawanan dan akan di interogasi. Di sisi lain, anak buah Letnan Calley berbeda pendapat dengannya yaitu langsung menembakinya setelah penduduk dikumpulkan. Bahkan prajurit peleton Letnan Calley menembaki apa saja yang bergerak termasuk hewan ternak.
Jam 08.30, Kolonel Henderson dan Letkol Barker
inspeksi pelaksanaan operasi, kemudian Kapten Medina melaporkan jumlah korban
yang tewas yaitu 84 orang.
Jam 09.00, seorang pilot helly yaitu Chief Warrant
Officer Hugh Thompson terbang di atas My Lai. Thompson melihat banyak
mayat dan beberapa penduduk yang menderita kesakitan akibat luka tembak di
sekitar desa My Lai. Pilot tersebut berkali-kali melihat lelaki dan
perempuan muda ditembak dari jarak dekat. Melihat perlakuan pasukan
Amerika terhadap penduduk, kemudian Thompson sangat kecewa dan melaporkan
kejadian ini ke markas brigade.
Letnan Calley mengumpulkan penduduk sipil berjumlah sekitar 80 orang yang terdiri dari laki – laki tua, wanita dan balita di sekitar saluran irigasi, di sebelah Timur My Lai. Kemudian Letnan Calley memerintahkan anak buahnya untuk menggiring penduduk tersebut untuk memasuki saluran irigasi. Setelah penduduk dimasukkan ke dalam saluran irigasi, kemudian Letnan Calley memerintahkan prajuritnya untuk menembakinya, namun ada beberapa prajurit menolak perintah tersebut. Salah satu anak buahnya yaitu Paul Meadlo mengikuti perintah Letnan Calley dan menembaki penduduk tersebut sekitar 25 orang. Calley sendiri turut serta dalam pembantaian ini. Bahkan ada seorang anak berumur 2 tahun yang selamat dan berhasil melarikan diri, namun ditangkap kembali oleh Letnan Calley, kemuidian anak kecil tersebut dilempar ke saluran irigasi dan ditembak mati oleh Letnan Calley.
Pliot Hugh Thompson, melihat mayat-mayat di saluran irigasi termasuk beberapa orang yang masih hidup. Dia mendaratkan helikopternya dan menginformasikan kepada Calley untuk menghentikan prajuritnya menembaki penduduk dengan cara tidak manusiawi. Pilot tersebut kemudian mengevakuasi penduduk sipil yang masih hidup. Thompson memerintahkan crew-nya untuk menghalau pasukan Amerika dengan cara menembaknya bila mereka masih menembaki penduduk sipil. Pilot tersebut berhasil mengevakuasi 9 orang termasuk 5 anak-anak dan dibawa ke rumah sakit AD terdekat. Kemudian, Thompson mendarat lagi dan menyelamatkan seorang bayi yang masih merangkul jenazah ibunya.
Letnan Calley mengumpulkan penduduk sipil berjumlah sekitar 80 orang yang terdiri dari laki – laki tua, wanita dan balita di sekitar saluran irigasi, di sebelah Timur My Lai. Kemudian Letnan Calley memerintahkan anak buahnya untuk menggiring penduduk tersebut untuk memasuki saluran irigasi. Setelah penduduk dimasukkan ke dalam saluran irigasi, kemudian Letnan Calley memerintahkan prajuritnya untuk menembakinya, namun ada beberapa prajurit menolak perintah tersebut. Salah satu anak buahnya yaitu Paul Meadlo mengikuti perintah Letnan Calley dan menembaki penduduk tersebut sekitar 25 orang. Calley sendiri turut serta dalam pembantaian ini. Bahkan ada seorang anak berumur 2 tahun yang selamat dan berhasil melarikan diri, namun ditangkap kembali oleh Letnan Calley, kemuidian anak kecil tersebut dilempar ke saluran irigasi dan ditembak mati oleh Letnan Calley.
Pliot Hugh Thompson, melihat mayat-mayat di saluran irigasi termasuk beberapa orang yang masih hidup. Dia mendaratkan helikopternya dan menginformasikan kepada Calley untuk menghentikan prajuritnya menembaki penduduk dengan cara tidak manusiawi. Pilot tersebut kemudian mengevakuasi penduduk sipil yang masih hidup. Thompson memerintahkan crew-nya untuk menghalau pasukan Amerika dengan cara menembaknya bila mereka masih menembaki penduduk sipil. Pilot tersebut berhasil mengevakuasi 9 orang termasuk 5 anak-anak dan dibawa ke rumah sakit AD terdekat. Kemudian, Thompson mendarat lagi dan menyelamatkan seorang bayi yang masih merangkul jenazah ibunya.
Jam 11.00, Letkol Barker mendapat informasi
dari Puskodal bahwa beberapa pilot telah memberitahukan kepada komandan
kompinya tentang pembantaian penduduk sipil yang tidak bersalah yang dilakukan
oleh anak buahnya. Letkol Barker segera memberitahu XO yang sedang terbang di
atas daerah pertempuran untuk menyelidiki peristiwa sebenarnya. Bila laporan
kejadian itu benar, maka segera mengambil tindakan untuk mencegah terulangnya
kejadian tersebut. Letkol Barker meminta kepastian dari kapten Medina
tentang kejadian tersebut yang diinformasikan oleh para pilot. Kemudian Letkol
Barker meminta jaminan kepada Kapten Medina kalau memang laporan
dari pilot tersebut tidak pernah terjadi. Kapten Medina melaporkan
kepada Letkol Barker bahwa tidak ada pembantaian terhadap pendudk sipil.
Kemudian Letkol Barker memerintahkan kepada kompi C untuk menghentikan tembakan
kepada penduduk sipil.
d. Sesudah Kejadian
Laporan yang dibuat oleh dua perwira Angkatan Darat
Amerika yaitu Tom Glen dan Ron Ridenhour yang membuat surat kepada presiden
Nixon tentang kejadian pembantaian di desa My Lai, menimbulkan pemberitaan di
media masa yang ditanggapi negative oleh masyarakat Amerika Serikat,
terutama protes dari para veteran perang Vietnam.
Pada tanggal 17 Maret 1970, mahkamah militer Amerika mengadili 14 perwiranya yang
terkait pembantaian My Lai. Hasil penyidikan, Letnan William Calley dinyatakan bersalah telah
melakukan pembunuhan terencana dengan memerintahkan penembakan terhadap
masyarak sipil. Letnan William Calley semula dijatuhi hukuman penjara seumur
hidup, namun dua hari kemudian, Presiden Richard
Nixon memerintahkan untuk memebebaskan dari penjara. Keputusan akhir,
Letnan William Calley menjalani tahanan rumah selama 3½ tahun di markasnya
di Fort Benning, Georgia, kemudian diperintahkan
bebas oleh seorang hakim federal.
BAB II DASAR-DASAR PEMIKIRAN
1. Istilah Hukum Humaniter
Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut
International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya
dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian
berkembang menjadi hukum konflik bersenjata (laws of arms conflict),
dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter4.
Hukum
Humaniter Internasional adalah seperangkat
aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat
dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi
terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum
Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws
of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict).
Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional.
Hukum Humaniter Internasional mempunyai 2 cabang,
yaitu :
a.
Hukum Jenewa, yang disusun untuk melindungi personil
militer yang tidak lagi ambil bagian dalam pertempuran dan orang – orang yang
tidak terlibat aktif dalam peperangan, yaitu penduduk sipil, sedangkan
b. Hukum Den Haag, yang menetapkan hak dan kewajiban pihak – pihak yang berperang dalam melaksanakan operasi militer dan menetapkan batasan – batasan mengenai sarana yang boleh dipakai untuk mencelakai musuh5.
b. Hukum Den Haag, yang menetapkan hak dan kewajiban pihak – pihak yang berperang dalam melaksanakan operasi militer dan menetapkan batasan – batasan mengenai sarana yang boleh dipakai untuk mencelakai musuh5.
Instrumen Hukum Humaniter
Internasional utama adalah konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 bagi
perlindungan korban perang. Instrumen ini telah diterima secara
universal. Untuk menlengkapinya, Konvensi Jenewa mengadopsi dua protokol
pada 1977 yaitu Protokol Tambahan I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus
1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol
Tambahan II untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan
Korban Konflik Bersenjata Non-internasional. Dengan demikian instrumen utama
hukum humaniter adalah Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan tahun 1977.6
Hingga saat ini 194
negara telah meratifikasi Konvensi Jenewa. Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi
Jenewa I-IV 1949 pada 30 September 1958. Sementara untuk Protokol
Tambahan I dan II Indonesia belum meratifikasi7.
2. Konvensi Jenewa 1949.
Konvensi Jenewa terdiri dari Konvensi I s.d IV
dan dilengkapi dengan dua Protokol Tambahan I dan II tahun 1977. Keempat
Konvensi Jenewa 1949 tersebut menetapkan bahwa penduduk sipil dan
orang-orang yang tidak lagi ikut serta secara aktif dalam tindakan permusuhan
harus diselamatkan dan diperlakukan secara manusiawi. Sedangkan Konvensi Jenewa
yang mengatur langsung perlindungan kepada para penduduk sipil dalam
peperangan adalah Konvensi Jenewa IV 1949. Konvensi ini mengatur
permasalahan masalah orang-orang sipil yang berada dibawah kekuasaan musuh.
Dua Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan pelengkap bagi konvensi-konvensi
Jenewa yang bertujuan membatasi penggunaan kekerasan dan melindungi penduduk
sipil dengan memperkuat aturan-aturan yang mengatur tindak permusuhan.
Pada tahun 1977, keempat konvensi Jenewa tersebut ditambahkan
lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yaitu :
a.
Protokol Tambahan - I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12
Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional.
b.
Protokol Tambahan - II untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12
Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional.
Aturan yang menangani permasalahan orang-orang sipil
yang berada dibawah kekuasaan musuh adalah Konvensi Jenewa IV tahun 1949
yang diatur dalam :
Pasal 4, menyebutkan bahwa masalah orang sipil di
wilayah musuh dan penduduk sipil dibawah pendudukan musuh,
Pasal 35 menyebutkan masalah orang sipil yang berada
di wilayah musuh harus diperbolehkan untuk pergi.
Dua Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan pelengkap bagi konvensi-konvensi Jenewa yang bertujuan membatasi penggunaan kekerasan dan melindungi penduduk sipil dengan memperkuat aturan-aturan yang mengatur tindak permusuhan.
Dua Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan pelengkap bagi konvensi-konvensi Jenewa yang bertujuan membatasi penggunaan kekerasan dan melindungi penduduk sipil dengan memperkuat aturan-aturan yang mengatur tindak permusuhan.
a.
Konvensi Jenewa IV 1949.
1)
Pasal 27 menyebutkan bahwa kejahatan perang
karena terjadi pada situasi perang dan yang diserang dan dibunuh adalah
penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anak-anak dan penyerangan
dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer dan bukan serta
dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dilakukan dengan sengaja, melakukan
tindakan penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan
sewenang-wenang, yang seharusnya merupakan kelompok orang yang wajib dilindungi
menurut konvensi.
2)
Pasal 49 menyebutkan bahwa setiap kasus yang
termasuk kejahatan internasional (pelanggaran berat) maka pelaku harus
mempertanggunjawabkannya secara individu. Orang yang pertama kali diminta
pertanggungjawabannya ketika terjadi pelanggaran adalah orang yang secara
langsung melakukan pelanggaran tersebut.
3)
Pasal 50 menyebutkan bahwa pelanggaran hukum
humaniter yang digolongkan sebagai pelanggaran berat, apabila pelanggaran
tersebut dilakukan terhadap orang-orang atau objek yang dilindungi oleh
Konvensi, meliputi perbuatan :
a)
Pembunuhan disengaja.
b)
Penganiayaan dan atau perlakuan yang tidak berperikemanusiaan.
c)
Percobaan-percobaan biologi yang menyebabkan penderiataan besar atau luka atas
badan atau kesehatan yang berat.
d)
Penghancuran yang luas.
e)
Tindakan perampasan harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer
dan dilaksanakan dengan melawan hukum serta semena-mena.
b.
Protokol Tambahan I tahun 1977.
1) Pasal 51 ayat 3 menyebutkan
bahwa yang tergolong kejahatan perang adalah pada saat situasi perang maka
penyerangan dilakukan terhadap penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan
anak-anak yang seharusnya wajib dilindungi, sedangkan pada ayat 4 disebutkan
bahwa penyerangan yang dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran
militer dan yang bukan sasaran militer serta dilakukan dalam skala besar,
pembunuhan dengan sengaja, penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan
penahanan sewenang-wenang.
2) Pasal 86 menyebutkan, Art
86 Failure to act :
a) The High Contracting Parties and the Parties
to the conflict shall repress grave breaches, and take measures necessary to
suppress all other breaches, of the Conventions or of this Protocol which
result from a failure to act when under a duty to do so.
b) The fact that a breach of the
Conventions or of this Protocol was committed by a subordinate does not absolve
his superiors from penal or disciplinary responsibility, as the case may be, if
they knew, or had information which should have enabled them to conclude in the
circumstances at the time, that he was committing or was going to commit such a
breach and if they did not take all feasible measures within their power to
prevent or repress the breach.
Inti dari pasal 86 Protokol Tambahan I adalah
menyebutkan bahwa menurut hukum humaniter, fakta suatu pelanggaran yang
dilakukan oleh seorang bawahan sama sekali tidak membebaskan atasannya dari
tanggung jawab pidana atau disiplin, apabila atasannya tersebut mengetahui atau
telah mendapat keterangan yang seharusnya memungkinkan mereka dalam keadaan pada
saat itu untuk menyimpulkan bahwa bawahannya tengah melakukan atau akan
melakukan pelanggaran dan apabila mereka tidak melakukan tidakan dalam batas
kekuasaan mereka untuk mencegah pelanggaran atau menindak pelanggar tersebut,
sedangkan :
3)
Pasal 87 menyebutkan, Art 87 Duty of commanders :
a) The High Contracting Parties and the
Parties to the conflict shall require military commanders, with respect to
members of the armed forces under their command and other persons under their
control, to prevent and, where necessary, to suppress and to report to
competent authorities breaches of the Conventions and of this Protocol.
b)
In order to prevent and suppress breaches, High Contracting Parties and
Parties to the conflict shall require that, commensurate with their level of
responsibility, commanders ensure that members of the armed forces under their
command are aware of their obligations under the Conventions and this Protocol.
c)
The High Contracting Parties and Parties to the conflict shall require
any commander who is aware that subordinates or other persons under his control
are going to commit or have committed a breach of the Conventions or of this
Protocol, to initiate such steps as are necessary to prevent such violations of
the Conventions or this Protocol, and, where appropriate, to initiate
disciplinary or penal action against violators thereof.
Intisari dari pasal 87 Protokol Tambahan I,
menyebutkan bahwa kewajiban Komandan mengenai pertanggungjawaban komando
berdasarkan hukum humaniter tidak terbatas tingkatannya, artinya seorang
Komandan di tingkat tertinggi pun dapan dikenakan pertanggungjawaban secara
pidana, apabila dapat dibuktikan adanya rantai komando dan hubungan causal
antara pelanggaran yang terjadi dengan kelalaian dari Komandan dalam melaksanakan
kewajibannya tersebut, baik dalam hal melakukan pencegahan atau menindak pelaku
pelanggaran. Agar supaya dapat mencegah terjadinya pelanggaran maka negara
harus meminta Komandan sesuai dengan tanggung jawab mereka untuk menjamin bahwa
para anak buahnya menyadari kewajiban-kewajiban mereka terhadap Konvensi dan
Protokol ini. Komandan harus dapat menjamin bahwa anak buahnya mengerti dan
memahami hukum humaniter dengan cara :
a) Memberikan penyuluhan dan melatihkan hukum
humaniter tersebut sebelum terjun ke lapangan, karena akan sangat mempermudah
mereka ketika melakaukan operasi militer, mereka sudah tahu hak-hak dan
kewajiban sebagai peserta tempur serta mampu menentukan sasaran yang sah dan
tidak.
b) Prinsip-prinsip hukum humaniter betul-betul diterapkan
oleh Komandan, sehingga walaupun nantinya laporan intelijen berbeda dengan
fakta di lapangan, seorang prajurit yang profesional tidak akan dengan gegabah
melakukan tindakan yang melanggar hukum dan diharapkan akan mampu
mempertanggungjawabkan semua tindakannya berdasarkan hukum.
c) Menjamin sistem pelaporan yang efektif dan
melakukan monitor terhadap sistem pelaporan tersebut.
d) Melakukan tindakan korektif ketika mengetahui
bahwa anak buahnya akan atau telah melakukan tindakan pelanggaran.
c.
Protokol Tambahan II tahun 1977.
1) Pasal 52 menyebutkan bahwa
apabila ada keraguan untuk menentukan apakah itu sasaran militer atau bukan
maka sasaran itu harus dianggap bukan sasaran militer.
2) Pasal 57 ayat 2b menyebutkan
bahwa suatu serangan harus dibatalkan atau ditunda apabila menjadi jelas bahwa
sasarannya adalah bukan sasaran militer atau dibawah perlindungan khusus, atau
apabila serangan itu akan mengakibatkan kerugian yang tidak perli berupa
tewasnya penduduk sipil atau rusaknya obyek-obyek sipil.
BAB III ANALISIS KEJADIAN
1. Pertanggungjawaban Komando (command responsibility)
Ketentuan yang dapat dijadikan sebagai dasar
hukum pertanggung jawaban komando adalah Pasal 86 dan 87
Protokol Tambahan I 1977. Ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang mengatur
tentang pertanggungjawaban komando tersebut mengandung 3 aspek penting
yang harus dipenuhi untuk menentukan seorang perwira atau komandan harus
bertanggung jawab atas tindakan kejahatan bawahannya8
:
a. Ada hubungan atasan-bawahan
dalam kasus terjadinya tindakan kejahatan yang telah dilakukan. Ini ditunjukkan
dengan bukti-bukti yang jelas, saksi, dokumen, dsb.
b. Atasan mengetahui atau diduga
patut mengetahui adanya tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahan.
Komandan atau atasan gagal untuk mencegah atau
menindak (menghukum) pelaku kejahatan tersebut atau menyerahkan pelakunya
kepada pihak yang berwenang.
Untuk menentukan seorang komandan bersalah atas
tindakan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan perlu dibuktikan bahwa:
a. Prajurit pelaku kejahatan
berada di bawah komando atau kontrol atasan tertuduh.
b. Atasan tertuduh mengetahui
secara aktual (actual notice), yaitu mengetahui atau diberitahu
tentang terjadinya tindak kejahatan perang dan kemanusiaan pada saat tindak
kejahatan tersebut berlangsung.
c. Atasan tertuduh mengetahui
secara konstruktif (constructive notice) yaitu telah terjadi tindak
pelanggaran dalam skala besar sehingga tertuduh atau seseorang pasti sampai
pada kesimpulan bahwa ia mengetahui tindak kejahatan tersebut.
d. Atasan tertuduh mengetahui ada
tindak kejahatan tetapi menunjukkan sikap yang secara sengaja tidak acuh
terhadap konsekuensi dari sikap membiarkan tersebut (imputed notice).
e. Atasan tertuduh gagal mengambil
langkah-langkah yang perlu dalam kewenangannya untuk mencegah atau menghukum
tindak kejahatan ketika ia mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk melakukan hal
tersebut.
Dari
hasil analisa pelanggaran hukum humaniter pada pembantaian di May Lai oleh
pasukan Amerika dari aspek pertanggungjawaban komando adalah sebagai berikut :
a.
Letkol Frank A Barker, sebagai Komandan Task Force
1) Sebagai Komandan Task Force,
Letkol Frank Barker berwenang dan bertanggungjawab memberikan tugas
pokok kepada Komandan Kompi C (Kapten E. Medina). Secara hirarkhi,
konsep operasi yang dikembangkan oleh Kapten Medina berdasarkan pada
Perintah Operasi dari Komandan Task Force atau Komandan Gusus Tugas.
Perintah yang diberikan oleh Kapten Medina sebagai Komandan Kompi C kepada
Letnan William Calley sebagai Dan Ton 1 C masih merupakan tanggung jawab
pengawasan dan pengendalian Letkol Frank Baker sebagai Komandan Task Fors / DAN
GT.
2) Dari permasalahan pemabantaian
di desa My Lai, maka Letkol Frank Barker telah dapat dikenakan sanksi pasal 87
ayat 2 dan 3 adalah :
a) Seorang Komandan tidak berusaha
menyebar luaskan atau memberitahukan / mensosialisasikan tentang
Hukum Humaniter, hal ini melanggar pasal 87 ayat 2.
b) Seorang Komandan tidak berusaha
mengambil tindakan yang harus diambil pada saat bawahan melakukan pelanggaran
dan telah mememprakarsai terjadinya pelanggaran Hukum Humaniter, hal ini
melanggar pasal 87 ayat 3.
b.
Kapten Medina sebagai Komandan Kompi C
1) Pada saat briefing, Kapten
Medina sebagai seorang Komandan kompi C memerintahkan kepada anak buahnya
untuk menghancurkan My Lai dengan cara membakar rumah penduduk, membunuh hewan
peliharaan penduduk dan membunuh apa saja yang hidup di desa tersebut.
Kapten Medina juga tidak mengaahkan untuk menganalisa ulang data
intelijen yang diinformasikan oleh komando atas.
2) Pada saat Danton 1 C / Letnan
William Calley melaporkan perkembangan situasi di My Lai melalui radio, justru
Kapten Medina memerintahkan untuk membunuh penduduk sipil di My Lai.
3) Sesuai dengan Protokol I 1977,
maka tindakan Kapten Medina tersebut telah melanggar pasal :
a) Pasal 87 Ayat 1
yang menyebutkan bahwa : Seorang Komandan tidak mencegah adanya pelanggaran
terhadap Konvensi-konvensi dan protokol ini yang dilakukan oleh anggota
Angkatan Bersenjata yang berada dibawah komandonya dan juga oleh orang lain
yang dibawah pengawasannya.
b) Pasal 87 ayat 2,
Seorang Komandan tidak berusaha menyebar luaskan tentang Hukum Humaniter,
khususnya kepada anak buahnya di kompi C.
c) Pasal 87 Ayat 3,
yang menyebutkan bahwa Seorang Komandan tidak mengambil tindakan yang harus
diambil pada saat bawahannya melakukan pelanggaran dan justru memberikan
perintah yang mengakibatkan pelanggaran Hukum Humaniter
c.
Letnan William Calley, sebagai Komandan Peleton 1 C
1) Tindakan yang diambil oleh
Letnan Calley merupakan tindakan yang berdasarkan perintah dari kapten Medina
sebagai komandan kompi C.
2) Letnan William Calley sebagai
seorang prajurit telah mentaati perintah dari komandan kompi / atasan
langsung untuk melaksanakan membunuh penduduk yang ada di desa My
Lai. Letnan William Calley juga secara langsung melakukan penembakan
secara membabi buta terhadap penduduk sipil termasuk, wanita, laki-laki
berusia lanjut dan anak - anak.
3) Analisa terhadap tindakan
Letnan William Calley :
a) Tidak sesuai dengan Azas Hukum
Humaniter yaitu Azas Perikemanusiaan (Humanity).
Di dalam Azas Hukum Humaniter dikenal tiga yaitu Azas Perikemanusiaan (Humanity), Azas Kepentingan Militer dan Azas Kesatriaan (Chivalry)9. Bila dihubungkan dengan tindakan yang dilakuakan oleh Letnan William Calley, maka perwira tersebut telah melanggar Azas Perikemanusiaan dimana pihak pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
Di dalam Azas Hukum Humaniter dikenal tiga yaitu Azas Perikemanusiaan (Humanity), Azas Kepentingan Militer dan Azas Kesatriaan (Chivalry)9. Bila dihubungkan dengan tindakan yang dilakuakan oleh Letnan William Calley, maka perwira tersebut telah melanggar Azas Perikemanusiaan dimana pihak pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
Namun tindakan Letnan William Calley justru
melakukan pembunuhan tidak manusia, dengan cara menembak penduduk sipil secara
membabi buta terhadap orang-orang yang seharusnya.
a)
Melanggar Konvensi Jenewa IV tahun 1949.
Letnan William Calley secara langsung telah bertindak yang
menjadikan penduduk sipil (perempuan, laki-laki tua dan anak-anak), yang tidak
terlibat dalam perang sebagai sasaran penembakan dan seharusnya wajib untuk
mendapatkan perlindungan dari pihak yang bersengketa.
b)
Melanggar Protokol Tambahan I 1977, yang merupakan tindak
lanjut dari Konvensi Jenewa 1949, yaitu :
(1) Melanggar pasal 50, 51 dan 56 Tidak menempatkan
orang atau obyek yang yang tidak berbahaya sebagai mestinya.
(2) Telah menggunakan senjata serta cara-cara
membunuh yang mengakibatkan luka yang berlebihan dan atau penderitaan
yang tidak perlu, hal ini melanggar ketentuan larangan-larangan yang berlaku
dalam sengketa bersenjata.
(3) Tidak memberlakukan orang yang dianggap musuh
dan atau musuh yang sudah menyerah secara baik dan telah dijadikan sebagai
sasaran serangan, hal ini melanggar ketentuan larangan-larangan yang berlaku
dalam sengketa bersenjata.
d.
Pelanggaran yang dilakukan anak buah.
Pertanggung jawaban komando di dalam Hukum Humaniter
Internasional, selain melibatkan atasan, maka yang menjadi bagian rantai
komando adalah juga anak buah / bawahan langsung yang melakukan pembunuhan /
pelanggaran :
Melanggar
Azas Hukum Humaniter (Humanity) yaitu Azas Perikemanusiaan, Konvensi
Jenewa IV tahun 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 (anak buah melakukan tindakan
yang sama dengan apa yang dilakuakn oleh Danton-nya (Letnan Wlliam Calley)
Dari uraian analisa yang sudah dijelaskan diatas,
maka para komandan yang berkaitan dengan pembantaian di My Lai telah melakukan
pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus 194910
antara lain :
a. Pembunuhan yang disengaja;
b. Penganiayaan atau tindakan yang merendahkan
martabat manusia, termasuk percobaan-percobaan biologi, dengan sengaja
mengkibatkan penderitaan hebat;
c. Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas
yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan kepentingan militer dan dilakukan
secara tidak sah dan dengan semena-mena;
d. Memaksa tawanan perang untuk mengabdi pada Penguasa
Perang;
e. Dengan sengaja menghilangkan hak-hak tawanan
perang atas peradilan yang jujur dan teratur sebagaimana ditegaskan dalam
Konvensi Jenewa III;
f. Memindahkan atau menstransfer penduduk dengan
paksa;
g. Menjatuhkan hukum kurungan;
h. Melakukan penyanderaan
Selain
melanggar Konvensi Jenewa 1949, para komandan tersebut, juga telah melakukan
tindakan pelanggaran berat menurut Protocol I 1977 adalah sebagai berikut :
a. Menjadikan penduduk sipil atau orang sipil
sebagai sasaran;
b. Serangan membabi buta yang menimbulkan kerugian
yang besar pada sipil atau obyek-obyek sipil;
c. Menjadikan daerah-daerah yang tidak dipertahankan
atau demiliterised zone sebagai sasaran serangan;
d. Menjadikan seseorang yang tak berdaya sebagai
sasaran serangan;
e. Menyalahgunakan lambang-lambang perlindungan
seperti lambang Palang Merah Internasional dan lambang-lambang lainnya yang
diakui oleh Konvensi-konvensi Jenewa dan protokolnya.
2. Faktor Yang Mempengaruhi
Terjadinya pelanggaran hukum humaniter pada
waktu pembantaian di My Lai yang dilakukan oleh pasukan Amerika, yang mengarah
pada katagori kejahatan perang dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu :
a. Berlarut – larutnya perang Vietnam yang
berlangsung selama 18 tahun yang dimulai tahun 1957 s.d tahun 1975 dan terus
bertambahnya korban dari pihak Vietnam dan Amerika.
b. Adanya unsur keterpaksaan menjadi wajib
militer di pihak Amerika sehingga mempengaruhi mental bertempur.
c. Ada sebagian perwira baru Amerika yang mempunyai
latar belakang pendidikannya rendah seperti Letnan William Calley yang berasal
dari komuniti pengangguran dan putus sekolah diperguruan tinggi sehingga
mempengaruhi perilaku kepemimpinan.
d. Para komandan pasukan Amerika di lapangan tidak
menganalisa keakuratan data intelijen.
e. Kebiasaan rotasi penugasan bagi pasukan Amerika
yang bertugas di Vietnam adalah 1 tahun, namun kebijakan ini tidak dipenuhi,
karena banyak prajurit Amerika yang baru bertugas beberapa bulan sudah
di-rotasi kembali ke Amerika sehingga mengakibatkan kurangnya pengalaman.
f. Banyak prajurit Amerika yang tidak saling
mengenal diantara kelompoknya (Kompi, peleton) sehingga sangat mempengaruhi
pergaulan dan bekerja sama dalam bertempur.
3. Keakuratan Data Intelijen Dengan Fakta Di Lapangan
Informasi Intelijen yang menyatakan bahwa ada
sekitar 200 gerilyawan FNPV berlindung di desa Son My adalah tidak
terbukti. Ada beberapa kemungkinan hal tersebut bisa terjadi :
a. Informasi intelijen tersebut benar, karena memang
diakui oleh pasukan Amerika bahwa para gerilyawan FNPV sangat pandai
menghindari kepungan pasukan Amerika ditambah lagi dengan kurang pengalamannya
pasukan Amerika.
b. Informasi tersebut kurang akurat, kemungkinan
hanya sebagai cara dari komando atas pihak Amerika untuk meningkatkan kesiagaan
pasukannya.
4. Hal-hal yang positif.
a. Sikap Hug Thomson sebagai pilot Helly
mengutamakan azas Perikemanusiaan (Humanity) dalam pertempuran yang
menolong dan mengevakuasi penduduk sipil untuk dibawa ke rumah sakit.
b. Bila ditinjau dari perspektif azas – azas hukum
hukmaniter yaitu Azas Kesatriaan (Chivalry) maka sikap perwira muda
Amerika yaitu Tom Glen dan Ron Ridenhour yang menulis surat kepada presiden
Nixon untuk melaporkan peristiwa pembantaian di My Lai sangat terpuji.
5. Hal-hal yang negatif.
a. Bila ditinjau dari perspektif
azas – azas kerahasiaan sebagai prajurit militer maka sikap perwira
muda Amerika yaitu Tom Glen dan Ron Ridenhour yang menulis surat kepada presiden
Nixon untuk melaporkan peristiwa pembantaian di My Lai sangat terpuji adalah
sangat tidak proporsional.
b. Bila ditinjau dari aspek profesionalitas,
maka percepatan rotasi penugasan bagi prajurit Amerika yang bertugas di
medan tempur sangat mempengaruhi pengalaman prajuritnya.
c. Letkol Fank Barker selaku Komandan GT
tidak mengikuti secara langsung untuk mengikuti manuver
pasukannya dalam beroperasi.
d. Informasi intelijen yang diberikan kepada pasukan
yang akan beroperasi kurang akurat.
e. Kapten Ernes Medina, sebagai Komandan Kompi tidak
mencegah terjadinya pembantaian, tidak menyebarluaskan Hukum Humaniter
dan tidak mengambil tindakan terhadap pelanggaran Hukum Humaniter.
f. Letnan William Calley tidak mencegah
terjadinya pelanggaran hukum humaniter tetapi justru turut serta dalam
pembantaian dengan cara menembakai penduduk sipil.
BAB IV MANFAAT BAGI TNI
1. Aspek Edukatif.
a. Sikap pilot Amerika yaitu Hug Thomson yang
mengutamakan Azas Kemanusiaan (Humanity) dalam bertempur yang melaksanakan
penyelamatan dan evakuasi penduduk sipil, perlu dicontoh dan ditauladani oleh
prajurit TNI.
b. Komandan Task Force / Gugus Tugas tidak terjun
langsung bersama anak buahnya untuk bertempur sehingga sangat mempengaruhi
manuver dan keputusan yang diambil oleh anak buahnya. Tindakan tersebut
sebagai pelajaran untuk tidak dicontoh oleh perwira TNI.
2. Aspek Instruktif.
a. anyaknya pelanggaran hukum humaniter yang
dilakukan oleh pasukan Amerika pada pembantaian di My Lai dikarenakan tidak
disosialisasikan hukum humaniter itu sendiri. Untuk
menghindari hal serupa, maka prajurit TNI selain perlu dibekali tentang hukum
humaniter untuk menghadapi tugas operasi militer untuk perang (OMP)
tetapi juga perlu dibekali tentang Hak Asasi Manusia secara
periodik / berkala dalam keadaan damai untuk menghadapi operasi militer selain
perang.
b. Sikap dari komandan pasukan Amerika di lapangan
yang membesar – besarkan jumlah korban yang tewas untuk di laporkan kepada
Komando Atas dengan tujuan sebagai skenario keberhasilan membunuh musuhnya
(Gerilyawan FNPV) adalah sebagai sikap Asal Bapak Senang (ABS). Sikap tersebut
perlu dihindari oleh perwira TNI dalam kehidupan berdinas dan bekerja di
lingkungan TNI.
3. Aspek Inspiratif.
a. Kebiasaan pasukan Amerika ditugaskan selama 1
tahun di medan tempur, khususnya pada perang Vietnam adalah sangat mempengaruhi
kesejahteraan prajurit., karena kesejahteraan bagi insan manusia adalah bukan
saja dalam bentuk materi tetapi juga kesejahteraan rokhani / bathin.
b. Pihak pasukan Amerika mengakui kesulitan untuk
membedakan antara gerilyawan FNPV dengan penduduk sipil, karena gerilyawan
tersebut sering membaur dengan penduduk sipil. Hal ini bisa dikembangkan oleh
TNI AL dan diaplikasikan di wilayah perairan Indonesia yang bertebaran
pulau – pulau, bagaimana caranya mengembangkan perang gerilya di laut dengan
memanfaatkan pulau – pulau tersebut.
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan.
a. Tindakan yang diambil oleh Letnan William Calley
merupakan tindakan yang melanggar hukum humaniter intenasional dan merupakan
kejahatan perang.
b. Tindakan pelanggaran hukum humaniter dalam
medan tempur yang dilakukan oleh anak buah, bukan saja tanggung
jawab yang bersangkutan, tetapi juga menjadi tanggung jawab atasannya sebagai
tanggung jawab komando.
c. Azas Kemanusiaan (Humanity) sangat dibutuhkan dan
harus dipahami oleh prajurit TNI, tidak saja pada waktu damai tetapi juga
dibutuhkan dalam keadaan perang.
d. Pembekalan dan sosialisasi tentang hukum
humaniter bagi prajurit TNI adalah merupakan suatu kebutuhan dan tuntutan guna
menghadapi operasi militer untuk perang (OMP).
Asas-asas Hukum Humaniter Internasional
In Introduction to IHL on November
15, 2008 at 6:43 pm
Oleh :
Arlina Permanasari
Hukum
Humaniter atau dikenal juga dengan nama Hukum
Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata, mengandung
asas-asas pokok yaitu asas kepentingan militer (military
necessity), asas perikemanusiaan (humanity)
dan asas kesatriaan (chivalry).
Ketiga asas ini selalu melandasi aturan-aturan yang terdapat di dalam hukum
humaniter.
Seorang ahli bernama Kunz menyatakan bahwa “laws
of war, to be accepted and to be applied in practice, must strike the connect
balance between, on the one hand, the principle of humanity and chivalry; and
the other hand, military interest“.[1]
Jadi, walaupun Hukum Humaniter mengatur peperangan
itu sendiri akan tetapi pengaturannya tidak dapat hanya semata-mata
mengakomodir asas kepentingan militer dari pihak yang bersengketa saja,
melainkan pula harus mempertimbangkan ke dua asas lainnya. Demikian pula
sebaliknya, aturan-aturan Hukum Perang tidak mungkin hanya mempertimbangkan
aspek kemanusiaan dari peperangan itu tanpa mempedulikan aspek-aspek operasi
militer. Tanpa adanya keseimbangan dari ke tiga asas-asas ini, maka mustahil
akan terbentuk aturan-aturan mengenai Hukum Perang.
Berikut ini akan dijelaskan masing-masing asas
tersebut :
A.
Asas Kepentingan Militer (Military Necessity)
Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang
bersengketa (belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap
tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun
sekaligus tidak melanggar hukum perang.[2]
Asas kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya
sering pula dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip pembatasan (limitation
principle) dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle).
a. Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)
Prinsip
pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap
sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak
yang bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata
beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan
suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous
injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering);
dan lain-lain.
Pada ilustrasi di samping, penggunaan tank untuk
menghancurkan sasaran militer diperbolehkan, karena merupakan senjata yang
biasa dipakai atau senjata konvensional; sedangkan penggunaan racun, senjata
beracun (kimia) pada latar belakang gambar [termasuk senjata biologi atau
nuklir (senjata non-konvensional)] tidak dapat dibenarkan karena sifatnya yang
dapat mengakibatkan kemusnahan secara massal tanpa dapat membedakan antara
objek sipil dan sasaran militer.
b. Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle)
Adapun
prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh
penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsional sifatnya dan tidak
berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan
langsung yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya serangan
terhadap sasaran militer. Perlu ditegaskan bahwa maksud proporsional di
sini BUKAN berarti keseimbangan.
Ilustrasi di samping dapat menggambarkan prinsip
ini, di mana untuk mengancurkan dua orang musuh yang membawa senapan mesin,
maka tidak perlu dikerahkan satu divisi kavaleri berupa tank-tank, karena hal
tersebut tidak hanya dapat mematikan ke dua musuh tersebut, namun sekaligus
juga dapat menghancurkan penduduk sipil dan objek-objek sipil di sekitarnya.
Prinsip pembatasan dicantumkan di dalam Pasal 22 dan
23 Hague Regulations (Lampiran dari Konvensi Den Haag IV,
1907, atau Regulasi Den Haag), yang berbunyi “the
rights of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not
unlimited” atau hak dari Belligerents dalam menggunakan alat untuk melukai
musuh adalah tidak tak terbatas (jadi maksudnya =terbatas). Adapun
batasan-batasan tersebut, termasuk ke dalamnya penjabaran prinsip
proporsionalitas, dicantumkan lebih lanjut secara rinci di dalam Pasal 23.
B.
Asas Kemanusiaan (Humanity)
Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa
diharuskan untuk memperhatikan asas-asas kemanusiaan, di mana mereka dilarang
untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan
atau penderitaan yang tidak perlu, [3] sebagaimana tercantum di dalam Pasal 23
ayat(e).
Berperang memerlukan persenjataan, itu sudah pasti.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana “menggunakannya secara manusiawi”. Pasti
mungkin kita akan protes, bagaimana bisa?? Penggunaan senjata sudah pasti tidak
manusiawi, senjata sudah tentu menimbulkan luka dan menyebabkan kematian.
Lantas, apa yang dimaksud dengan Pasal ini?
Nah, itu tiada lain disebabkan adanya asas
kemanusiaan (humanity) yang menjadi landasan pembentukan ketentuan
tersebut. Memang dalam peperangan, keterpaksaan untuk melakukan
melukai musuh atau melakukan pembunuhan menjadi sesuatu yang SAH secara hukum
apabila dilakukan oleh orang yang berhak untuk ikut serta dalam pertempuran
(yakni kombatan) dan ditujukan kepada suatu sasaran yang memang merupakan
sasaran militer (military objectives). Jika seorang prajurit dalam
peperangan membunuh tentara musuh di medan pertempuran dengan M-16, maka itu
adalah hal yang biasa. Akan tetapi, jika ia memakai M-16 berisi peluru “yang
dikikir ujungnya”, maka cara tersebut akan dianggap sebagai pelanggaran Hukum
Perang. Mengapa? bukankah musuhnya toh mati juga? (baca : korban tidak akan
merasakan bedanya ditembak dengan peluru yang dikikir/tidak dikikir).
(1) contoh peluru dumdum
Nah, disinilah letak perlunya asas kemanusiaan di
dalam melakukan metode berperang, yaitu tetap memperlakukan manusia secara
manusiawi baik ketika peperangan berlangsung, dan bahkan setelah suatu pihak
menjadi korban. Perlu ditegaskan bahwa penggunaan peluru yang “dikikir
ujungnya”, akan menimbulkan efek ‘melebar’ di dalam tubuh sehingga
mengakibatkan luka sobekan yang tidak beraturan dan mengakibatkan hancurnya
jaringan tubuh manusia. Peluru yang demikian
(2) Peluru biasa & peluru dumdum
disebut pula “peluru dum-dum” (dum-dum bullets; karena
diproduksi pertama kali di kota Dumdum, dekat Kalkuta, India), atau “peluru
yang memiliki efek mengembang dalam tubuh” (expanding bullets),
sehingga Hukum Humaniter sudah melarang penggunaan peluru jenis ini dalam Deklarasi III tahun
1809. Itulah sebabnya, Regulasi Den Haag melarang penggunaan alat dan cara
berperang yang dapat menimbulkan ‘luka-luka yang berlebihan’ dan ‘penderitaan
yang tidak perlu’. Jika membunuh dengan peluru biasa dapat mengakibatkan
kematian seorang musuh; maka mengapa pula harus mengkikirnya sehingga jasad
korban menjadi hancur dan tidak dapat dikenali? Itulah penderitaan yang tidak
perlu…
(Insya Allah akan disampaikan pula penjelasan
mengenai ‘expanding bullet’ / ‘dum-dum bullet’ pada kategori lainnya).
C.
Asas Ksatriaan (Chivalry)
Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu
peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau
bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat
khianat dilarang.[4]
Asas kesatriaan tergambar di dalam hampir semua
ketentuan Hukum Humaniter. Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag III
(1907) mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities).
Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak akan
dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya (previous and
explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang (declaration of
war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum
with conditional declaration of war).
Nah, tentu secara logika aturan ini rasanya tidak
masuk akal. Bukankah kelihatannya suatu pihak dapat memenangkan peperangan jika
ia menyerang secara diam-diam ketika pihak musuh lengah atau secara mendadak
tanpa pemberitahuan lebih dahulu? Namun pada kenyataannya, aturan Hukum
Humaniter justru menentukan sebaliknya. Hal ini tidak lain adalah refleksi dari
asas kesatriaan yang tercermin di dalam Konvensi Den Haag III.
Contoh lain dapat dilihat pada ketentuan Pasal 23
Lampiran Konvensi Den Haag IV yang disebut juga Regulasi Den Haag (Hague
Regulations). Kita ambil salah satu contoh saja, yaitu Pasal 23 ayat(c)
yang menetapkan bahwa seorang kombatan dari pihak negara yang bersengketa
dilarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah, atau yang tidak mampu
melakukan perlawanan lagi.
Ketentuan ayat di atas, jika diperhatikan selintas,
juga rasanya tidak masuk akal. Bukankah lebih mudah untuk memenangkan pertempuran
jika pihak musuh dibunuh, dilukai atau dibuat ‘tidak berdaya’ selagi ia
menyerah atau tak mampu lagi bertempur? Namun, ternyata aturan Hukum Humaniter
menentukan sebaliknya.
Oleh karena itu, seandainya saja tidak diterapkan
asas kesatriaan dalam pembentukan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter, maka sudah
hampir pasti peperangan akan berlangsung dengan sangat brutal dan keji. Jika
sudah ada aturannya saja perang masih menyisakan kekejian, maka … bagaimanakah
pula jadinya jika perang berlangsung tanpa aturan…?
Sumber :
[1]Kunz, Joseph, The Changing Law of National, 1968, hal 873, sebagaimana dikutip dalam Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 34.
[2]Dictionary of Military and Associated Terms, US Department of Defence, 2005, dapat diakses pada http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.htm
[3]Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 11.
[4] Ibid.
[1]Kunz, Joseph, The Changing Law of National, 1968, hal 873, sebagaimana dikutip dalam Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 34.
[2]Dictionary of Military and Associated Terms, US Department of Defence, 2005, dapat diakses pada http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.htm
[3]Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 11.
[4] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar