Senin, 07 November 2011


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hakim dalam memeriksa setiap perkara harus sampai kepada putusannya, walaupun kebenaran peristiwa yang dicari itu belum tentu ditemukan.Benar tidaknya sesuatu peristiwa yang disengketakan sangat bergantung kepada hasilpembuktian yang dilakukan para pihak di persidangan.Oleh karena itu kebenaran yang dicari didalam hukum acara perdata sifatnya relatif.
Pembuktian dalam arti yuridis tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaranyang mutlak. Hal ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa pengakuan,kesaksian,atau surat-surat, yang diajukan para pihak yang bersengketa kemungkinan tidak benar, palsu atau dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa setiap perkarayang diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat diterima kedua belah pihak.Berkaitan dengan masalah pembuktian ini, Sudikno Mertokusumo, mengemukakan antara lain: Pada hakikatnya membuktikan dalam arti yuridis berarti memberidasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan oleh para pihak di persidangan.Memberikan dasar yang cukup kepada hakim berarti memberikan landasan yang benar bagi kesimpulan yang kelak akan diambil oleh hakim setelah keseluruhan proses pemeriksaan selesai. Maka putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim diharapkan akan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya telah terjadi.
Di dalam hukum acara perdata, kepastian akan kebenaran peristiwa yang diajukan di persidangan itu sangat tergantung kepada pembuktian yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan. Sebagai konsekuensinya bahwa kebenaran itu baru dikatakan ada atau tercapai apabila terdapat kesesuaian antara kesimpulan hakim (hasil proses) dengan peristiwa yang telah terjadi. Sedangkan apabila yang terjadi justru sebaliknya, berarti kebenaran itu tidak tercapai.Setelah pemeriksaan suatu perkara di persidangan dianggap selesai dan para pihak tidak mengajukan bukti-bukti lain, maka hakim akan memberikan putusannya.
Putusan yang dijatuhkan itu diupayakan agar tepat dan tuntas. Secara objektif putusan yang tepat dan tuntas berarti bahwa putusan tersebut akan dapat diterima tidak hanya oleh penggugat akan atetapi juga oleh tergugat. Putusan pengadilan semacam itu penting sekali, terutama demi pembinaan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan. Oleh karena itu hakim dalam menjatuhkan putusan akan selalu berusaha agar putusannya kelak seberapa mungkin dapat diterima oleh masyarakat, dan akan berusaha agar lingkungan orang yang akan dapat menerima putusannya itu seluas mungkin.
Apabila harapan itu terpenuhi, maka dapat diketahui dari indikatornya antara lain masing-masing pihak menerima putusan tersebut dengan senang hati dan tidak menggunakan upaya hukum selanjutnya (banding maupun kasasi). Seandainya mereka masih menggunakan upaya-upaya hukum banding dan kasasi, itu berarti mereka masih belum dapat menerima putusan tersebut secara suka rela sepenuhnya.Digunakannya hak-hak para pihak berupa upaya hukum banding dan kasasi,bukan berarti bahwa putusan peradilan tingkat pertama itu keliru. Secara yuridis,setiap putusan itu harus dianggap benar sebelum ada pembatalan oleh pengadilanyang lebih tinggi (asas res judicata pro veritate habetur). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin adanya kepastian hukum, bukan berarti kebenaranperistiwa yang bersangkutan telah tercapai dan persengketaan telah terselesaikan sepenuhnya dengan sempurna.
 Akan tetapi secara formal harus diterima bahwa dengan dijatuhkannya suatu putusan oleh hakim atas suatu sengketa tertentu antara para pihak, berarti untuk sementara sengketa yang bersangkutan telah selesai. Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa di dalam proses perkara perdata dipersidangan yang dicari oleh hakim adalah kebenaran peristiwa yang ditemukan para 3 pihak yang bersangkutan. Untuk merealisasikan hal tersebut, hakim tidak bolehmengabaikan apapun yang ditemukan para pihak yang berperkara. Dalam kondisi seperti ini nyata sekali bahwa dalam perkara perdata hakim bersifat pasif. Artinya ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim.
Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasisegala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,cepat,dan biaya ringan.3Hakim dalam mengadili sengketa, hanya memeriksa apa yang ditemukan para pihak sebagai usaha membenarkan dalil gugatan atau bantahannya. Inisiatif beracara datangnya dari para pihak yang bersangkutan. Hakim hanya mempunyai kebebasan untuk menilai sejauhmana yang dituntut oleh pihak-pihak tersebut. Akan tetapi sudah barang tentu hakim tidak semata-mata bergantung kepada apa yang dikemukakan para pihak, akan tetapi hakim mempunyai kewajiban untuk menilai sejauhmana kebenaran peristiwa-peristiwa itu, sehingga apa yang dikemukakan para pihak tersebut akan dapat membentu hakim untuk memberikan pertimbangan dalam menjatuhkan putusannya.
I.2  Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan di atas dapat diajukan dua rumusan masalah sebagai berikut;
1.   Bagaimanakah aspek hukum yang mengatur mengenai system pembuktian dalam hukum acara perdata .
2.   Upaya apakah yang dapat dilakukan dalam peranannya dalam alat bukti pengakuan.

I.3 Tujuan Penelitian
            Sesuai dengan pokok masalah yang telah dirumuskan diatas,maka dapat sisampaikan tujuan dari pembuatan paper ini yaitu :
·         Tujuan Umum
1.   untuk mengetahui apa sajakah yang dianut dan wajib diketahui dalam melakukan suatu penyelidikan.
2.   untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang dilakukan untuk melakukan pembuktian
·         Tujuan Khusus
            Untuk melatih mahasiswa menyatakan pikiran ilmiahnya secara tertulis



I.4 Manfaat
Dari hasil pembuatan paper ini,diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis yaitu :
1.   Manfaat Teoritis
Paper ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk pengembangan hukum secara umum,khususnya mengenai alat bukti pengakuan dalam hukum acara perdata.
2.   manfaat praktis
Secara praktis,diharapkan dapt dipakai sebagi bahan pertimbangan bagi penyidik dalam melakukan tugasnya sehingga tidak adanya kesalahan dalam melakukan suatu penyelidikan.

I.5 Metode Penelitian
            Sesuai dengan latar belakan dan tujuannya.penulisan paper ini berkaitan dengan nilai dan tanggung jawab yang dimiliki oleh penyidik dalam melakukan penyelidikan dengan alat – alat bukti yang dapat dipertangguang jawabkan kebenarannya diantarannya :
1.      Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam paper ini  adalah pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka peraturan perundang-undangan dan pendapat para sarjana hukum.
     
2.   Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum sekunder yang dipergunakan adalah pendapat para sarjana,bahan-bahan pustaka,literatur-literatur yang berkaitan dengan alat bukti dalam hukum acara perdata,serta bahan-bahan dari internet.

                  3.   teknik pengumpulan bahan hukum
            Bahan hukum yang diperoleh,diinverintarisasi dan diidentifikikasi sesui kebutuhan penulisan unutk digunakan sesuai kebutuhan analisis pokok masalah penulisan.
            Inventarisasi dan identifikasi bahan hukum diberlaukan berdasarkan bahan hukum yang berasal dari peraturan perindang-undangan dan dikumpulkan dengan melakukan penelusuran atau penemuan melalui daftar petunjuk peraturan perundang – undangan.

4.   Teknik pengolahan bahan hukum
            Pengolah banhan hukum dengan cara :
v   Mengklasifikasikan bahan hukum primer agar lebih mudah untuk memilih dan menyatakan sesuai dengan hakekat jenis dan sumber hukumnya.
v   Melakukan sistemasi bahan hukum untuk mendistribusikan dan menganalisis isi dan setruktur bahan hukum baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

5.      Analisis bahan hukum
            Sitelah diolah,dilanjutkan dengan menganalisis bahan hukum yang dilakukan secara deskriptif dengan metode deduktif.










BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata

Peradilan memiliki fungsi yang cukup penting di dalam masyarakat.Fungsi tersebut antara lain dalam rangka membantu menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang timbul akibat benturan kepentingan anggota masyarakat satu sama lain. Oleh karena itu eksistensi perangkat hukum acara perdata yang memadai sesuai perkembangan masyarakat dengan segala macam kompleksitasnya sangat diperlukan.Adalah suatu kenyataan bahwa hukum acara perdata positip yang dinyatakan secara resmi berlaku berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 19 Tahun 1964 dan Nomor 3 tahun 1965 adalah "het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)"4 untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura 3 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970. 4 S. 1848 Nomor 16, S. 1941 Nomor 44.
Kecuali dua ketentuan diatas, Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,memuat juga beberapa ketentuan tentang hukum acara perdata. Selebihnya peraturanhukum acara perdata tersebar pula di laman BW, WvK, dan Peraturan Kepailitan.Keseluruhan ketentuan hukum acara perdata tersebut merupakan suatusistem yang terdiri atas sub-sub sistem. Salah satu dari sub sistem itu adalah sub sistem pembuktian. Untuk lebih memahami tentang sistem hukum acara perdata tersebut, terlebih dahulu perlu diketahui tentang apa yang dimaksud dengan sistem itu sendiri.R. Subekti mengemukakan, bahwa sistem adalah suatu susunan yang teratur yang merupakan keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian (sub-sub) yang satu sama lain saling kait-mengkait, dan tidak boleh terjadi suatu tumpang tindih antara bagian-bagian itu dan tersusun menurut suatu pemikiran tertentu untuk mencapai tujuan. Hukum sebagai suatu sistem merupakan suatu kesatuan yang bulat, yang di dalamnya tidak dikehendaki adanya pertentangan.
Apabila ternyata terjadi suatu pertentangan maka akan diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri. Sebagai suatu sistem, hukum juga memiliki sub-sub sistem di dalamnya, masing-masing sub sistem itu saling membantu untuk menyempurnakan kekurangan yang terdapat  di dalamnya.Hukum acara perdata sebagai salah satu sistem bertujuan untuk menyelesaikan pertentangan kepentingan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu maka sub sistem pembuktian merupakan keseluruhan ketentuan tentang pembuktian yang tersusun secara teratur yang satu sama lain saling kait mengkait,dan bertujuan untuk dapat menentukan terbukti tidaknya suatu peristiwa tertentu yang dikemukakan oleh para pihak di persidangan. Di dalam hukum acara perdata dikenal beberapa sistem beracara yaitu sebagai berikut:

2.2 Sistem berbicara secara langsung dan tidak langsung
Sistem beracara secara langsung artinya para pihak langsung menghadap sendiri di persidangan tanpa mewakilkan kepada kuasa atau pengacara. Di dalam sistem semacam ini hakim langsung berhadapan dan mendengar pihak-pihak itu sendiri. Oleh karena itu hakim akan dapat memperoleh keterangan-keterangan secara langsung, sebab para pihak menghadap sendiri di persidangan. Para pihak yang bersengketa secara langsung pula akan membuktikan kebenaran dalil-dalil yang mereka kemukakan, baik dengan mengajukan suratsurat,saksi-saksi, pengakuan, maupun sumpah. Jadi hakim dapat melakukan pengawasan secara langsung kepada para pihak, sehingga kemungkinan para pihak untuk mengemukakan sesuatu yang tidak benar sedapat mungkin akan diminimalkan.
 Hal ini disebabkan hakim dapat mengetahui keadaan para pihak yang berperkara atau para saksi yang memberikan keterangan.Sedangkan sistem beracara secara tidak langsung adalah suatu sistem yang para pihak bersengketanya mewakilkan kepada kuasa atau pengacara. Konsekuensi logis dari sistem ini antara lain para pihak tidak langsung berhadapan dengan hakim yang memeriksa sengketa mereka. Pemeriksaan perkara dalam sistem ini berlangsung secara tertulis. Akibatnya di dalam sistem ini hakim mencari kebenaran peristiwa itu melalui kuasa atau pengacara para pihak. Sistem tidak langsung ini mengandung cukup risiko, terutama bagi pihak - pihak yang diwakili. Ini disebabkan antara lain karena pada dasarnya seorang kuasa atau pengacara acapkali kurang mendalami peristiwa yang menjadi sengketa secara terinci. Oleh karena itu para kuasa atau pengacara umumnya hanya akan menyampaikan sesuatu berdasarkan pada keterangan yang mereka peroleh atau nketahui dari para pihak yang bersangkutan.Dalam kaitan dengan sistem beracara secara tidak langsung di atas, Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan, antara lain sebagai berikut:bahwa dengan adanya wakil dari pihak-pihak yang berperkara, hakim tidak dapat berhadapan langsung dengan orang-orang yang berkepentingan sendiri. Ini mungkin mengakibatkan bahwa hakim tidak mendapat kesempatan untuk merasakan betul kebutuhan orang-orang itu

2.3  Sistem Pemeriksaan Perkara dalam Ruang Sidang

Dalam hukum acara perdata pada prinsipnya pemeriksaan perkara dilakukan dalam suatu ruang sidang yang khusus ditentukan untuk itu. Sidang itu pun harus dinyatakan terbuka untuk umum,8 kecuali undang-undang melarangnya. Sifat terbukanya sidang untuk umum ini merupakan syarat mutlak, namun ada pembatasannya yaitu apabila undang-undang menentukan lain atau berdasarkan alasan penting menurut hakim yang dimuat dalam berita acara atas perintahnya.R.Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia. Bandung: Sumurbandung, 1978,hlm. 30. 8 Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 14 tahun 1970. 9 Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970, dan pasal 29 Reglement op de Rechterlijke Organisatie in het beleid der Justitie in Indonnesie (RO) S. 1847 Nomor 23. Jika demikian maka pemeriksaan perkara akan dilakukan dengan pintu tertutup.
 Ketentuan terbukanya sidang untuk umum itu antara lain dimaksudkan untuk menjaga objektivitas pemeriksaan perkara yang bersangkutan. Sistem itu sesungguhnya dapat mengakibatkan lambatnya proses pemeriksaan perkara di persidangan. Keterlambatan itu sangat mungkin terjadi disebabkan oleh berbagai faktor. Dapat terjadi karena adanya oknum hakim atau para pihak sendiri yang karena si kapnya kemudian berakibat proses pemenyelesaian perkara menjadi lambat. Hal itu dapat terjadi oleh karena semua kegiatan, seperti: mengajukan gugatan, jawaban, replik, duplik, pemeriksaan alat-alat bukti, saksi-saksi, dan sebagainya, semuanya harus dilakukan dan diperiksa di dalam suatu sidang yang khusus diadakan untuk itu.
Kenyataannya hal itu sulit untuk dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat.Pada kesempatan sidang pertama, hakim akan menawarkan dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berdamai.Apabila usaha perdamaian itu berhasil, maka hakim akan menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk), yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang telah dibuat antara mereka.Akte tersebut memiliki kekuatan seperti putusan hakim biasa.Akibatnya maka akte tersebut berlaku sebagai penyelesaian perselisihan.Sebaliknya jika keadaannya malah berlarut-larut, ditambah lagi kedua belah pihak menunjukkan kesan seolah-olah tidak beriktikad baik, maka akan memperlambat proses pemeriksaan sengketa. Akibat dari keadaan tersebut tidak jarang malahan setelah diupayakan berkali-kali untuk berdamai, ternyata perdamaian pun tidak berhasil. Apabila pada kesempatan sidang pertama kedua belah pihak tidak
mau berdamai, maka perkaranya akan mulai diperiksa. Pada saat itu juga kepada penggugat diberikan kesempatan untuk membacakan gugatannya. Setelah itu,tergugat dapat meminta waktu untuk mempelajari gugatan dan memberikanjawabannya pada kesempatan sidang berikutnya. Sidang dapat tertunda atau sengaja10 Pasal 130 HIR, pasal 154 Rbg. Lihat pula pasal 39 UU Nomor 1 tahun 1974. Bandingkan SudiknoMertokusumo, Op. cit,. halaman 84; Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teoridan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 1995, halaman 35-37.
11 Sudikno Mertokusumo, Op. cit., halaman 84.diundur jika salah satu dari para pihak atau bahkan hakimnya sendiri berhalangan hadir pada kesempatan hari sidang yang telah ditentukan.Perancis adalah salah satu negara yang dikenal memiliki manajemen pengadilan yang relatif baik, sehingga kelambatan jalannya persidangan pengadilan dapat dikurangi.
Caranya antara lain dengan menunjuk seorang hakim yang sebelum perkara disidangkan diberi tugas khusus mengumpulkan gugatan-gugatan, jawaban gugatan, replik, duplik, memeriksa surat-surat bukti, dan saksi-saksi kalau diperlukan, dan sebagainya.Menurut sistem tersebut perkara-perkara perdata tidak langsung disidangkan,melainkan diproses terlebih dahulu oleh seorang hakim yang ditunjuk untuk itu.Setelah segala sesuatunya dianggap rampung, maka hakim ini menyatakan bahwapemeriksaan telah selesai, lalu mengirimkan berkasnya kepada ketua majelis yang akan menyidangkannya.
Semua pekerjaan itu dilakukan oleh hakim tersebut didalam ruang kerjanya dengan dibantu oleh seorang panitera, sudah tentu denganbatas waktu maksimum yang ditetapkan oleh hakim itu sendiri demi kecepatan persidangan.Akan tetapi dalam visi L.O. Siahaan, tampak ada kehawatiran jika sistem diPerancis diterapkan pada sistem peradilan di Indonesia. Menurutnya, kita harus berfikir dua kali, oleh karena bahayanya dari sistem tersebut adalah bahwa hakimhakim dapat menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan kepadanya dengan jalan memanipulasi perkara-perkara yang bersangkutan.
Kebebasan yang diberikan kepada seseorang hakim untuk mengolah perkara tersebut sebelum sampai ke persidangan, justru dapat menciptakan peluang untuk mengulur waktu serta mempermainkan para pihak supaya maksudnya tercapai. Akibat yang akan terjadi malahan sebaliknya, yaitu bukan semakin cepat, melainkan semakin lambat dan bertele-tele, sehingga kemungkinan akan membosankan dan menjengkelkan pihak-pihak yang berperkara.Atas dasar pertimbangan baik dan buruknya sistem yang dianut di Perancistersebut, maka seyogianya dipertimbangkan lebih matang lagi untuk meniru sistem tersebut.
Yang paling baik bagi keadaan di Indonesia adalah menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim untuk menentukan tentang apa dan bagaimana yang menurut pertimbangannya dapat mempercepat proses pemeriksaan.Sebagai contoh umpamanya, dalam hal-hal yang berkaitan dengan penyerahan jawaban gugatan, replik, duplik, dan penyerahan bukti-bukti surat saja yang dapat disidangkan dalam ruang kerja para hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
 Sedangkan pemeriksaan saksi-saksi, alat-alat bukti, serta putusannya sendiri haruslah dalam suatu sidang yang khusus ditentukan untuk itu. Apabila sistem yang demikian itu yang dianut, maka hakim tidak mudah untuk dapat melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Hal itu kiranya dapat menjadi salah satu usaha untuk merealisasikan cita-cita peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, sebagaimana dituangkan dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor14 tahun 1970.

2.4  Sistem Peradilan dua Tingkat

Sistem peradilan dua tingkat adalah sistem yang terdiri atas pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama (original jurisdiction) dan pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat banding (appellate jurisdiction). Pada tingkat pertama, pengadilan negeri menerima surat gugatan, mendamaikan, menerima jawaban gugatan, replik, duplik, memeriksa alat-alat bukti,dan menjatuhkan putusan.Pengadilan tingkat pertama ini disebut juga sebagai pengadilan judex factie karena berurusan dengan fakta-fakta. Sedangkan pada pengadilan tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua dan terakhir, perkara diperiksa secara keseluruhan, baik dari segi peristiwanya maupun segi hukumnya. Pemeriksaan ulang tersebut dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Permohonan pemeriksaan ulang dapat dimintakan baik oleh pihak yang kalah maupun oleh pihak yang dimenangkan. Akan tetapi biasanya yang menggunakan upaya hukum banding sebagai upaya pemeriksaan ulangan adalah pihak yang dikalahkan dipersidangan. Namun bukan sesuatu yang tidak mungkin bahwa pihak yang dimenangkan pun masih menggunakan upaya hukum banding.Biasanya pihak yang sudah menang akan menggunakan upaya hukum banding,manakala tuntutannya tidak dikabulkan semua. Upaya banding dapat juga dilakukan oleh pihak yang sudah dimenangkan apabila putusan pengadilan tingkat pertama dirasakan sebagai kurang adil.
Sistem banding ini dalam praktiknya memang tidak digunakan untuk semua jenis dan nilai gugatan perkara perdata. Hal itu didasarkan pada berbagai pertimbangan, sebab dapat dibayangkan jika semua jenis perkara dan nilai gugatan dapat diajukan permohonan bandingnya, maka akan terjadi tumpukan perkara perdata pada pengadilan tinggi. Akibatnya pemeriksaan perkara perdata akan menjadi lambat. Bahkan tidak mustahil terjadi suatu perkara perdata dengan nilai gugat relatif kecil akan tetapi memakan waktu bertahun-tahun untuk dapat memperoleh kekuatan hukum yang pasti, karena perkara tersebut terus dimintakan uapaya hukum kasasi hingga Mahkamah Agung.
Untuk menghindari hal-hal seperti tersebut di atas, tepat kiranya apa yang dikemukakan oleh Lintong Siahaan, bahwa menggunakan sistem yang memberikan wewenang kepada pengadilan tingkat pertama untuk memutus dalam tingkat terakhir atas perkara-perkara perdata yang nilai gugatnya relatif kecil. Hal itu akan sangat bermanfaat untuk mempercepat jalannya persidangan. Di samping itu, mengingat upaya hukum banding itu bertujuan untuk memperoleh perbaikan putusan yang lebih menguntungkan, maka upaya hukum banding tidak selayaknya disediakan bagi pihak yang dimenangkan. Adalah seyogianya jika banding hanya diperuntukan bagi pihak yang yang dikalahkan atau merasa dirugikan.










2.5  Peranan Alat Bukti Pengakuan

Dibedakannya antara pengertian hukum perdata materiil dengan hukum perdata formal (hukum acara perdata) dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa keduanya memang berbeda secara substansial. Hukum perdata materiil merupakan kumpulan kaidah hukum yang mengatur atau berisi hak-hak dan kewajibankewajiban para subjek hukum. Sedangkan hukum acara perdata adalah kumpulan kaidah hukum yang berisi tentang pengaturan bagaimana cara-cara mempertahankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban apabila dilanggar subjek hukum lain. Kebutuhan terhadap hukum acara merupakan tuntutan dari hukum materiil itu sendiri. Hal itu disebabkan tanpa ada hukum acara tentu saja perselisihan atau sengketa yang timbul diantara para subjek hukum yang mengadakan hubungan hukum akan sangat sulit dipulihkan. Oleh karena itu keberadaan hukum acara pada dasarnya adalah sebagai jaminan atas penegakan hak atau kewenangan subjek hukum terhadap objek hukum tertentu. Pada akhirnya tujuan dari adanya hukum acara adalah simultan dengan tujuan hukum secara keseluruhan yakni terciptanya ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Hukum perdata materiil juga berbeda dengan hukum acara perdata, karena hukum perdata materiil adalah hukum privat sedangkan hukum acara perdata adalah hukum publik. Pembedaan ini pun terjadi karena adanya perbedaan kepentingan yang dilindungi. Hukum perdata materiil berisi kaidah yang mengatur kepentingan individu atau perorangan (mengandung sifat keperdataan) sedangkan hukum acara perdata sebagai kaidah yang mengatur tentang bagaimana mempertahankan hukum materiil jika hukum materiil itu dilanggar, ini menyangkut kepentingan umum (mengandung sifat publik).
Hukum acara perdata di samping mengandung sifat-sifat sebagai hukum publik, juga mengandung sifat-sifat keperdataan. Sifat keperdataan itu tampak dalam hal kaidah-kaidah yang mengatur tentang hak dan wewenang yang dilakukan oleh para pihak untuk mempertahankan kepentingannya. Sedangkan sifat publiknya tampak dalam kaidah yang mengatur tentang tata cara hakim sebagai aparatur negara menjalankan tugasnya dan terdapat ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh hakim yang harus ditaati.
Ketentuan-ketentuan yang bersifat publik tersebut tidak boleh dikesampingkan. Umpamanya saja, kaidah tentang tata cara mengajukan gugatan, batas waktumengajukan banding maupun kasasi, tentang kekuatan alat-alat bukti yang diajukan para pihak di depan sidang pengadilan, dan lain-lain.Menyangkut masalah kekuatan pembuktian, mengingat kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti merupakan sifat publik dari hukum acara perdata, maka hakim diharuskan percaya kepada kekuatan alat bukti yang diajukan para pihak.
 Dengan demikian hakim perdata tidak boleh memeriksa secara mendalam tentang latar belakang pernyataan para pihak di persidangan. Tentang apakah pengakuan yang dikemukakan itu palsu atau tidak, demikian pula apakah sumpah yang diucapkan itu palsu atau tidak, itu semua merupakan tugas dan wewenang hakim pidana.

IV. Macam-macam Alat Bukti Pengakuan

4.1  Pengakuan Murni (aveu pur et simple)

Pengakuan murni adalah pengakuan yang sesuai sepenuhnya dengan posita pihak lawan.24 Penggugat menyatakan sesuatu peristiwa pada pihak tergugat, kemudian tergugat mengakui atau membenarkan seluruh gugatan penggugat tersebut, sehingga dengan pengakuan saja hakim menyatakan terbukti apa yang dikemukakan oleh penggugat maka gugatan penggugat dikabulkan. Pengakuan dapat berupa ucapan atau isyarat bagi orang yang bisu. Seseorang yang bisu dapat mengemukakan melalui perantara. Bahkan pengakuan juga dapat dilakukan dengan tulisan.
Oleh karena itu pengakuan secara tulisan ini dapat merupakan alat bukti pengakuan sekaligus alat bukti surat. Hakikat dari pengakuan secara tulisan ini memiliki dua fungsi sekaligus. Dari segi substansinya atau materinya termasuk kategori fungsi sebagai pengakuan, sedangkan apabila dilihat bentuknya berfungsi sebagai alat bukti surat.
Kedua fungsi dari pengakuan secara tulisan itu akan mempunyai kekuatan sebagai alat bukti apabila tidak dibantah oleh pihak lawan. Akan tetapi apabila ternyata hal itu dibantah oleh pihak lawan, maka pihak yang memberikan pengakuan itu harus membuktikan kebenaran dari pengakuan tersebut. Jika ternyata pihak yang mengajukan pengakuan tulisan itu tidak dapat membuktikan kebenarannya, maka pengakuan tulisan itu tidak mempunyai kekuatan alat bukti, baik sebagai pengakuan maupun sebagai bukti surat.
Apabila pengakuan secara tulisan yang diajukan di muka sidang itu tidak dibantah oleh pihak lawan, maka pengakuan tersebut dapat diterima sebagai alat bukti yang sempurna. Sedangkan pengakuan yang ditulis dalam surat jawaban tergugat, kekuatan pembuktiannya disamakan sebagai pengakuan secara lisan didepan sidang.Pengakuan secara tertulis tersebut merupakan akta di bawah tangan, kekuatan pembuktiannya bersifat formal dan bersifat materiil. Kekuatan pembuktian formal menerangkan bahwa terdapat sesuatu yang diterangkan oleh penandatangan tersebut. Dengan kata lain, surat itu berisikan keterangan dari orang yang menandatanganinya.Sedangkan kekuatan pembuktian materiil, memberikan kepastian tentang isi yang diterangkan di dalam akta yang bersangkutan. Berkenaan dengan hal itu, Pitlo, dalam bukunya mengemukakan bahwa yang penting adalah kekuatan pembuktian materiil, karena kekuatan pembuktian materiil itu menilai "apakah memang benar sesuatu yang diterangkan di dalam akta tersebut, atau sejauhmana isi keterangan tersebut sesuai dengan kebenaran.
Apabila tergugat di dalam jawabannya tidak menyangkal kebenaran gugatan penggugat atau bagian-bagian tertentu dari gugatan penggugat tidak dijawab oleh tergugat, maka gugatan penggugat dianggap diakui oleh tergugat secara diam-diam.Pada dasarnya jika tergugat telah mengakui gugatan penggugat seluruhnya, maka hakim harus menganggap peristiwa yang diakui itu terbukti. Akan tetapi hal itu tidak berlaku bagi setiap sengketa. Dalam beberapa perkara, umpamanya saja,dalam gugatan mengenai hak milik atau gugatana perceraian, di samping pengakuan tergugat masih diperlukan bukti-bukti lain. Hal itu terutama dimaksudkan untuk menghindari timbulnya pengakuan palsu di dalam gugatan mengenai hak milik. Sedangkan dalam perkara perceraian, dimaksudkan untuk mempersulit terjadinya perceraian, sehingga diharapkan tujuan Undang-undang perkawinan dapat tercapai.
 Oleh karena itu di dalam kedua perkara tersebut hanya dengan bukti pengakuan tidak dapat dianggap telah terbukti peristiwa yang bersangkutan.Apabila suatu perkara tidak memiliki bukti-bukti lain kecuali pengakuan tergugat dan tidak disertai sangkalan, maka pengadilan menerima pengakuan itu sebagai alat bukti sempurna.28 Terhadap masalah ini Pengadilan Negeri Surabaya memberikan putusan yang justeru lebih luas interpretasinya. Dalam putusan tentang masalah wanprestasi terhadap utang, isinya antara lain: bahwa "pengakuan merupakan alat bukti ang sempurna, bahkan walaupun terdapat bukti lain tidak perlu diperhatikan karena telah mempunyai kekuatan pembuktian pembuktian yang sempurna.
4.2    Pengakuan dengan Kualifikasi (gequalificeerde bekentenis)

Pengakuan dengan kualifikasi adalah pengakuan yang dilakukan oleh tergugat yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.30 Di dalam pengakuan dengan kualifikasi ini tergugat menambahkan sesuatu pada pokok gugatan, sehingga sebenarnya tergugat tidak mengakui apa pun melainkan memberikan gambaran menurut pandangannya sendiri. Berdasarkan hal di atas, pengakuan dengan kualifikasi sebenarnya adalah pengakuan dan sangkalan. Di satu pihak tergugat mengakui sebagian dari gugatan penggugat, sedangkan di lain pihak tergugat juga menyangkal sebagian lainnya dari gugatan. Terhadap pengakuan dengan kualifikasi ini, undang-undang melarang untuk memisah-misahkan pengakuan tersebut. Pengakuan semacam itu harus diterima secara bulat, dalam arti tidak boleh hanya pengakuan yang diterima
sebagai terbukti sedangkan sangkalannya tidak diterima.

4.3    Pengakuan dengan Klausula (geclausuleerde bekentenis)

Pengakuan dengan klausula adalah pengakuan dari tergugat tentang hal pokok yang diajukan penggugat, akan tetapi disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Pengakuan ini pun pada hakikatnya adalah pengakuan dengan sangkalan klausula ini terdapat keterangan tambahan yang sifatnya memebebaskan sebagai dasar penolakan gugatan penggugat. Sebagai contoh, pada awalnya tergugat mengakui gugatan penggugat, namun kemudian tergugat mengemukakan alasan untuk melepaskan diri dari gugatan penggugat untuk tidak memenuhinya. Hal itu biasanya dilakukan oleh tergugat karena misalnya dia telah melakukan kewajibannya berupa membayar utangnya, bahkan dia (tergugat) kini mempunyai tagihan dari penggugat.
Seperti halnya pengakuan dengan kualifikasi, maka pengakuan dengan klausula pun harus diterima secara bulat dan tidak boleh dipisah-pisahkan dari keterangan tambahannya (onsplitsbare aveu). Mengenai hal ini diatur di dalam pasal 176 HIR (Ps. 313 Rbg) dan pasal 1925 BW, sebagai berikut:"Tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya,dan hakim tidak berwenang untuk menerima sebagiannya saja dan menolak bagian yang lain, sehingga merugikan orang yang mengakui itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan jika orang yang berhutang mempunyai maksud untuk membebaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti itu tidak benar".
Berdasarkan kaidah di atas, maka dalam hal terdapat pengakuan tergugat yang disertai keterangan tambahan, maka masih diperlukan sesuatu keterangan berupa pembuktian yang harus dibebankan kepada penggugat. Dalam pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan dengan klausula ini, apabila penggugat dapat membuktikan bahwa keterangan tambahan dari tergugat itu sesungguhnya tidak benar, maka pengakuan itu dapat dipisah-pisahkan. Pertimbangan pembentuk Undang-undang dalam menentukan bahwa pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan terutama sekali disebabkan sukar pembebanan pembuktiannya. Untuk bagian yang berisi pengakuan tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Sedangkan bagian tambahan dari pengakuan masih dibebani pembuktian, yakni kepada pihak yang memberipengakuan. Apabila ternyata pihak yang memberi pengakuan tidak sanggup membuktikannya, konsekuensinya dia akan dikalahkan.
 Akibatnya maka tuntutan penggugat akan dianggap terbukti dan berarti pula merugikan pihak yang memberikan pengakuan. Untuk mencegah kemeungkinan hakim akan memisahkan pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, pembentuk undang-undang secara tidak langsung telah mengisyaratkan bahwa tidak layak apabila tergugat yang memberi pengakuan masih harus dibebani dengan pembuktian. Oleh karena itu ketentuan pasal 173 HIR merupakan perkecualian dari pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg dan ps. 1865 BW). Dengan demikian terhadap pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan, kewajiban pembuktian dibebankan kepada penggugat.31 Pada hakikatnya pengakuan tergugat dengan keterangan tambahan adalah sebagai suatu penyangkalan.
Akibatnya penggugat diwajibkan untuk membuktikan kebenaran gugatannya. Pada umumnya penggugat memang dapat membuktikan kebenaran gugatannya. Akan tetapi apabila ternyata penggugat kebetulan tidak dapat membuktikan kebenaran gugatannya, maka ketentuan tersebut di atas sungguh merupakan aturan yang merugikan penggugat, karena pada dasarnya gugatan (sebagian dari gugatan) penggugat telah diakui oleh tergugat. Dalam hal-hal menghadapi pengakuan tergugat yang tidak dapat dipisah-pisahkan tersebut, penggugat dapat memilih dua cara, yaitu: Pertama, dia menolak seluruh pengakuan tergugat dan melakukan pembuktian sendiri; Kedua, membuktikan bahwa keterangan tambahan tergugat itu tidak benar. Apabila hal tersebut terbukti, maka penggugat dapat meminta kepada hakim untuk memisahkan pengakuan tersebut sehingga menjadi pengakuan murni yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna serta mengikat.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan materi diatas,maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut yaitu :
1.      Sebagai salah satu alat bukti di dalam hukum acara perdata,pengakuan tetap perlu dipertahankan. Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengakuan dapat menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dengan menetapkan hak atau hukumnya antara para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi untuk menghindari pengakuan palsu dari salah satu pihak, maka penggugat masih perlu dibebani dengan beban pembuktian, kendati sudah ada pengakuan dari pihak lawan.
2.      Perkembangan yurisprudensi menunjukkan antara lain bahwa pengakuan sebagai alat bukti tidak selalu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu untuk menilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Ini berarti peranan pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata sangat tergantung kepada kasusnya masing-masing.
3.      Ketentuan tentang pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbare aveu) tetap perlu dipertahankan. Namun perlu diberi kebebasan kepada hakim untuk memberi kekuatan pembuktian ini sebagai alat bukti yang sempurna atau tidak, tergantung pada keadaan yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan tidak lain untuk melindungi kedua belah pihak secara proporsional.
4.      Dalam memeriksa perkara perdata, hakim seyogianya mengutamakan kepentingan para pihak, daripada sifat formalnya hukum acara perdata. Artinya hakim perlu menyelaraskan kaidah-kaidah hukum acara perdata dengan perkembangan masyarakat yang menghendakinya.
5.      Dalam hukum acara perdata, hakim juga seyogianya tidak hanya mencari kebenaran formal semata-mata, melainkan harus senantiasa berusaha mencari dan menemukan kebenaran material.
6.      Mempercepat proses pemeriksaan dalam pembuktian adalah tugas hakim dalam rangka mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.



3.2  Saran
            Untuk dapat mewujudkan suatu sistem alat bukti pengakuan dalam hukum acara perdata,hendaknya dapat mematuhi aturan serta prosedur-prosedur dalam menyelidiki suatu kasus dengan alat-alat bukti yang dapat dijamin kebenarannya.
 paper hukum acara perdat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar