Senin, 07 November 2011

PAPER PERADILAN AGAMA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang Masalah
Perjalanan kehidupan pengadilan agama mengalami pasang surut. Adakalanya wewenang dan kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara.

PERANG, HUKUM HUMANITER, DAN PERKEMBANGAN INTERNASIONAL


PERANG, HUKUM HUMANITER,
DAN PERKEMBANGAN INTERNASIONAL

Hukum Humaniter Diplomasi Sebagai Instrumen Politik Luar Negeri Yang Paling Diutamakan Dalam Politik Global Pasca Perang Dingin


Diplomasi Sebagai Instrumen Politik Luar Negeri Yang Paling Diutamakan Dalam Politik Global Pasca Perang Dingin
Ananta Kaisar Rawung 208000092

Hubungan Internasional


  
BAB I
PENDAHULUAN

Hukum Humaniter


HUKUM HUMANITER
Jakarta, DMC – Negara merupakan elemen yang berperan penting dalam menentukan pengormatan dan pelaksanaan prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional (HHI). Walaupun HHI memuat aturan yang mengatur tingkah laku individu yang melaksanakan operasi perang, HHI adalah bagian dari hukum internasional yang harus ditaati negara dalam lingkungan masyarakat internasional, maka dari itu kewajiban negara untuk mengeluarkan perintah agar HHI dipatuhi. Hal ini dikatakan Sekjen Dephan Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin yang dibacakan Dirjen Pothan Dephan Prof. DR. Budi Susilo Supandji, saat membuka acara Diseminasi Hukum Humaniter Internasional di lingkungan Dephan, Rabu (24/9) Kantor Dephan, Jakarta.

Lebih lanjut Sekjen Dephan menjelaskan, bahwa Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan bagian tebesar pada hukum Internasional. HHI terdiri dari aturan-aturan yang pada masa konflik bersenjata berupaya untuk melindungi orang-orang yang tidak atau tidak lagi ambil bagian dalam peperangan dan untuk membatasi cara dan sarana berperang yang digunakan.

HHI juga dikenal juga sebagai hukum konflik senjata atau hukum perang. HHI yang berlaku pada masa konflik bersenjata adalah aturan-aturan pada perjanjian dan kebiasaan internasional yang secara khusus bertujuan menyelesaikan masalah-masalah kemanusian yang muncul akibat langsung dari konflik bersenjata, baik internasional maupun non internasional.

Dikatakan Sekjen, Indonesia yang selalu berpartisipasi aktif dalam beberapa Operasi Penjaga Perdamaian PBB, menunjukkan minat yang tinggi dalam perumusan berbagai perjanjian internasional di bidang HHI. Indonesia pun telah mengesahkan perjanjian internasioanl di bidang Hukum Humaniter yaitu Konvensi Jenewa 1949 tentang perlindungan korban perang dengan UU No. 59 tahun 1958. akan tetapi implementasi dari Konvensi Jenewa tersebut dalam hukum nasional kita belum nampak karena belum ada hukum nasional yang mengaturnya hingga kini.

Sementara itu lanjut Sekjen, terdapat keinginan indonesia untuk mengaksesi Protokol tambahan I dan II tahun 1977 dalam kaitannya dengan perlindungan korban perang dalam konflik bersenjata internasional dan perlindungan korban perang dalam konflik senjata non internasional, mengingat Indonesia memiliki potensi konflik internal yang cukup tinggi.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam rangka mendukung tugas-tugas Departemen Pertahanan dan TNI, maka Dephan melalui Ditjen Pothan Dephan dan Biro Hukum Setjen Dephan bekerja sama dengan delegasi Internasional Committee of The Red Cross (ICRC) di Jakarta, melaksanakan kegiatan diseminasi HHI agar dapat lebih memberikan pemahaman tentang HHI kepada para peserta di lingkungan Dephan sehingga dapat diimplementasikan dalam kebijakan dan regulasi nasional di bidang pertahanan.

Kursus singkat tentang HHI ini, berlangsung selama 3 hari dimulai tanggal 24-26 september 2008 dan merupakan salah satu wujud komitmen Dephan dalam mendukung usaha-usaha perlindungan dan pemajuan Hak Azasi Manusia (HAM) dan HHI. Selain itu, kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para pejabat Dephan mengenai HHI, sehingga pada saat pejabat Dephan terlibat dalam penyusunan regulasi bidang pertahanan negara dapat memberikan kontribusi secara optimal.



http://www.iph.fgov.be/ClinBiol/bckb33/activities/external_quality/rapports/ATLAS/Parasitology/0_History_of_Human_Parasitology/History_of_Malaria_2006_fichiers/slide0056_image037.jpg
Jean-Jacques Rousseau memberikan inpirasi bagi perkembangan prinsip-prinsip perang. Dia bilang bahwa tujuan perang untuk menghancurkan negara musuh adalah sah secara hukum apabila membunuh prajurit yang menjadi pertahanan terakhir musuh sejauh mereka membawa senjata; tetapi segera setelah mereka meletakkan senjata dan menyerah, mereka bukan lagi musuh atau agen musuh, kini mereka kembali menjadi orang biasa, dan tidak lagi sah secara hukum untuk mengambil hidup mereka.

Para perancang Deklarasi St. Petersburg memformulasikan prinsip-prinsip pembedaan, prinsip pencegahan penderitaan yang tidak perlu dan prinsip kepentingan kemanusiaan dan keperluan militer. Bahwa satu-satunya objek yang paling sah dicapai oleh suatu Negara selama perang adalah melemahkan angkatan bersenjata dari pihak lawan.

Protokol Tambahan 1977 merinci dan menegaskan kembali prinsip-prinsip ini khususnya prinsip pembedaan. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik setiap saat harus dapat membedakan antara penduduk sipil dan kombatan dan antara objek sipil dan objek militer dan karena itu pula pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus mengarahkan operasinya semata-mata hanya untuk menyerang objek militer. (Pasal 48 Protokol I dan Pasal 13 Protokol II).

Protokol Tambahan I dan II 1977 pada Konvensi Jenewa 1949 melarang kombatan menyamar sebagai orang sipil, penyerangan yang membabi buta atau tidak pandang bulu dan penyerangan tempat ibadah dan monumen serta penyerangan objek-objek yang mutlak diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk. Kedua Protokol tersebut juga melarang tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror.

Prinsip berikutnya adalah proporsionalitas yaitu usaha untuk menjaga keseimbangan antara dua kepentingan yang berbeda. Tujuannya adalah untuk mencegah penderitaan yang tidak perlu di pihak sipil dalam operasi militer. Protokol mengharuskan segenap pihak yang terlibat konflik bersenjata untuk mengambil langkah pencegahan yang mungkin bisa diambil menyangkut sarana dancara berperang yang dipakai untuk menghindari atau memperkecil timbulnya kerugian ikutan berupa korban tewas dan luka di pihak sipil dan kerusakan objek sipil yang melebihi keuntungan militer yang diperoleh.
Analisis Pelanggaran Hukum Humaniter Pada Penyerbuan Desa May Lai dalam Perang Vietnam Tanggal 16 Maret 1968
Oleh: Letkol Laut (P) Rudhi Aviantara, Komandan KRI Layang - 805, Anggota Dewan Penasehat Harian TANDEF
BAB I PENDAHULUAN
1. Umum
Perang Vietnam  atau Perang Indochina Kedua  adalah  perang yang terjadi antara tahun 1957 sampai dengan 1975 di Vietnam. Perang ini merupakan bagian dari Perang Dingin. Dua aliansi yang berperang adalah Republik Vietnam (Vietnam Selatan) dan Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara). Dalam perang tersebut Vietnam Selatan didukung oleh negara Amerika Serikat, Korea Selatan, Thailand, Australia, Selandia Baru dan Filipina, sedangkan Vietnam Utara yang merupakan negara komunis didukung oleh USSR / Uni Soviet dan China.1
Di dalam makalah ini akan menganalisa sebagian dari rangkaian perang Vietnam pada studi kasus pembantaian terhadap ratusan penduduk sipil yang tidak bersenjata, yang dilakukan oleh pasukan Amerika di sebuah desa yaitu My Lai pada tanggal 16 Maret 1968. Sebagian besar penduduk sipil yang menjadi korban pembantaian adalah perempuan dan laki laki tua serta anak – anak. Pembantaian ini menjadi catatan sejarah  kejahatan perang Amerika di Vietnam, sehingga mengakibatkan   kecaman   dunia Internasional, menurunkan kewibawaan Amerika  dan  menurunkan dukungan dari rakyat Amerika itu sendiri.  
Instrumen yang digunakan dalam menganalisa studi kasus pembantaian oleh pasukan Amerika, yang dipimpin oleh Letnan William Calley sebagai komandan peleton 1C adalah  Hukum Humaniter Internasional (juga disebut Hukum Perang atau Hukum Konflik Bersenjata) – Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I  1977.
2. Latar Belakang.           
Pada saat Perang Vietnam, Provinsi Quang Ngai tepatnya di desa Son  My  Vietnam Selatan dicurigai oleh pasukan Amerika sebagai  tempat perlindungan kaum gerilyawan Angkatan Bersenjata Pembebasan Rakyat  dari Front Nasional untuk Pembebasan Vietnam (FNPV), yang juga disebut "Viet Cong" atau "VC".  Desa Son  My oleh pasukan Amerika disebut Pinkville (karena pada peta berwarna merah jambu).  Pada serangan tanggal 16 Maret 1968, selain membantai ratusan penduduik sipil, pasukan Amerika juga menghancurkan rumah – rumah yang ada di desa Song My, tepatnya di dusun My Lai. Pasukan Amerika menganggap penting bahwa para gerilyawan FNPV harus dimusnahkan. Oleh sebab itu, mereka tidak mengukur berapa banyak wilayah atau lokasi strategis yang direbut atau dikuasai sebagai suatu sasaran operasi, melainkan berdasarkan "jumlah mayat"  penduduk yang dicurigai sebagai gerilyawan FNPV yang terbunuh.
 Tujuan operasi pasukan AS menyerang My Lai adalah mencari dan menghancurkan musuh. Namun komandan kompi C yaitu Kapten Ermest Medina merasa tidak jelas tindakan apa yang diambil  bila menemukan orang sipil di  dusun My Lai.  Ada seorang prajurit Kompi C menannyakan kepada   komandannya yaitu  Kapten Medina mengenai kemungkinan tindakan yang di ambil bila bertemu dengan   orang sipil khususnya wanita dan anak-anak. Kapten Medina mengarahkan agar bertindak secara akal sehat, bila mereka bersenjata dan berusaha melawan, maka diperbolehkan menembaknya. Berdasarkan informasi intelijen   bahwa dusun My Lai telah diduduki oleh FNPV dan seluruh penduduknya  sudah mengungsi.
Pada pagi hari 16 Maret 1968, satu peleton pasukan Amerika yang dipimpin oleh Letnan Willian Calley memasuki dusun My Lai, mereka menemukan sekelompok penduduk yang terdiri dari para perempuan, anak-anak dan laki – laki tua yang sedang melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari. Penduduk sipil tersebut kemudian ditembaki secara membabi buta, ada sebagian penduduk dimasukkan ke dalam suatu banker tempat persembunyian, kemudian bunker tersebut dimasukan granat,  bahkan banyak para wanita  yang diperkosa sebelum dibunuh.  Selama serangan, tidak ada suara tembakan atau tidak ada perlawanan dari pihak penduduk sipil  yang ada di dusun My Lai. Jumlah korban tewas dalam serangan di dusun My Lai mencapai 500 orang.
Prajurit Amerika  mendapatkan doktrin dari atasannya agar dalam laporan hasil operasi tersebut untuk  melebihkan perhitungan jumlah  korban yang tewas dari pihak FNPV.    Dalam perjuangannya, para gerilyawan dari FNPV membaur dengan penduduk sipil, sehingga pasukan Amerika kesulitan membedakan gerilyawan FNPV dan pendudk sipil tersebut. Pasukan  Amerika merasa kesulitan  menghadapi taktik dari gerilyawan FNPV. Hal lain yang melatar belakangi pembantaian di My Lai adalah  ketidakmampuan pasukan Amerika untuk mengejar gerilyawan yang selalu lolos dari penyergapan dan timbulnya rasa takut akan penyergapan balik dari gerilyawan FNPV. Ada kemungkinan pasukan Amerika melampiaskan kemarahannya dengan cara melakukan pembantaian terhadap penduduk sipil yang tidak bersenjata di dusun My Lai.
Pada awalnya, peristiwa pembantaian ini ditutupi oleh Angkatan Darat AS  dan dinyatakan sebagai kemenangan menghadapi gerilyawan gerilyawan FNPV.   Satu tahun setelah pembantaian di My Lai, masalah ini mencuat di media masa, sehingga menimbulkan kemarahan masyarakat AS.    Pada tanggal 29 Maret 1968, Ronald Ridenhour seseorang prajurit dari satuan lain mengetahui pembantaian di My Lai dan memberitahukan kepada Melvin Laird   yang menjabat sebagai sekretaris Menteri Pertahanan AS. Para wartawan mengetahui apa yang terjadi, kemudian memberitakan peristiwa tersebut sebagai high lines news. Dengan gencarnya pemberitaan peristiwa pembantaian ini di media masa,  menimbulkan protes  dari masyarakat Amerika sendiri. Tindakan selanjutnya adalah pihak Angkatan Darat AS melaksanakan penyelidikan terhadap tindakan prajurit Amerika pada perang Vietnam tersebut. Presiden Richard Nixon pada waktu itu memerintahkan untuk mempercepat penarikan kembali pasukan AS dari Vietnam.  Pihak  Angkatan Darat AS  memeriksa 12 personel yang terdiri dari perwira, tamtama dan bintara.  Hasil dari penyelidikan dan penyidikan di mahkamah militer menyatakan bahwa Letnan William Calley bersalah dan dihukum seumur hidup. Penjatuhan hukuman ini menimbulkan protes dari para veteran perang dan menuntut untuk membebaskan Letnan Calley. 
3. Kronologis
a. Sebelum Kejadian / Data Intelijen
1) Januari 1968, pada Serangan Tet2, serangan-serangan dilakukan di Quang Ngai oleh Batalyon ke-48 dari FNPV. Intelijen militer AS membentuk pandangan bahwa Batalyon ke-48, setelah mengundurkan diri, berlindung di desa Son My.
2) Informasi intelijen  menyatakan bahwa unit 48th Local Force NLF diperkirakan sekitar 200 gerilyawan telah tersebar di sekitar daerah operasi  My Lai / Pink Ville.
3) Banyak penduduk yang menjadi simpatisan Viet Cong sudah meninggalkan   My Lai. 
4) Banyak perwira intel AD termasuk yang dari Brigade 11st dan Americal Division percaya bahwa musuh berada dekat My Lai.
5) Daerah sasaran  peleton Letda William Calley kemungkinan akan mendapatkan perlawanan dari Yon Veteran musuh, pada waktu memasuki daerah tersebut.
6)Bila telah memasuki daerah sasaran, kemungkinan musuh sudah membaur dengan penduduk sipil.
7) Bukit sebelah Utara dan Barat Laut May Lai-4 kemungkinan merupakan markas komando batalyon musuh.
b. Rencana Operasi. Tidak ditemukan adanya dokumen  tertulis tentang Rencana Operasi Muscatine yang dipimpin oleh Letkol Barker. Kalaupun ada, kemungkinan sudah dimusnahkan. Sedangkan Letkol Barker sudah meninggal dalam kecelakaan heli pada bulan Juni 1968
Operasi dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 1968 dan diberlakukan mulai jam 07.303
Tugas yang diberikan kepada masing – masing kompi adalah sebagai berikut : Kompi A memblokade sebelah utara sungai Diem Diem, sedangkan kompi B dan C bergerak ke Selatan untuk menyerang  musuh yang diharapkan mergerak menuju mulut sungai Tra Khuc yang akan disergap oleh kompi A.
Letkol Barker sangat menekankan bahwa VC akan bersembunyi di terowongan yang sangat panjang dan rumit yang terdapat di daerah tersebut dan menyerang dari belakang.
Letkol Barker menugaskan peleton 1 A  bergerak ke arah puncak bukit 85 (bukit elephant) dengan tujuan untuk melindungi kompi B dan C.
Kompi C didaratkan dengan menggunakan Helly pada jam 07.30 dan mulai bergerak ke Timur menuju dusun keci My Lai.  Perkampungan  Son  My merupakan target dan sasaran operasi. 
c. Pelaksanaan Operasi tgl 16 Maret 1968.
Jam 05.30, Kompi C melaksanakan persiapan  embarkasi dengan Helly.
Jam 07.30, sebelum helly mendarat, 4 meriam artileri howitser 105 mm mulai melakukan tembakan   ke arah area landing zone di dekat My Lai. Pada awal serangan, kompi C Kapten Ernest Medina telah menembak seorang petani yang berada di sawah namun tidak bersenjata. 
Jam 08.00, Kapten Medina melaporkan hasil serangan awal   : 15 orang Viet Cong tewas.  Pasukan  kompi C menganggap bahwa penduduk  di desa  My Lai adalah sebagai kombatan Viet Cong yang menjadi sasaran yang sah.  
Peleton Letnan Calley dibagi menjadi 3 kelompok dan bergerak  dari arah Selatan My Lai 4. Letnan Calley berhasil menemukan beberapa penduduk  yang dijadikan sebagai tawanan dan akan di interogasi. Di sisi lain, anak buah Letnan Calley berbeda pendapat dengannya yaitu langsung menembakinya setelah penduduk dikumpulkan. Bahkan prajurit peleton Letnan Calley   menembaki apa saja yang bergerak termasuk hewan ternak. 
Jam 08.30, Kolonel Henderson dan Letkol Barker inspeksi pelaksanaan operasi, kemudian Kapten Medina melaporkan jumlah korban yang tewas yaitu 84 orang.
Jam 09.00, seorang pilot helly yaitu Chief Warrant Officer Hugh Thompson terbang di atas My Lai.  Thompson melihat banyak mayat dan beberapa penduduk yang menderita kesakitan akibat luka tembak di sekitar desa My Lai.  Pilot tersebut berkali-kali melihat lelaki dan perempuan muda ditembak dari jarak dekat. Melihat perlakuan pasukan Amerika terhadap penduduk, kemudian Thompson sangat kecewa dan  melaporkan kejadian ini ke markas brigade. 
Letnan Calley mengumpulkan penduduk sipil berjumlah sekitar   80 orang yang terdiri dari laki – laki tua, wanita dan balita di sekitar saluran irigasi, di sebelah Timur My Lai.  Kemudian Letnan Calley memerintahkan  anak buahnya untuk menggiring  penduduk tersebut untuk memasuki saluran irigasi. Setelah penduduk dimasukkan ke dalam saluran irigasi, kemudian Letnan Calley memerintahkan prajuritnya untuk menembakinya, namun ada beberapa prajurit menolak perintah tersebut.  Salah satu anak buahnya yaitu Paul Meadlo mengikuti perintah Letnan Calley dan menembaki penduduk tersebut sekitar 25 orang.  Calley sendiri turut serta dalam pembantaian ini. Bahkan ada seorang anak berumur 2 tahun yang selamat  dan berhasil melarikan diri, namun ditangkap kembali oleh Letnan Calley, kemuidian anak kecil tersebut dilempar ke saluran irigasi dan ditembak mati oleh Letnan Calley.  
Pliot Hugh Thompson,   melihat mayat-mayat di saluran irigasi termasuk beberapa orang yang masih hidup.  Dia mendaratkan helikopternya dan menginformasikan kepada Calley untuk menghentikan prajuritnya menembaki penduduk dengan cara tidak manusiawi. Pilot tersebut kemudian mengevakuasi penduduk sipil yang masih hidup. Thompson memerintahkan crew-nya  untuk menghalau pasukan Amerika dengan cara menembaknya bila mereka masih menembaki penduduk sipil.    Pilot tersebut berhasil mengevakuasi 9 orang termasuk 5 anak-anak dan dibawa ke rumah sakit AD terdekat.  Kemudian, Thompson mendarat lagi dan menyelamatkan seorang bayi yang masih merangkul jenazah ibunya.
Jam 11.00, Letkol Barker mendapat informasi dari  Puskodal bahwa beberapa pilot telah memberitahukan kepada komandan kompinya tentang pembantaian penduduk sipil yang tidak bersalah yang dilakukan oleh anak buahnya. Letkol Barker segera memberitahu XO yang sedang terbang di atas daerah pertempuran untuk menyelidiki peristiwa sebenarnya. Bila laporan kejadian itu benar, maka segera mengambil tindakan untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut. Letkol Barker meminta kepastian dari  kapten Medina tentang kejadian tersebut yang diinformasikan oleh para pilot. Kemudian Letkol Barker meminta jaminan kepada Kapten Medina kalau memang   laporan dari pilot tersebut tidak pernah terjadi.   Kapten Medina melaporkan kepada Letkol Barker bahwa tidak ada pembantaian terhadap pendudk sipil.  Kemudian Letkol Barker memerintahkan kepada kompi C untuk menghentikan tembakan kepada penduduk sipil.
d. Sesudah Kejadian  
Laporan yang dibuat oleh dua perwira Angkatan Darat Amerika yaitu Tom Glen dan Ron Ridenhour yang membuat surat kepada presiden Nixon tentang kejadian pembantaian di desa My Lai, menimbulkan pemberitaan di media masa yang ditanggapi negative oleh masyarakat  Amerika Serikat, terutama protes dari para veteran perang Vietnam.
Pada tanggal 17 Maret 1970, mahkamah militer  Amerika mengadili 14 perwiranya yang terkait pembantaian My Lai. Hasil penyidikan, Letnan   William Calley dinyatakan bersalah  telah melakukan pembunuhan terencana dengan memerintahkan penembakan terhadap masyarak sipil. Letnan William Calley semula dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, namun dua hari kemudian, Presiden Richard Nixon memerintahkan untuk memebebaskan dari penjara. Keputusan akhir, Letnan William Calley menjalani tahanan rumah selama 3½ tahun di markasnya di Fort Benning, Georgia, kemudian diperintahkan bebas oleh seorang hakim federal.

BAB II DASAR-DASAR PEMIKIRAN
1. Istilah Hukum Humaniter
Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum konflik  bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter4
Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict). Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. 
Hukum Humaniter Internasional mempunyai 2 cabang, yaitu :
a. Hukum Jenewa, yang disusun untuk melindungi personil militer yang tidak lagi ambil bagian dalam pertempuran dan orang – orang yang tidak terlibat aktif dalam peperangan, yaitu penduduk sipil, sedangkan
b. Hukum Den Haag, yang menetapkan hak dan kewajiban pihak – pihak yang berperang dalam melaksanakan operasi militer dan menetapkan batasan – batasan mengenai sarana yang boleh dipakai untuk mencelakai musuh5.
Instrumen Hukum Humaniter Internasional utama adalah konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 bagi perlindungan korban perang. Instrumen ini telah diterima secara universal.  Untuk menlengkapinya, Konvensi Jenewa mengadopsi dua protokol pada 1977 yaitu Protokol Tambahan I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional dan Protokol Tambahan II untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional. Dengan demikian instrumen utama hukum   humaniter adalah Konvensi Jenewa 1949  dan Protokol Tambahan tahun 1977.6
Hingga saat ini 194 negara telah meratifikasi Konvensi Jenewa. Indonesia sendiri meratifikasi Konvensi Jenewa I-IV 1949 pada 30 September 1958. Sementara untuk Protokol Tambahan I dan II  Indonesia belum meratifikasi7.
2. Konvensi Jenewa 1949.
Konvensi Jenewa terdiri dari Konvensi I s.d  IV dan dilengkapi dengan dua Protokol Tambahan I dan II tahun 1977.  Keempat Konvensi Jenewa  1949 tersebut menetapkan bahwa penduduk sipil dan orang-orang yang tidak lagi ikut serta secara aktif dalam tindakan permusuhan harus diselamatkan dan diperlakukan secara manusiawi. Sedangkan Konvensi Jenewa yang  mengatur langsung perlindungan kepada para penduduk sipil dalam peperangan adalah Konvensi Jenewa IV 1949. Konvensi ini mengatur   permasalahan masalah orang-orang sipil yang berada dibawah kekuasaan musuh. Dua Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan pelengkap bagi konvensi-konvensi Jenewa yang bertujuan membatasi penggunaan kekerasan dan melindungi penduduk sipil dengan memperkuat aturan-aturan yang mengatur tindak permusuhan.
Pada tahun 1977, keempat konvensi Jenewa tersebut ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yaitu :
a. Protokol Tambahan - I untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional.
b. Protokol Tambahan - II untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional.
Aturan yang menangani permasalahan orang-orang sipil yang berada dibawah kekuasaan musuh adalah  Konvensi Jenewa IV tahun 1949 yang diatur dalam :
Pasal 4, menyebutkan bahwa masalah orang sipil di wilayah musuh dan penduduk  sipil dibawah pendudukan musuh,
Pasal 35 menyebutkan masalah orang sipil yang berada di wilayah musuh harus diperbolehkan untuk pergi.
Dua Protokol Tambahan tahun 1977 merupakan pelengkap bagi konvensi-konvensi Jenewa yang bertujuan membatasi penggunaan kekerasan dan melindungi penduduk sipil dengan memperkuat aturan-aturan yang mengatur tindak permusuhan.
a. Konvensi Jenewa IV 1949. 
1) Pasal 27 menyebutkan bahwa kejahatan perang karena terjadi pada situasi perang dan yang diserang dan dibunuh adalah penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anak-anak dan penyerangan dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer dan bukan serta dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dilakukan dengan sengaja, melakukan tindakan penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan sewenang-wenang, yang seharusnya merupakan kelompok orang yang wajib dilindungi menurut konvensi.
2) Pasal 49 menyebutkan bahwa setiap kasus yang termasuk kejahatan internasional (pelanggaran berat) maka pelaku harus mempertanggunjawabkannya secara individu.  Orang yang pertama kali diminta pertanggungjawabannya ketika terjadi pelanggaran adalah orang yang secara langsung melakukan pelanggaran tersebut.
3) Pasal 50 menyebutkan bahwa pelanggaran hukum humaniter yang digolongkan sebagai pelanggaran berat, apabila pelanggaran tersebut dilakukan terhadap orang-orang atau objek yang dilindungi oleh Konvensi, meliputi perbuatan :
a)            Pembunuhan disengaja.
b)            Penganiayaan dan atau perlakuan yang tidak berperikemanusiaan.
c)            Percobaan-percobaan biologi yang menyebabkan penderiataan besar atau luka atas badan atau kesehatan yang berat.
d)            Penghancuran yang luas.
e)            Tindakan perampasan harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan hukum serta semena-mena.
b. Protokol Tambahan I tahun 1977. 
1) Pasal 51 ayat 3 menyebutkan bahwa yang tergolong kejahatan perang adalah pada saat situasi perang maka penyerangan dilakukan terhadap penduduk sipil termasuk didalamnya wanita dan anak-anak yang seharusnya wajib dilindungi, sedangkan pada ayat 4 disebutkan bahwa penyerangan yang dilakukan secara membabi buta tanpa membedakan sasaran militer dan yang bukan sasaran militer serta dilakukan dalam skala besar, pembunuhan dengan sengaja, penganiayaan, perlakuan tidak berperikemanusiaan dan penahanan sewenang-wenang.
2) Pasal 86 menyebutkan, Art 86 Failure to act :
a) The High Contracting Parties and the Parties to the conflict shall repress grave breaches, and take measures necessary to suppress all other breaches, of the Conventions or of this Protocol which result from a failure to act when under a duty to do so.
b)  The fact that a breach of the Conventions or of this Protocol was committed by a subordinate does not absolve his superiors from penal or disciplinary responsibility, as the case may be, if they knew, or had information which should have enabled them to conclude in the circumstances at the time, that he was committing or was going to commit such a breach and if they did not take all feasible measures within their power to prevent or repress the breach.
Inti dari pasal 86 Protokol Tambahan I adalah menyebutkan bahwa menurut hukum humaniter, fakta suatu pelanggaran yang dilakukan oleh seorang bawahan sama sekali tidak membebaskan atasannya dari tanggung jawab pidana atau disiplin, apabila atasannya tersebut mengetahui atau telah mendapat keterangan yang seharusnya memungkinkan mereka dalam keadaan pada saat itu untuk menyimpulkan bahwa bawahannya tengah melakukan atau akan melakukan pelanggaran dan apabila mereka tidak melakukan tidakan dalam batas kekuasaan mereka untuk mencegah pelanggaran atau menindak pelanggar tersebut, sedangkan :
3) Pasal 87 menyebutkan, Art 87 Duty of commanders :
 a) The High Contracting Parties and the Parties to the conflict shall require military commanders, with respect to members of the armed forces under their command and other persons under their control, to prevent and, where necessary, to suppress and to report to competent authorities breaches of the Conventions and of this Protocol.
b)  In order to prevent and suppress breaches, High Contracting Parties and Parties to the conflict shall require that, commensurate with their level of responsibility, commanders ensure that members of the armed forces under their command are aware of their obligations under the Conventions and this Protocol.
c)  The High Contracting Parties and Parties to the conflict shall require any commander who is aware that subordinates or other persons under his control are going to commit or have committed a breach of the Conventions or of this Protocol, to initiate such steps as are necessary to prevent such violations of the Conventions or this Protocol, and, where appropriate, to initiate disciplinary or penal action against violators thereof.
Intisari dari pasal 87 Protokol Tambahan I, menyebutkan bahwa kewajiban Komandan mengenai pertanggungjawaban komando berdasarkan hukum humaniter tidak terbatas tingkatannya, artinya seorang Komandan di tingkat tertinggi pun dapan dikenakan pertanggungjawaban secara pidana, apabila dapat dibuktikan adanya rantai komando dan hubungan causal antara pelanggaran yang terjadi dengan kelalaian dari Komandan dalam melaksanakan kewajibannya tersebut, baik dalam hal melakukan pencegahan atau menindak pelaku pelanggaran. Agar supaya dapat mencegah terjadinya pelanggaran maka negara harus meminta Komandan sesuai dengan tanggung jawab mereka untuk menjamin bahwa para anak buahnya menyadari kewajiban-kewajiban mereka terhadap Konvensi dan Protokol ini. Komandan harus dapat menjamin bahwa anak buahnya mengerti dan memahami hukum humaniter dengan cara :
a) Memberikan penyuluhan dan melatihkan hukum humaniter tersebut sebelum terjun ke lapangan, karena akan sangat mempermudah mereka ketika melakaukan operasi militer, mereka sudah tahu hak-hak dan kewajiban sebagai peserta tempur serta mampu menentukan sasaran yang sah dan tidak.
b) Prinsip-prinsip hukum humaniter betul-betul diterapkan oleh Komandan, sehingga walaupun nantinya laporan intelijen berbeda dengan fakta di lapangan, seorang prajurit yang profesional tidak akan dengan gegabah melakukan tindakan yang melanggar hukum dan diharapkan akan mampu mempertanggungjawabkan semua tindakannya berdasarkan hukum.
c) Menjamin sistem pelaporan yang efektif dan melakukan monitor terhadap sistem pelaporan tersebut.
d) Melakukan tindakan korektif ketika mengetahui bahwa anak buahnya akan atau telah melakukan tindakan pelanggaran.
c. Protokol Tambahan II tahun 1977. 
1) Pasal 52 menyebutkan bahwa apabila ada keraguan untuk menentukan apakah itu sasaran militer atau bukan maka sasaran itu harus dianggap bukan sasaran militer.
2) Pasal 57 ayat 2b menyebutkan bahwa suatu serangan harus dibatalkan atau ditunda apabila menjadi jelas bahwa sasarannya adalah bukan sasaran militer atau dibawah perlindungan khusus, atau apabila serangan itu akan mengakibatkan kerugian yang tidak perli berupa tewasnya penduduk sipil atau rusaknya obyek-obyek sipil.

BAB III ANALISIS KEJADIAN
1. Pertanggungjawaban Komando (command responsibility)
Ketentuan  yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum pertanggung jawaban komando adalah Pasal 86 dan 87 Protokol Tambahan I 1977. Ketentuan-ketentuan hukum humaniter yang mengatur tentang pertanggungjawaban komando tersebut  mengandung 3 aspek penting yang harus dipenuhi untuk menentukan seorang perwira atau komandan harus bertanggung jawab atas tindakan kejahatan bawahannya8 :
a.    Ada hubungan atasan-bawahan dalam kasus terjadinya tindakan kejahatan yang telah dilakukan. Ini ditunjukkan dengan bukti-bukti yang jelas, saksi, dokumen, dsb.
b.    Atasan mengetahui atau diduga patut mengetahui adanya tindakan kejahatan yang dilakukan oleh bawahan.
Komandan atau atasan gagal untuk mencegah atau menindak (menghukum) pelaku kejahatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pihak yang berwenang.
Untuk menentukan seorang komandan bersalah atas tindakan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan perlu dibuktikan bahwa:
a.    Prajurit pelaku kejahatan berada di bawah komando atau kontrol atasan tertuduh.
b.    Atasan tertuduh mengetahui secara aktual (actual notice), yaitu mengetahui atau diberitahu tentang terjadinya tindak kejahatan perang dan kemanusiaan pada saat tindak kejahatan tersebut berlangsung.
c.    Atasan tertuduh mengetahui secara konstruktif (constructive notice) yaitu telah terjadi tindak pelanggaran dalam skala besar sehingga tertuduh atau seseorang pasti sampai pada kesimpulan bahwa ia mengetahui tindak kejahatan tersebut.
d.    Atasan tertuduh mengetahui ada tindak kejahatan tetapi menunjukkan sikap yang secara sengaja tidak acuh terhadap konsekuensi dari sikap membiarkan tersebut (imputed notice).
e.    Atasan tertuduh gagal mengambil langkah-langkah yang perlu dalam kewenangannya untuk mencegah atau menghukum tindak kejahatan ketika ia mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk melakukan hal tersebut.
Dari hasil analisa pelanggaran hukum humaniter pada pembantaian di May Lai oleh pasukan Amerika dari aspek pertanggungjawaban komando adalah sebagai berikut :
a. Letkol Frank A Barker, sebagai Komandan Task Force
1)    Sebagai Komandan Task Force, Letkol Frank Barker   berwenang dan bertanggungjawab memberikan tugas pokok kepada Komandan Kompi C (Kapten E. Medina).   Secara hirarkhi, konsep operasi yang dikembangkan oleh Kapten Medina berdasarkan pada    Perintah Operasi dari Komandan Task Force atau Komandan Gusus Tugas.  Perintah yang diberikan oleh Kapten Medina sebagai Komandan Kompi C kepada Letnan William Calley sebagai Dan Ton 1 C masih merupakan tanggung jawab pengawasan dan pengendalian Letkol Frank Baker sebagai Komandan Task Fors / DAN GT.
2)    Dari permasalahan pemabantaian di desa My Lai, maka Letkol Frank Barker telah dapat dikenakan sanksi pasal 87 ayat 2 dan 3 adalah :
a)    Seorang Komandan tidak berusaha menyebar luaskan  atau memberitahukan / mensosialisasikan  tentang Hukum Humaniter, hal ini melanggar pasal 87 ayat 2.
b)    Seorang Komandan tidak berusaha mengambil tindakan yang harus diambil pada saat bawahan melakukan pelanggaran dan telah mememprakarsai terjadinya pelanggaran Hukum Humaniter, hal ini melanggar pasal 87 ayat 3.
b. Kapten Medina sebagai Komandan Kompi C
1)    Pada saat briefing, Kapten Medina sebagai seorang Komandan kompi C memerintahkan kepada anak buahnya  untuk menghancurkan My Lai dengan cara membakar rumah penduduk, membunuh hewan peliharaan penduduk  dan membunuh apa saja yang hidup di desa tersebut. Kapten Medina juga  tidak mengaahkan untuk  menganalisa ulang data intelijen yang diinformasikan oleh komando atas.
2)    Pada saat Danton 1 C / Letnan William Calley melaporkan perkembangan situasi di My Lai melalui radio, justru Kapten Medina  memerintahkan untuk membunuh penduduk sipil di My Lai.
3)    Sesuai dengan Protokol I 1977, maka tindakan Kapten Medina tersebut telah melanggar pasal :
a)    Pasal 87 Ayat 1 yang menyebutkan bahwa : Seorang Komandan tidak mencegah adanya pelanggaran terhadap Konvensi-konvensi dan protokol ini yang dilakukan oleh anggota Angkatan Bersenjata yang berada dibawah komandonya dan juga oleh orang lain yang dibawah pengawasannya.
b)    Pasal 87 ayat 2, Seorang Komandan tidak berusaha menyebar luaskan tentang Hukum Humaniter, khususnya kepada anak buahnya di kompi C.
c)    Pasal 87 Ayat 3, yang menyebutkan bahwa Seorang Komandan tidak mengambil tindakan yang harus diambil pada saat bawahannya melakukan pelanggaran dan justru memberikan perintah yang mengakibatkan  pelanggaran Hukum Humaniter
c. Letnan William Calley, sebagai Komandan Peleton 1 C
1)    Tindakan yang diambil oleh Letnan Calley merupakan tindakan yang berdasarkan perintah dari kapten Medina sebagai komandan kompi C.
2)    Letnan William Calley sebagai seorang prajurit telah mentaati perintah dari komandan kompi  / atasan langsung untuk  melaksanakan  membunuh penduduk yang ada di desa My Lai. Letnan William Calley juga secara langsung  melakukan penembakan secara membabi buta terhadap  penduduk sipil termasuk, wanita, laki-laki berusia lanjut  dan anak - anak.
3)    Analisa terhadap tindakan Letnan William Calley :
a)    Tidak sesuai dengan Azas Hukum Humaniter yaitu Azas Perikemanusiaan (Humanity).
Di dalam Azas Hukum Humaniter dikenal tiga yaitu Azas Perikemanusiaan (Humanity), Azas Kepentingan Militer dan Azas Kesatriaan (Chivalry)9. Bila dihubungkan dengan tindakan yang dilakuakan oleh Letnan William Calley, maka perwira tersebut telah melanggar Azas Perikemanusiaan dimana pihak pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu.
Namun tindakan Letnan William Calley justru melakukan pembunuhan tidak manusia, dengan cara menembak penduduk sipil secara membabi buta  terhadap orang-orang yang seharusnya.   
a) Melanggar Konvensi Jenewa IV tahun 1949.   Letnan William Calley  secara langsung telah bertindak yang menjadikan penduduk sipil (perempuan, laki-laki tua dan anak-anak), yang tidak terlibat dalam perang sebagai sasaran penembakan dan seharusnya wajib untuk mendapatkan perlindungan dari pihak yang bersengketa.
b) Melanggar Protokol Tambahan I 1977, yang merupakan tindak lanjut dari Konvensi Jenewa 1949, yaitu :
(1) Melanggar pasal 50, 51 dan 56 Tidak menempatkan orang atau obyek yang yang tidak berbahaya sebagai mestinya.
(2) Telah menggunakan senjata serta cara-cara membunuh yang mengakibatkan luka  yang berlebihan dan atau penderitaan yang tidak perlu, hal ini melanggar ketentuan larangan-larangan yang berlaku dalam sengketa bersenjata.
(3) Tidak memberlakukan orang yang dianggap musuh dan atau musuh yang sudah menyerah secara baik dan telah dijadikan sebagai sasaran serangan, hal ini melanggar ketentuan larangan-larangan yang berlaku dalam sengketa bersenjata.
d. Pelanggaran yang dilakukan anak buah.
Pertanggung jawaban komando di dalam Hukum Humaniter Internasional, selain melibatkan atasan, maka yang menjadi bagian  rantai komando adalah juga anak buah / bawahan langsung yang melakukan pembunuhan / pelanggaran :
Melanggar Azas Hukum Humaniter (Humanity) yaitu Azas Perikemanusiaan,   Konvensi Jenewa IV tahun 1949 dan Protokol Tambahan I 1977 (anak buah melakukan tindakan yang sama dengan apa yang dilakuakn oleh Danton-nya (Letnan Wlliam Calley)
Dari uraian analisa yang sudah dijelaskan diatas, maka para komandan yang berkaitan dengan pembantaian di My Lai telah melakukan pelanggaran  terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus  194910 antara lain :
a. Pembunuhan yang disengaja;
b. Penganiayaan atau tindakan yang merendahkan martabat manusia, termasuk percobaan-percobaan biologi, dengan sengaja mengkibatkan penderitaan hebat;
c. Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan kepentingan militer dan dilakukan secara tidak sah dan dengan semena-mena;
d. Memaksa tawanan perang untuk mengabdi pada Penguasa Perang;
e. Dengan sengaja menghilangkan hak-hak tawanan perang atas peradilan yang jujur dan teratur sebagaimana ditegaskan dalam Konvensi Jenewa III;
f. Memindahkan atau menstransfer penduduk dengan paksa;
g. Menjatuhkan hukum kurungan;
h. Melakukan penyanderaan
Selain melanggar Konvensi Jenewa 1949, para komandan tersebut, juga telah melakukan tindakan pelanggaran berat menurut Protocol I 1977 adalah sebagai berikut :
a. Menjadikan penduduk sipil atau orang sipil sebagai sasaran;
b. Serangan membabi buta yang menimbulkan kerugian yang besar pada sipil atau obyek-obyek sipil;
c. Menjadikan daerah-daerah yang tidak dipertahankan atau demiliterised zone sebagai sasaran serangan;
d. Menjadikan seseorang yang tak berdaya sebagai sasaran serangan;
e. Menyalahgunakan lambang-lambang perlindungan seperti lambang Palang Merah Internasional dan lambang-lambang lainnya yang diakui oleh Konvensi-konvensi Jenewa dan protokolnya.
2. Faktor Yang Mempengaruhi
Terjadinya pelanggaran hukum humaniter pada  waktu pembantaian di My Lai yang dilakukan oleh pasukan Amerika, yang mengarah pada katagori kejahatan perang dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu :
a. Berlarut – larutnya  perang Vietnam yang berlangsung selama 18 tahun yang dimulai tahun 1957 s.d tahun 1975 dan terus bertambahnya korban dari pihak Vietnam dan Amerika.
b. Adanya unsur  keterpaksaan menjadi wajib militer di pihak Amerika sehingga mempengaruhi mental bertempur.
c. Ada sebagian perwira baru Amerika yang mempunyai latar belakang pendidikannya rendah seperti Letnan William Calley yang berasal dari komuniti pengangguran dan putus sekolah diperguruan tinggi sehingga mempengaruhi perilaku kepemimpinan.
d. Para komandan pasukan Amerika di lapangan tidak menganalisa keakuratan data intelijen.
e. Kebiasaan rotasi penugasan bagi pasukan Amerika yang bertugas di Vietnam adalah 1 tahun, namun kebijakan ini tidak dipenuhi, karena banyak prajurit Amerika yang baru bertugas beberapa bulan sudah di-rotasi kembali ke Amerika sehingga  mengakibatkan kurangnya pengalaman.
f. Banyak prajurit Amerika yang tidak saling mengenal diantara kelompoknya (Kompi, peleton) sehingga sangat mempengaruhi pergaulan dan bekerja sama dalam bertempur.
3. Keakuratan Data Intelijen Dengan Fakta Di Lapangan
Informasi Intelijen yang menyatakan bahwa ada sekitar 200 gerilyawan FNPV   berlindung di desa Son My adalah tidak terbukti. Ada beberapa kemungkinan hal tersebut bisa terjadi :
a. Informasi intelijen tersebut benar, karena memang diakui oleh pasukan Amerika bahwa para gerilyawan FNPV sangat pandai menghindari kepungan pasukan Amerika ditambah lagi dengan kurang pengalamannya pasukan Amerika.
b. Informasi tersebut kurang akurat, kemungkinan hanya sebagai cara dari komando atas pihak Amerika untuk meningkatkan kesiagaan pasukannya.
4. Hal-hal yang positif.   
a. Sikap Hug Thomson sebagai pilot Helly mengutamakan azas Perikemanusiaan (Humanity) dalam pertempuran yang menolong dan mengevakuasi penduduk sipil  untuk dibawa ke rumah sakit.
b. Bila ditinjau dari perspektif azas – azas hukum hukmaniter yaitu Azas Kesatriaan (Chivalry) maka sikap perwira muda Amerika yaitu Tom Glen dan Ron Ridenhour yang menulis surat kepada presiden Nixon untuk melaporkan peristiwa pembantaian di My Lai sangat terpuji.
5. Hal-hal yang negatif.
a.    Bila ditinjau dari perspektif azas – azas kerahasiaan sebagai prajurit militer maka sikap   perwira muda Amerika yaitu Tom Glen dan Ron Ridenhour yang menulis surat kepada presiden Nixon untuk melaporkan peristiwa pembantaian di My Lai sangat terpuji adalah sangat tidak proporsional.
b. Bila ditinjau dari aspek profesionalitas, maka  percepatan rotasi penugasan bagi prajurit Amerika yang bertugas di medan tempur   sangat mempengaruhi pengalaman prajuritnya. 
c. Letkol Fank Barker selaku Komandan GT tidak   mengikuti secara langsung untuk mengikuti manuver  pasukannya dalam beroperasi. 
d. Informasi intelijen yang diberikan kepada pasukan yang akan beroperasi kurang akurat.
e. Kapten Ernes Medina, sebagai Komandan Kompi tidak mencegah terjadinya pembantaian, tidak  menyebarluaskan Hukum Humaniter dan tidak mengambil tindakan terhadap pelanggaran Hukum Humaniter.
f. Letnan William Calley  tidak mencegah terjadinya pelanggaran hukum humaniter tetapi justru turut serta dalam pembantaian dengan cara menembakai penduduk sipil.

BAB IV MANFAAT BAGI TNI  
1. Aspek Edukatif.
a. Sikap pilot Amerika yaitu Hug Thomson yang mengutamakan Azas Kemanusiaan (Humanity) dalam bertempur yang melaksanakan penyelamatan dan evakuasi penduduk sipil, perlu dicontoh dan ditauladani oleh prajurit TNI.
b. Komandan Task Force / Gugus Tugas tidak terjun langsung bersama anak buahnya untuk bertempur sehingga sangat mempengaruhi manuver  dan keputusan yang diambil oleh anak buahnya. Tindakan tersebut sebagai pelajaran untuk tidak dicontoh oleh perwira TNI.
2. Aspek Instruktif.     
a. anyaknya pelanggaran hukum humaniter  yang dilakukan oleh pasukan Amerika pada pembantaian di My Lai dikarenakan tidak disosialisasikan hukum humaniter itu sendiri.    Untuk menghindari hal serupa, maka prajurit TNI selain perlu dibekali tentang hukum humaniter untuk menghadapi tugas operasi militer untuk perang (OMP)  tetapi juga perlu dibekali  tentang Hak Asasi Manusia  secara periodik / berkala dalam keadaan damai untuk menghadapi operasi militer selain perang.
b. Sikap dari komandan pasukan Amerika di lapangan yang membesar – besarkan jumlah korban yang tewas untuk di laporkan kepada Komando Atas dengan tujuan sebagai skenario keberhasilan membunuh musuhnya (Gerilyawan FNPV) adalah sebagai sikap Asal Bapak Senang (ABS). Sikap tersebut perlu dihindari oleh perwira TNI dalam kehidupan berdinas dan bekerja di lingkungan  TNI.
 
3. Aspek Inspiratif.     
a. Kebiasaan pasukan Amerika ditugaskan selama 1 tahun di medan tempur, khususnya pada perang Vietnam adalah sangat mempengaruhi kesejahteraan prajurit., karena kesejahteraan bagi insan manusia adalah bukan saja dalam bentuk materi tetapi juga kesejahteraan rokhani / bathin. 
b. Pihak pasukan Amerika mengakui kesulitan untuk membedakan antara gerilyawan FNPV dengan penduduk sipil, karena gerilyawan tersebut sering membaur dengan penduduk sipil. Hal ini bisa dikembangkan oleh TNI AL dan diaplikasikan  di wilayah perairan Indonesia yang bertebaran pulau – pulau, bagaimana caranya mengembangkan perang gerilya di laut dengan memanfaatkan pulau – pulau tersebut.

BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan.
a. Tindakan yang diambil oleh Letnan William Calley merupakan tindakan yang melanggar hukum humaniter intenasional dan merupakan kejahatan perang.
 b. Tindakan pelanggaran hukum humaniter dalam medan tempur  yang dilakukan oleh anak buah,  bukan saja tanggung jawab yang bersangkutan, tetapi juga menjadi tanggung jawab atasannya sebagai tanggung jawab komando.
c. Azas Kemanusiaan (Humanity) sangat dibutuhkan dan harus dipahami oleh prajurit TNI, tidak saja pada waktu damai tetapi juga dibutuhkan dalam keadaan perang.
d. Pembekalan dan sosialisasi tentang hukum humaniter bagi prajurit TNI adalah merupakan suatu kebutuhan dan tuntutan guna menghadapi operasi militer untuk perang (OMP).
Asas-asas Hukum Humaniter Internasional
In Introduction to IHL on November 15, 2008 at 6:43 pm
Oleh : Arlina Permanasari
Hukum Humaniter atau dikenal juga dengan nama Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata, mengandung asas-asas pokok yaitu asas kepentingan militer (military necessity), asas perikemanusiaan (humanity) dan asas kesatriaan (chivalry).  Ketiga asas ini selalu melandasi aturan-aturan yang terdapat di dalam hukum humaniter.
Seorang ahli bernama Kunz menyatakan bahwa “laws of war, to be accepted and to be applied in practice, must strike the connect balance between, on the one hand, the principle of humanity and chivalry; and the other hand, military interest“.[1]
Jadi, walaupun Hukum Humaniter mengatur peperangan itu sendiri akan tetapi pengaturannya tidak dapat hanya semata-mata mengakomodir asas kepentingan militer dari pihak yang bersengketa saja, melainkan pula harus mempertimbangkan ke dua asas lainnya. Demikian pula sebaliknya, aturan-aturan Hukum Perang tidak mungkin hanya mempertimbangkan aspek kemanusiaan dari peperangan itu tanpa mempedulikan aspek-aspek operasi militer. Tanpa adanya keseimbangan dari ke tiga asas-asas ini, maka mustahil akan terbentuk aturan-aturan mengenai Hukum Perang.
Berikut ini akan dijelaskan masing-masing asas tersebut :
A. Asas Kepentingan Militer (Military Necessity)
Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang bersengketa (belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak melanggar hukum perang.[2]
Asas kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya sering pula dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip pembatasan (limitation principle) dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle).
a. Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)
limitation1Prinsip pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering); dan lain-lain.
Pada ilustrasi di samping, penggunaan tank untuk menghancurkan sasaran militer diperbolehkan, karena merupakan senjata yang biasa dipakai atau senjata konvensional; sedangkan penggunaan racun, senjata beracun (kimia) pada latar belakang gambar [termasuk senjata biologi atau nuklir (senjata non-konvensional)] tidak dapat dibenarkan karena sifatnya yang dapat mengakibatkan kemusnahan secara massal tanpa dapat membedakan antara objek sipil dan sasaran militer.
b. Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle)
proportionalityAdapun prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsional sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung  yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya  serangan terhadap sasaran militer.  Perlu ditegaskan bahwa maksud proporsional di sini BUKAN berarti keseimbangan.
Ilustrasi di samping dapat menggambarkan prinsip ini, di mana untuk mengancurkan dua orang musuh yang membawa senapan mesin, maka tidak perlu dikerahkan satu divisi kavaleri berupa tank-tank, karena hal tersebut tidak hanya dapat mematikan ke dua musuh tersebut, namun sekaligus juga dapat menghancurkan penduduk sipil dan objek-objek sipil di sekitarnya.
Prinsip pembatasan dicantumkan di dalam Pasal 22 dan 23 Hague Regulations (Lampiran dari Konvensi Den Haag IV, 1907, atau Regulasi Den Haag), yang berbunyi  “the rights of belligerents to adopt means  of injuring the enemy is not unlimited” atau hak dari Belligerents dalam menggunakan alat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas (jadi maksudnya =terbatas). Adapun batasan-batasan tersebut, termasuk ke dalamnya penjabaran prinsip proporsionalitas, dicantumkan lebih lanjut secara rinci di dalam Pasal 23.
B. Asas Kemanusiaan (Humanity)
Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan asas-asas kemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, [3] sebagaimana tercantum di dalam Pasal 23 ayat(e).
Berperang memerlukan persenjataan, itu sudah pasti. Yang menjadi masalah adalah bagaimana “menggunakannya secara manusiawi”. Pasti mungkin kita akan protes, bagaimana bisa?? Penggunaan senjata sudah pasti tidak manusiawi, senjata sudah tentu menimbulkan luka dan menyebabkan kematian. Lantas, apa yang dimaksud dengan Pasal ini?
Nah, itu tiada lain disebabkan adanya asas kemanusiaan (humanity) yang menjadi landasan pembentukan ketentuan tersebut. Memang dalam peperangan, keterpaksaan untuk melakukan melukai musuh atau melakukan pembunuhan menjadi sesuatu yang SAH secara hukum apabila dilakukan oleh orang yang berhak untuk ikut serta dalam pertempuran (yakni kombatan) dan ditujukan kepada suatu sasaran yang memang merupakan sasaran militer (military objectives). Jika seorang prajurit dalam peperangan membunuh tentara musuh di medan pertempuran dengan M-16, maka itu adalah hal yang biasa. Akan tetapi, jika ia memakai M-16 berisi peluru “yang dikikir ujungnya”, maka cara tersebut akan dianggap sebagai pelanggaran Hukum Perang. Mengapa? bukankah musuhnya toh mati juga? (baca : korban tidak akan merasakan bedanya ditembak dengan peluru yang dikikir/tidak dikikir).
(1) contoh peluru dumdum
(1) contoh peluru dumdum
Nah, disinilah letak perlunya asas kemanusiaan di dalam melakukan metode berperang, yaitu tetap memperlakukan manusia secara manusiawi baik ketika peperangan berlangsung, dan bahkan setelah suatu pihak menjadi korban. Perlu ditegaskan bahwa penggunaan peluru yang “dikikir ujungnya”, akan menimbulkan efek ‘melebar’ di dalam tubuh sehingga mengakibatkan luka sobekan yang tidak beraturan dan mengakibatkan hancurnya jaringan tubuh manusia. Peluru yang demikian
(2) Peluru biasa & peluru dumdum
(2) Peluru biasa & peluru dumdum
disebut pula “peluru dum-dum” (dum-dum bullets; karena diproduksi pertama kali di kota Dumdum, dekat Kalkuta, India), atau “peluru yang memiliki efek mengembang dalam tubuh” (expanding bullets), sehingga Hukum Humaniter sudah melarang penggunaan peluru jenis ini dalam Deklarasi III tahun 1809. Itulah sebabnya, Regulasi Den Haag melarang penggunaan alat dan cara berperang yang dapat menimbulkan ‘luka-luka yang berlebihan’ dan ‘penderitaan yang tidak perlu’. Jika membunuh dengan peluru biasa dapat mengakibatkan kematian seorang musuh; maka mengapa pula harus mengkikirnya sehingga jasad korban menjadi hancur dan tidak dapat dikenali? Itulah penderitaan yang tidak perlu…
(Insya Allah akan disampaikan pula penjelasan mengenai ‘expanding bullet’ / ‘dum-dum bullet’ pada kategori lainnya).
C. Asas Ksatriaan (Chivalry)
Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat dilarang.[4]
Asas kesatriaan tergambar di dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter.  Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag III (1907) mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities). Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang (declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war).
Nah, tentu secara logika aturan ini rasanya tidak masuk akal. Bukankah kelihatannya suatu pihak dapat memenangkan peperangan jika ia menyerang secara diam-diam ketika pihak musuh lengah atau secara mendadak tanpa pemberitahuan lebih dahulu? Namun pada kenyataannya, aturan Hukum Humaniter justru menentukan sebaliknya. Hal ini tidak lain adalah refleksi dari asas kesatriaan yang tercermin di dalam Konvensi Den Haag III.
Contoh lain dapat dilihat pada ketentuan Pasal 23 Lampiran Konvensi Den Haag IV yang disebut juga Regulasi Den Haag (Hague Regulations). Kita ambil salah satu contoh saja, yaitu Pasal 23 ayat(c) yang menetapkan bahwa seorang kombatan dari pihak negara yang bersengketa dilarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah, atau yang tidak mampu melakukan perlawanan lagi.
Ketentuan ayat di atas, jika diperhatikan selintas, juga rasanya tidak masuk akal. Bukankah lebih mudah untuk memenangkan pertempuran jika pihak musuh dibunuh, dilukai atau dibuat ‘tidak berdaya’ selagi ia menyerah atau tak mampu lagi bertempur? Namun, ternyata aturan Hukum Humaniter menentukan sebaliknya.
Oleh karena itu, seandainya saja tidak diterapkan asas kesatriaan dalam pembentukan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter, maka sudah hampir pasti peperangan akan berlangsung dengan sangat brutal dan keji. Jika sudah ada aturannya saja perang masih menyisakan kekejian, maka … bagaimanakah pula jadinya jika perang berlangsung tanpa aturan…?
Sumber :
[1]Kunz, Joseph, The Changing Law of National, 1968, hal 873, sebagaimana dikutip dalam Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 34.
[2]Dictionary of Military and Associated Terms, US Department of Defence, 2005, dapat diakses pada http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.htm
[3]Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 11.
[4] Ibid.